PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF[1]

Oleh: Marlaf Sucipto[2]

Saya disodori tema sebagaimana judul tulisan untuk didiskusikan di acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) 2016, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Psikologi & Kesehatan, Komisariat Sunan Ampel, Cabang Surabaya, pada Sabtu (9/4) lalu.

Membaca Term of Reference (TOR) yang diberikan panitia, saya mengernyitkan kening. Lagi-lagi, kerangka teori yang digunakan lahir dari mereka yang memposisikan "timur" sebagai "the other". Eropa centris. Hal ini telah diperteguh oleh Orientalisme-nya Edward W. Said. Ambil contoh seperti: Edwar C. Tolman, Rene Descartes, Thomas Khun, Robert Friederichs, Philips, dlsb. Memperteguh kesan, bahwa yang maju, modern, beradab, ialah mereka orang Eropa. Seakan, kita sendiri sebagai bangsa yang mewarisi keluhuran orang Nusantara tidak memiliki konsepsi tersendiri.
Paradigma, (saya lebih nyaman memaknai: bagaimana manusia berfikir). Kita tercekoki oleh pola-pola konsepsi orang Eropa. Apakah ini salah? Tidak, bila didudukkan sebagai perbandingan konsepsi dari konsep yang memang harus kita rumuskan sendiri. Pandangan-pandangan Eropa tidak kemudian harus kita jadikan jujukan, cukup sebagai pelengkap referensi pandangan. Pertama, kita harus mengacu dulu atas sekian konsepsi yang telah ditentukan moyang.

 Karena paradigma menyangkut soal pandangan-pandangan, maka pandangan kita dalam semua aspek kehidupan di Indonesia tidak harus sebagaimana padangan orang Eropa. Misal, orang Eropa dalam membangun rumah, cenderung individualistik. Pagar rumahnya tinggi-tinggi karena persaingan penguasaan materi yang begitu ketat menjadikan kriminalitas meninggi. Indonesia, dengan ciri masyarakatnya yang tidak individualistik, bangunan rumahnya tidak setertutup orang Eropa. Angka kriminalitas tidak setinggi di Eropa karena tingkat berbagi, masyarakatnya masih tinggi. Dalam hal ini kita masih bisa melacaknya di desa-desa dan perkampungan-perkampungan. Masyarakat ini guyub, terbuka, saling tolong-menolong. Tidak "sekering" kehidupan orang kota kini yang memang sudah terkonstruksi oleh pengaruh kehidupan orang Eropa. Ini hanya satu contoh, cantoh-contoh lain bisa saudara pembaca kembangkan sendiri.

Jadi, paradigma, dalam semua aspek, mari kita prioritaskan dulu bagaimana cara pandang nenek moyang. Jangan tiba-tiba turut ikut cara pandang orang lain yang jelas dari sisi budaya, sosial, hukum, dan dinamika politiknya berbeda dengan kita. Mereka mengatakan lebih hebat dan lebih baik itu murni propaganda supaya kita nunut kepada mereka seperti sapi yang sudah dicocok hidungnya.

Ingat, kita ini adalah pewaris peradaban agung, di mana saat negeri ini masih di bawah kerajaan Majapahit, moyang kita yang maritim, kapalnya sudah lebih maju ketimbang China. Saat kapal China masih terbuat dari kayu dan panjangnya hanya 5 meter, kapal nenek moyang kita sudah terbuat dari logam dan tembaga dengan panjang sampai 20 meter. Di bidang persenjataan perang juga demikian. Hal ini dapat pembaca lacak dari buku Atlas Nusantara-nya Agus Sunyoto.

Kenapa nenek moyang kita hancur? Alasanya sederhana, karena penjajah berhasil menghasud, mengadu-domba moyang kita dulu sebab perbedaan-perbedaaan berdasarkan suku, agama, ras, dan etnis. Oleh perintis kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Soepomo, dan lain-lain, kemudian dirumuskan Pancasila untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Sampai kini istilah salah satu empu saat negeri ini masih bernama Nusantara tetap dijadikan pegangan. Apa itu? Bhinneka Tunggal Ika, sebuah istilah dari Bahasa Sangsakerta yang bermakna, "berbeda-beda tetapi tetap satu jua". Istilah ini kini sudah mulai bergeser dari pegangan ke slogan. Generasi kita kini hanya pandai mempidatokan di podium, mimbar-mimbar, dan kertas kerja akademik. Tapi dalam kesehariannya perbedaan-perbedaan itu tetap dijadikan alat untuk berpolemik.

Ini masih soal paradigma. Dalam hal ini, saya mengajak saudara sebangsa agar kembali berkenan untuk berpradigma sebagaimana dulu telah dirintis dan dititahkan oleh moyang-moyang kita yang lahur nan agung itu.

Kemudian, kritis. Berangkat dari paradigma sebagaimana telah saya urai di atas, maka menjadi tepat bila kita memulainya dengan kritik atas diri kita masing-masing yang selama ini telah terkondisi untuk berfikir dan bertindak sebagaimana faham-faham orang Eropa. Saat kita menyadari, mari mulailah untuk kembali mengali khazanah kenusantaraan kita dengan belajar kembali kepada para tetua yang masih hidup, dan mau membuka-mempelajari manuskrip-manuskrip warisan moyang. Kita dedah lagi kearifan-kearifan nenak moyang untuk kita kontekstualisasikan dalam kehidupan kita kini.

Supaya kritik ini bernilai transformatif, maka selain menyampaikan secara lisan tentang bagaimana bangsa nusantara dengan segala keluhurannya, juga yang tak boleh ditanggalkan adalah bagaimana kita mencontohkan. Karena inilah makna pendidikan yang hakiki perspektif moyang kita yang luhur itu. Beda dengan pendidikan perspektif Eropa yang telah mem-virus ke universitas-universitas bahkan sudah ke pesantren-pesantren, yang memaknai pendidikan hanya sekedar transformasi pengetahuan tanpa transformasi nilai (percontohan).

Hal-hal yang saya kemukakan di atas hanyalah percontohan-percontohan kecil dari sekian cara pandang kita kini yang memandang apa pun rata-rata menggunakan cara pandang orang Eropa. Termasuk cara pandang sahabat-sahabat saat meminta saya menjadi mitra diskusi dalam pelatihan formal PMII sebagaimana terulas di TOR yang disodorkan kepada saya.

Kedepan, mari kita tata paradigma dalam berfikir kritis yang transformatif dengan menomorsatukan cara pandang-cara pandang warisan nenek moyang. Cara pandang Eropa, cukup kita ketahui sebagai bahan perbandingan. Saatnya "Timur" mengkritisi "Barat" dengan gagasan yang diekspresikan secara sopan.

Allahu A'lam.


[1] Disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Psikologi & Kesehatan, Komisariat Sunan Ampel, Cabang Surabaya. Di Villa Wahyu, Pacet Mojokerto. Sabtu, 9 April 2016, jam 11:00 Wib
[2] Aktivis PMII Surabaya. Sekarang sebagai Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI) Surabaya

Komentar