Nahdotun nisa', diksi "nahdoh"; bangkit, mengindikasikan
seakan perempuan itu mengalami keambrukan. Sudut pandang ini terjadi, karena
menggunakan cara pandang (epistemologi) barat. Eropa centris. Kita terkondisi, seakan-akan, yang baik, yang benar, yang
berkembang, yang maju, dan yang segala-galanya adalah barat. Barat dijadikan
jujukan. Barat dijadikan kiblat peradaban. Padahal, dalam segala hal -tidak
hanya soal perempuan- kita memiliki cara pandang sendiri dalam berbangsa dan
bernegara, yang peradaban moyangnya lebih maju ketimbang peradaban bangsa lain
di antara sekitar abad ke XII-XVIII.
Mengapa kita
mengalami kemunduran? Karena kita terprosok, terhasud untuk saling membenci
sesama saudara sebangsa sebab perbedaan-perbedaan; baik agama, suku, bahasa,
dan bangsa. Perbedaan itu yang dijadikan alat oleh bangsa lain untuk mengadu
domba sesama saudara sebangsa di antara kita.
Nahdatun Nisa', menjadi tidak tepat jika
cara pandang kita dalam memaknainya tidak menggunakan cara pandang yang
dimiliki moyang. Apa cara pandang itu? Sungguh tidak benar dalam tata etik
masyarakat Nusantara kala itu, bahwa perempuan dinomorsekiankan setelah
laki-laki sebagaimana tuduhan dalam cara pandang orang Eropa.
Istilah
diskriminasi dan membatasi gerak-gerik perempuan, itu semua propaganda Eropa
untuk mendegradasi nilai luhur bangsa Nusantara. Dalam cara pandang orang
Nusantara, sudah dikenal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki di ranah publik sedangkan perempuan di ranah domestik. Pembagian
peran ini menjadi hancur saat Eropa dengan proganda distruknya menuding bahwa
pembagian ini bagian dari pembatasan atas gerak-gerik perempuan. Ingat, sekali
lagi, ini cara pandang Eropa yang sosial, politik, ekonomi, dan budayanya
berbeda dengan kita; pewaris peradaban bangsa Nusantara.
Padahal,
pembagian ala orang Nusantara itu sangat efektif untuk memperteguh spirit
kebangsaan. Laki-laki berada di ranah publik karena laki-laki memerankan diri
untuk menafkahi keluarga. Kala itu, yang banyak, kerja-kerja fisik. Sedangkan
laki-laki secara fisiologis, lebih layak untuk berada di ranah publik.
Bagaimana
dengan perempuan? Perempuan memiliki peran yang tak kalah berat. Menurut saya,
malah lebih berat perannya ketimbang laki-laki. Perempuan yang berperan di
ranah domestik, bukan berarti pemaknaan domestik sesempit hanya soal
"kasur, dapur, dan sumur", tapi lebih kepada, menjadi penanggung
jawab utama dalam proses penempaan generasi. Mendidik anak, menempa anak
menjadi tangguh, kala itu lahir dari hasil peran perempuan yang berada di ranah
domestik. Karena tugasnya mempersiapkan generasi yang hebat, perempuan
tertuntut untuk lebih berilmupengetahuan ketimbang laki-laki. Kerja-kerja
perempuan tidak dalam tonjolisasi fisik sebagaimana laki-laki, tapi lebih
kepada kerja fikiran. Ditopang oleh lembut santunnya perangai perempuan.
Mengapa
perempuan salah satu tugasnya adalah mengawali dalam penempaan generasi? Karena
bangsa yang terdidik, kemudian melahirkan generasi yang terbaik, barawal dari
proses penempaan yang dijalankan di dalam sebuah keluarga. Pendidikan keluarga,
perempuanlah pemeran utamanya.
Jadi, pamaknaan
domestik sebagaimana cara pandang Eropa, itu jelas memuat propaganda untuk
mendegradasi orang Nusantara. Terbukti, gerakan perempuan Indonesia hari ini,
rata-rata menggunakan cara pandang Eropa. Gerakan perempuan ini justru turut
berkontribusi atas kebobrokan moral dan mental orang Indonesia kini.
Eropa, dengan
konsep kesetaraannya, di situ perempuan juga didorong agar turut
"merebut" ranah publik yang awalnya hanya didominasi oleh laki-laki.
Karena itu, mereka malah justru terjerembab dalam eksploitasi di bawah
konstruksi sistem ekonomi kapitalistik. Perempuan malah dijadikan alat yang
cukup menawan dalam serangkaian agenda ekonomi yang mendorong kebebasan
kepemilikan materiil pribadi ini. Kehormatan perempuan kemudian menjadi semu
saat gerak bebasnya justru malah menjadi bagian dari alat ekonomi berbasis
liberalistik. Ia tersungkur hancur akibat faham-faham yang melabrak batasan
peran dan fungsi manusia itu sendiri.
Ini mengapa terjadi?
Jelas, gerakan
perempuan dipengaruhi oleh ideologi liberalistik. Banyak wanita yang ke sana
kemari mengaku sebagai aktivis perempuan memilih bergaya hidup seperti
laki-laki. Jiwa feminimnya banyak yang tidak begitu diperhatikan. Ia lebih mau
tampil sebagaimana laki-laki. Malah, tak sedikit dari aktivis perempuan, yang
memilih tidak berkeluarga, atau keluarganya gampang retak, karena bangunan
keluarga itu larut dalam konstruksi cinta yang dikondisikan oleh ekonomi
kapitalistik liberalis. Dalam hal ini, pemujaan atas cantik-cantik fisik hasil
rekayasa kosmetik.
Jauh sebelum
liberalisme menguasai dunia, dengan sistem ekonomi kapitalistiknya kini, sekali
lagi, kita bangsa Indonesia telah memiliki sistem ekonomi dan tata sosial yang
di PMII dijadikan tata pijak bernama Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Tidak
eksploitatif merusak sebagaimana sistem ekonomi kini.
Tapi karena,
lagi-lagi, kita terkondisi untuk menjadi bagian dari arus besar di bawah paham
ideologi liberalistik, maka kesejatian kita sebagai bangsa terkoyak-koyak
hancur, terganti oleh mental munafik; berbuat bukan di bawah kesadaran
pengetahuan dan nuraninya, tapi atas kehendak konstruksi pasar kapitalistik
dengan cirinya yang materialis dan pragmatis itu.
Islam dan PMII
Kita tahu bahwa
Islam secara giografis lahir di Arab Saudi. Tapi karena Islam adalah ajaran
nilai, maka saat ajaran ini menyebar tidak bisa dilepas oleh kebudayaan
masyarakat di mana Islam itu disyiarkan.
PMII, yang embriologi
ajarannya mengacu kepada Nadhlatul Ulama'
(NU), di mana NU itu slogannya familiar dengan istilah "almuhaa fadatu alaa qodiimis sholih wal akhdu biljadidil
ashlah", maka corak ber-Islam-nya PMII pun sebagaimana digariskan oleh
NU. Bagaimana itu? Mensyiarkan Islam dengan prangkat budaya, warisan nenek
moyang bangsa.
Bagaimana
dengan krangka gerak untuk para perempuan, guna mengimbangi konstruksi
propagandis di bawah bendera gerakan gender, feminis'm, dengan cara pandang Eropa centris? Jawabnya, sederhana, dorong perempuan-perempuan PMII,
untuk kembali mengenali kesejatian bangsa melalui keluhuran moyang. Di mana
itu? Langsung memulainya dengan belajar kepada ibunya sendiri, neneknya
sendiri, dan perempuan-perempuan Indonesia lain yang masih berpegang pada
prinsip nilai para leluhur. Juga, perempuan-perempuan PMII, harus mau
bersemangat untuk membuka kepustakaan-kepustakaan yang menarasikan tentang
bagaimana perempuan-perempuan Nusantara dulu hidup dan bersosial secara baik.
Bagaimana
dengan gerakan femenisme sebagaimana konstruksi Eropa? Ya, harus juga
dipelajari sekedar pemantapan pengetahuan dari sekian ritme gerakan feminisme
di dunia. Tapi jangan kemudian kita menjadikannya sebagai jujukan kebenaran dan
kebaikan. Kita harus menformulasi sendiri gerakan feminisme Indonesia yang
acuan utamanya adalah warisan luhur nan adiluhung yang dulu telah ditorehkan
nenek moyang sendiri.
Akhirnya, hanya
pada-Mu Allah saya memohon pertolongan sebagai satu-satunya dzat pemilik
kebenaran.
Allahu A'lam
[1]
Disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Rayon Syariah & Hukum, Komisariat Sunan Ampel, Cabang
Surabaya. Di Gedung Taruna Loka, Claket, Mojokerto. 2 April 2016
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...