(Refleksi Atas Ulang Tahun PMII yang ke-56)
Oleh: Marlaf Sucipto[1]
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kini umurnya sudah tak lagi muda. Tulisan ini
sengaja saya hadirkan agak telat karena ingin belajar dulu kepada tulisan
sahabat aktivis pergerakan yang sengaja ditulis di momentum ulang tahun yang
ke-56 ini. Atau, kepada tulisan non PMII yang berkenan memberikan masukan atas
laju gerak organisasi yang ketua umum perdananya adalah Mahbub Djunaidi ini.
Cuma, hanya satu tulisan yang ditulis oleh Pengurus Besar (PB) PMII di Jawa Pos Senin (18/4) lalu, selainnya banyak
yang pem-publish-ing agenda
serimonial formal di media sosial -Utamanya di group facebok “PMII se-Indonesia”- seperti tahlilan, yasinan,
sholawatan, dan corak keislaman yang belakangan dilebeli oleh Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai Islam
Nusantara itu.
Tulisan ini
hadir untuk turut mewarnai dari sekian pernik ekspresi sahabat-sahabat di ulang
tahun PMII yang ke-56 ini.
Hampir semua
orang PMII mengerti, jika organisasi ini memiliki slogan: “Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh”. Nilai Dasar Pergerakan (NDP)-nya: “Hablum Minallah, Minan Nas, dan minal Alam”.
Dari dua hal ini sudah bisa diukur, bahwa organisasi ini menitiktekankan kepada
nilai kebermanfaatan dari gerakan-gerakan kongkrit; hasil perpaduan antara
dzikir dan fikir.
Dzikir adalah hal mutlak yang tak dapat
ditepis oleh organisasi ini, walaupun ekspresinya setiap sahabat memiliki kebebasannya
sendiri-sendiri. Dzikir bisa lahir sambil baca buku, diskusi, menulis, kongkow di warung kopi, ketawa bareng sambil
nyanyi-nyanyi, atau saat khusu’ khidmat pokeran
sambil mengoleskan bedak putih ke wajah yang kalah sebagai tambahan
kegembiraan. Yang penting, dizikir itu dibangun tidak sambil melabrak batas
aturan syariat, seperti mabuk karena mengkonsumsi alkohol dan menyelenggarakan
konvoi akbar di jalan raya sambil melabrak rambu-rambu lalu lintas yang
kemungkinan besar meresahkan pengendara lain. Silakan berkonvoi, tapi taat dan
patuhilah rambu lalu lintas sebagai salah satu wujud implementasi dari hablum minan nas yang dalam tulisan
selanjutnya akan saya jelaskan lebih detil lagi.
Jadi, mari
berdzikir, kapan pun dan di mana pun kaki ini berpijak, di setiap hela nafas
dan detak jantung berdegub. Ini dihadirkan, semata untuk menundukkan ego kita
sebagai manusia yang kerap merasa “maha” sebab perangkat akal yang kita punya.
Akal menjadi satu-satunya alat yang menjadi pembeda dengan mahluk lain sesama
ciptaan-Nya. Dan akal itu pulalah yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya
mahluk teristimewa dari sekian mahluk-mahluk lain. Karena keistimewaan fungsi
akal itu, dzikir harus lahir agar kerja-kerja akal tetap tunduk bersimpuh di
depan dzat yang benar-benar “maha” segalanya itu.
Kemudian fikir. Sebagai aktivis pergerakan kita
didorong untuk memaksimalkan akal untuk berfikir. Menemukan cara dan
upaya-upaya solutif atas problematika kehidupan yang sedang dijalani. Itu
mengapa ASWAJA[2] di PMII selain
dijadikan madzab juga diposisikan sebagai minhajul
fikr[3]. Aktivis
PMII harus mengupayakan diri sebagai mujtahid-mujtahid
hebat, inovator, perumus-perumus handal di berbagai macam lini kehidupan, mencipta
kemudahan dan mengurai problematika kehidupan. Semua ini akan terealisir bila
akal yang kita miliki dimaksimalkan untuk berfikir.
Kemudian, amal sholeh. Hal ini lebih kepada kerja
tindakan yang dicontohkan oleh masing-masing aktivis itu sendiri, sebagai buah
dari perpaduan antara dzikir dan fikir yang telah ditempuh. Dalam mengerakkan
orang lain untuk berubah ke yang lebih baik, akan efektif bila berangkat dari
keteladanan-keteladanan kongkrit yang santun dan penuh cinta kasih oleh segenap
aktivis itu sendiri.
Mari, dzikir,
fikir, dan amal sholeh, bersama kita jadikan sebagai prinsip dalam bergerak di
PMII
NDP sebagai Landasan
Kita tahu
bahwa Indonesia sejak dideklarasikan, telah menjadikan Pancasila sebagai asas
dalam berbangsa dan bernegara. NDP, adalah bahasa lain dari Pancasila.
Pancasila yang terdiri dari lima butir itu, adalah rumusan sederhana dalam
mengakomudir segala corak-ragam masyarakat Indonesia. NDP hadir untuk
memperteguh agar Pancasila itu benar-benar dapat terealisir. Jadi, bagi aktivis
PMII, Pancasila itu sudah tidak ada masalah, tinggal kita bagaimana caranya mengkongkritkan
nilai-nilai Pancasila itu secara bersama-sama.
Dalam
berbangsa, berekonomi, berpolitik, dan berkebudayaan, acuan kita adalah
Pancasila. Soekarno pada masanya telah menamainya dengan istilah Tri Sakti, yang pemerintah Jokowi kini
mengadopsinya dengan bahasa lain bernama Nawa
Cita. Walau dalam perjalanan republik ini melangkah, masih banyak kita temui
“musang berbulu domba”, alias berwacana, berteriak-teriak, menyeru, mengajak,
mengondisikan dan lain sebagainya dengan atas nama Pancasila, tapi tindakan dan
corak berfikirnya tidak sebagaimana yang digariskan oleh Pancasila. Akal
pikiran dan tindakan kita lebih berkenan mengikuti ritme penjajahan yang setiap
detik terus diperbaharui ini.
Kita harus
tahu, bahwa spirit dasar kemerdekaan ini ditempuh semata agar kita sebagai
bangsa tidak larut dalam segala model penjajahan. Kita harus mandiri
sebagaimana penjabaran Tri Sakti.
Kini, setelah
penjajahan bermetamorfosis, dari klonialisme ke imprealisme, dari imprealisme
ke invastasi, kenapa kita justru semakin terkungkung dalam lokus penjajahan
ini?!
Jika dulu
penjajah datang langsung untuk menjarah segala kekayaan Indonesia, -baik
kekayaan alam maupun kegemilangan dari hasil cipta, rasa, dan karsa bangsa
Nusantara- tapi mengapa kini setelah para penjajah itu hengkang dari bumi
Indonesia kita justru mempersilakan diri untuk menjadi alat dari agenda
penjajahan di bumi Indonesia?! Mereka memilih orang-orang terbaik di antara
kita untuk dijadikan “jongos” mereka dalam men-“jongos”-kan kita-kita sesama
saudara sebangsa. Kita babak-belur dalam “mengabdi” kepada mereka, kita
mati-matian untuk mencapai standarisasi hidup sebagaimana telah digariskan oleh
mereka, kita rela mengorbankan keluarga, tidak peduli kepada sesama, dan
mengubur dalam-dalam atas segala prinsip nilai dalam berbangsa sebagaimana dulu
telah dirumuskan oleh nenek moyang kita. Kerja-kerja kolektif yang guyub itu kita
ganti menjadi kerja-kerja indivualis yang hanya menjunjung tinggi kepuasaan
diri dan abai dalam mempedulikan orang lain.
Bahkan,
sekolah-sekolah, kampus-kampus dan lembaga pemerintahan, kini semakin
terjerembab dalam kubangan penjajahan yang telah berganti nama menjadi
investasi.
Sekolah dan
kampus yang fungsi utamanya adalah mendidik sudah mulai bergeser ke sekedar
pencetak selebaran bernama ijazah, mengejar kelayakan diri untuk diterima
sebagai “jongos-jongos” kapitalisme yang liberalistik itu. Sudah semakin
sedikit yang mau belajar dan menekuni ilmu pengetahuan yang tidak bersentuhan
langsung dengan kepentingan kapitalisme ini. Jurusan-jurusan yang berada di
Fakultas Ushuludin seperti Aqidah Filsafat, Tafsir Hadits, Ulumul Quran adalah
contoh kecil dari sekian contoh yang bisa dikemukan.
Lembaga
pemerintah, dari pusat sampai daerah, apalagi sejak tumbangnya Rezim Orde Baru
yang otoritarianistik itu, yang pola pemerintahannya sentralistik, terpusat
dari Jakarta sebagai ibu kota pemerintahan, malah semakin meliberalisasi
segenap agenda penjajahan berbalut investasi. Pemerintah daerah yang awalnya
tidak memiliki ruang untuk mengeluarkan izin ekplorasi dan eksploitasi sebagai
wujud dari investasi, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2002,
turut memiliki ruang dalam memperlancar agenda penjajahan itu. Narasi yang
dibangun, lagi-lagi atas nama Pancasila dan amanah UUD ’45. Tapi nyatanya,
fenomena yang berkembang, berbanding terbalik dari spirit yang digariskan oleh
Pancasila.
Sebagai PMII,
kita punya tantangan untuk mengkontekstualisasikan NDP di era kekinaian. Dalam
hal hablum minallah, kita memiliki
tantangan untuk menyaji dan mendakwahkan Islam benar-benar sebagai agama yang rohmatal lil alamin. Syiar-nya
menentramkan, dibawa dengan kesantunan penuh kasih, sayang, dan keteladanan.
Bukan memaksa-maksakan ajaran dan pemahaman, apalagi sampai membawa pentungan.
Sebagai
gambaran, untuk memperteguh bintang sembilan yang temaktub di logo PMII, di
mana bintang sembilan itu dimaknai sebagai simbolisasi Wali Songo, maka, hal
yang perlu dititiktekankan kepada segenap aktivis pergerakan, bahwa wali songo
itu adalah jujukan kita dalam menyebarkan Islam. Bagaimana Wali Songo menyebarkan
Islam? Mereka datang ke masyarakat untuk membantu, ngewangi, turut andil menemukan solusi dari sekian masalah yang
dihadapi masyarakat. Atas masyarakat yang sakit, mereka datang sebagai tabib, atas masyarakat yang fakir dan
miskin, mereka datang sebagai penyantun, atas mereka yang tidak punya rumah,
mereka datang membantu membangunkan rumah. Dan segala hal lain yang melingkupi
problem masyarakat, mereka datang sebagai agen
problem solving. Karena begini, orang-orang banyak terkesan: “ini orang kok baik, pintar sekaligus
santun”. Mereka nyaman dengan hadirnya Wali Songo, karena
kenyamanan-kenyamanan inilah, mereka mulai “jatuh cinta” kepada Wali Songo.
Segala hal yang dikatakan dan dilakukan oleh Wali Songo, mulai mereka ikuti dan
pelajari, semata bukan karena keterpaksaan, -karena Wali Songo tidak pernah
memaksa- tapi karena ia ingin baik, pintar, sekaligus santun sebagaimana
perangai Wali Songo. Sejak itulah kemudian, Islam mulai menyebar bak virus di
musim hujan. Sholat, zakat, puasa, dan haji sebagai syariat yang konsisten
dijalankan Wali Songo, dengan sendirinya masyarakat mulai menegakkannya.
Dalam rangka hablum minannas, maka kita sebagai PMII
harus mengupayakan agar Pancasila itu benar-benar mewujud. Antara kata dan
tindakan kita harus berkelindan sebagaimana yang telah dijelaskan di poin-poin
Pancasila. UU, atau aturan turunan lain di bawahnya, yang medegradasi spirit
nilai Pancasila, harus kita perjuangkan bersama-sama. Di sisi hukum formil,
kita perjuangkan melalui Yudicial Review.
Di sisi politik, kita dorong aktor-aktor politik agar tetap berpegang teguh
pada Pancasila. Yang tak kalah penting, kita dorong masyarakat (civil society), agar tetap juga
berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila. Masyarakat madani sebagaimana yang
diidealisasi Cak Nur—Nurcholish Madjid, masih laik kita jadikan sebagai
standart gerak dalam memperjuangkan Pancasila melalui bidang politik
kemasyarakatan.
Selain itu,
sebagai PMII, kita harus terus konsisten memberikan kritik yang konstruktif
atas pemerintah. Kajian tentang problematika kebangsaan harus dikawal mulai
tingkat rayon sampai PB. belakangan, kajian-kajian ini sudah mulai hilang. PB
sekalipun terkesan hanya sekedar penonton dari hiruk ramai perpolitikan nasional
yang gaduh itu. Ia terkesan absen untuk menyoroti isu-isu nasional yang
sensitif. Penegakan hukum dan gerakan antikorupsi misalnya. Berkenankah PB
mengomando gerakan perbaikan ini?!
Hablum minal alam, kontekstualisasinya
di era kekinian, lebih dari sekedar slogan membuang sampah pada tempatnya.
Sebagai PMII, kita harus mengkaji dari sisi sosial, politik, budaya, dan
ekonomi atas sekian perusahaan-perusahaan asing yang kini menjulang angkuh di
berbagai macam titik di Indonesia. Secara hukum jelas perutaran itu legal,
karena berdirinya memang dilegitimasi oleh pemerintah. Tapi dari sisi sosial
kemasyarakatan yang harus berprikeadilan sebagaimana amanah Pancasila, ini
masih jauh dari harapan. Perusahaan-perusahaan asing itu, pada umumnya,
kehadirannya bukan malah mennyejahterakan, tapi meresahkan, mencerabut nilai
budaya masyarakat, merusak ekosistem sehingga menimbulkan bencana yang bertubi-tubi.
Kita sebagai
PMII harus hadir agar pengrusakan atas alam itu tidak terus menjadi-jadi. Tugas
kita sebagai kholifah –bukan khilafah- bila mau diserderhanakan, ya
bagaimana mengkongkrit NDP PMII itu berjalan seiring dan berimbang. Karena
ketiganya adalah satu kesatuan yang tak bisa bisa dipisahkan; hablum minallah, minan nas, dan minal alam.
Dzikir tanpa fikir, angkuh. Fikir tanpa
dzikir, sombong, sedangkan amal soleh tanpa fikir dan dzikir, itu tidak
mungkin.
Sahabat, PMII
bukan organisasi politik sebagaimana partai politik yang rata-rata dijalankan
hanya berdasarkan kepentingan kelompok maupun golongan. PMII organasasi
pengkaderan dalam menyiapkan anak didik republik untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan.
Jadi, mari,
kita yang ber-PMII, jangan menjadikan PMII sebagaimana partai politik yang
rata-rata dijalankan secara monopolistik itu. Politik yang kita bangun, harus
berpijak pada politik etik: “tidak boleh ada dusta di antara kita”. Bukan
menarasikan kedustaan-kedustaan sebagaimana laku umum para politikus yang
rata-rata lahir dari partai politik. Awalnya, mereka juga rata-rata aktivis
sebagaimana kita, tapi mereka turut larut dalam agenda distruktifikasi atas
republik.
Semoga ada di
antara kita yang tidak turut lurut sebagaimana tingkah mereka.
Akhirnya: “Tangan terkepal dan maju ke muka, mundur
selangkah –termasuk mundur dalam memperjuangkan nilai-nilai PMII- adalah sebuah pengkhianatan.
Allahu A’lam
Surabaya, 21 April
2016
[1]
Kader PMII Komisariat Syariah, Komisariat Besar (Kombes) Sunan Ampel, Cabang
Surabaya. Kini bertindak sebagai Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI)
Surabaya. Blog: http://marlaf-sucipto.blogspot.com
[2]
Ahlus Sunnah Wal Jamaah an-Nahdiliyyah.
[3]
Menyerap spirit ulama’ terdahulu dalam menemukan solusi atas sekian
problematika yang tengah dihadapi.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...