Nahdotun Nisa'[1]

Nahdotun nisa', diksi "nahdoh"; bangkit, mengindikasikan seakan perempuan itu mengalami keambrukan. Sudut pandang ini terjadi, karena menggunakan cara pandang (epistemologi) barat. Eropa centris. Kita terkondisi, seakan-akan, yang baik, yang benar, yang berkembang, yang maju, dan yang segala-galanya adalah barat. Barat dijadikan jujukan. Barat dijadikan kiblat peradaban. Padahal, dalam segala hal -tidak hanya soal perempuan- kita memiliki cara pandang sendiri dalam berbangsa dan bernegara, yang peradaban moyangnya lebih maju ketimbang peradaban bangsa lain di antara sekitar abad ke XII-XVIII.

Mengapa kita mengalami kemunduran? Karena kita terprosok, terhasud untuk saling membenci sesama saudara sebangsa sebab perbedaan-perbedaan; baik agama, suku, bahasa, dan bangsa. Perbedaan itu yang dijadikan alat oleh bangsa lain untuk mengadu domba sesama saudara sebangsa di antara kita.

Nahdatun Nisa', menjadi tidak tepat jika cara pandang kita dalam memaknainya tidak menggunakan cara pandang yang dimiliki moyang. Apa cara pandang itu? Sungguh tidak benar dalam tata etik masyarakat Nusantara kala itu, bahwa perempuan dinomorsekiankan setelah laki-laki sebagaimana tuduhan dalam cara pandang orang Eropa.

Istilah diskriminasi dan membatasi gerak-gerik perempuan, itu semua propaganda Eropa untuk mendegradasi nilai luhur bangsa Nusantara. Dalam cara pandang orang Nusantara, sudah dikenal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki di ranah publik sedangkan perempuan di ranah domestik. Pembagian peran ini menjadi hancur saat Eropa dengan proganda distruknya menuding bahwa pembagian ini bagian dari pembatasan atas gerak-gerik perempuan. Ingat, sekali lagi, ini cara pandang Eropa yang sosial, politik, ekonomi, dan budayanya berbeda dengan kita; pewaris peradaban bangsa Nusantara.

Padahal, pembagian ala orang Nusantara itu sangat efektif untuk memperteguh spirit kebangsaan. Laki-laki berada di ranah publik karena laki-laki memerankan diri untuk menafkahi keluarga. Kala itu, yang banyak, kerja-kerja fisik. Sedangkan laki-laki secara fisiologis, lebih layak untuk berada di ranah publik.

Bagaimana dengan perempuan? Perempuan memiliki peran yang tak kalah berat. Menurut saya, malah lebih berat perannya ketimbang laki-laki. Perempuan yang berperan di ranah domestik, bukan berarti pemaknaan domestik sesempit hanya soal "kasur, dapur, dan sumur", tapi lebih kepada, menjadi penanggung jawab utama dalam proses penempaan generasi. Mendidik anak, menempa anak menjadi tangguh, kala itu lahir dari hasil peran perempuan yang berada di ranah domestik. Karena tugasnya mempersiapkan generasi yang hebat, perempuan tertuntut untuk lebih berilmupengetahuan ketimbang laki-laki. Kerja-kerja perempuan tidak dalam tonjolisasi fisik sebagaimana laki-laki, tapi lebih kepada kerja fikiran. Ditopang oleh lembut santunnya perangai perempuan.

Mengapa perempuan salah satu tugasnya adalah mengawali dalam penempaan generasi? Karena bangsa yang terdidik, kemudian melahirkan generasi yang terbaik, barawal dari proses penempaan yang dijalankan di dalam sebuah keluarga. Pendidikan keluarga, perempuanlah pemeran utamanya.

Jadi, pamaknaan domestik sebagaimana cara pandang Eropa, itu jelas memuat propaganda untuk mendegradasi orang Nusantara. Terbukti, gerakan perempuan Indonesia hari ini, rata-rata menggunakan cara pandang Eropa. Gerakan perempuan ini justru turut berkontribusi atas kebobrokan moral dan mental orang Indonesia kini.

Eropa, dengan konsep kesetaraannya, di situ perempuan juga didorong agar turut "merebut" ranah publik yang awalnya hanya didominasi oleh laki-laki. Karena itu, mereka malah justru terjerembab dalam eksploitasi di bawah konstruksi sistem ekonomi kapitalistik. Perempuan malah dijadikan alat yang cukup menawan dalam serangkaian agenda ekonomi yang mendorong kebebasan kepemilikan materiil pribadi ini. Kehormatan perempuan kemudian menjadi semu saat gerak bebasnya justru malah menjadi bagian dari alat ekonomi berbasis liberalistik. Ia tersungkur hancur akibat faham-faham yang melabrak batasan peran dan fungsi manusia itu sendiri.

Ini mengapa terjadi?
Jelas, gerakan perempuan dipengaruhi oleh ideologi liberalistik. Banyak wanita yang ke sana kemari mengaku sebagai aktivis perempuan memilih bergaya hidup seperti laki-laki. Jiwa feminimnya banyak yang tidak begitu diperhatikan. Ia lebih mau tampil sebagaimana laki-laki. Malah, tak sedikit dari aktivis perempuan, yang memilih tidak berkeluarga, atau keluarganya gampang retak, karena bangunan keluarga itu larut dalam konstruksi cinta yang dikondisikan oleh ekonomi kapitalistik liberalis. Dalam hal ini, pemujaan atas cantik-cantik fisik hasil rekayasa kosmetik.

Jauh sebelum liberalisme menguasai dunia, dengan sistem ekonomi kapitalistiknya kini, sekali lagi, kita bangsa Indonesia telah memiliki sistem ekonomi dan tata sosial yang di PMII dijadikan tata pijak bernama Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Tidak eksploitatif merusak sebagaimana sistem ekonomi kini.

Tapi karena, lagi-lagi, kita terkondisi untuk menjadi bagian dari arus besar di bawah paham ideologi liberalistik, maka kesejatian kita sebagai bangsa terkoyak-koyak hancur, terganti oleh mental munafik; berbuat bukan di bawah kesadaran pengetahuan dan nuraninya, tapi atas kehendak konstruksi pasar kapitalistik dengan cirinya yang materialis dan pragmatis itu.

Islam dan PMII
Kita tahu bahwa Islam secara giografis lahir di Arab Saudi. Tapi karena Islam adalah ajaran nilai, maka saat ajaran ini menyebar tidak bisa dilepas oleh kebudayaan masyarakat di mana Islam itu disyiarkan.

PMII, yang embriologi ajarannya mengacu kepada Nadhlatul Ulama' (NU), di mana NU itu slogannya familiar dengan istilah "almuhaa fadatu alaa qodiimis sholih wal akhdu biljadidil ashlah", maka corak ber-Islam-nya PMII pun sebagaimana digariskan oleh NU. Bagaimana itu? Mensyiarkan Islam dengan prangkat budaya, warisan nenek moyang bangsa.

Bagaimana dengan krangka gerak untuk para perempuan, guna mengimbangi konstruksi propagandis di bawah bendera gerakan gender, feminis'm, dengan cara pandang Eropa centris? Jawabnya, sederhana, dorong perempuan-perempuan PMII, untuk kembali mengenali kesejatian bangsa melalui keluhuran moyang. Di mana itu? Langsung memulainya dengan belajar kepada ibunya sendiri, neneknya sendiri, dan perempuan-perempuan Indonesia lain yang masih berpegang pada prinsip nilai para leluhur. Juga, perempuan-perempuan PMII, harus mau bersemangat untuk membuka kepustakaan-kepustakaan yang menarasikan tentang bagaimana perempuan-perempuan Nusantara dulu hidup dan bersosial secara baik.

Bagaimana dengan gerakan femenisme sebagaimana konstruksi Eropa? Ya, harus juga dipelajari sekedar pemantapan pengetahuan dari sekian ritme gerakan feminisme di dunia. Tapi jangan kemudian kita menjadikannya sebagai jujukan kebenaran dan kebaikan. Kita harus menformulasi sendiri gerakan feminisme Indonesia yang acuan utamanya adalah warisan luhur nan adiluhung yang dulu telah ditorehkan nenek moyang sendiri.

Akhirnya, hanya pada-Mu Allah saya memohon pertolongan sebagai satu-satunya dzat pemilik kebenaran.
Allahu A'lam


[1] Disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Syariah & Hukum, Komisariat Sunan Ampel, Cabang Surabaya. Di Gedung Taruna Loka, Claket, Mojokerto. 2 April 2016

Komentar