(Tulisan
ini saya persembahkan kepada Alifia Nisa Ikbar sebagai kado Ulang Tahun-nya di
umur yang ke-20)
Di bioskop,
kini ada film yang bagus ditonton. Utamanya oleh pemuda dan aktivis. Film itu:
"Surat Untuk Kartini".
Dalam menonton
film ini, menurut saya, perlu menggunakan pendekatan kritis. Mengapa? Karena
nuansanya masih Eropa (Belanda) centris.
Film ini dibuka
dengan adegan penolakan anak Sekolah Dasar (SD) atas gurunya yang akan
menceritakan tentang sosok Kartini tepat pada momentum "Hari
Kartini". Ditolak barangkali karena cerita tentang Kartini hanya itu-itu
saja, monoton; seputar konde, kebaya, batik, dan sanggul. Ini yang terus
diulang saat tiba tanggal 21 April di mana Kartini dirayakan.
![]() |
Gedung BLK Lamongan || PKD PMII Unisla |
Secara
substansial, spirit film ini memuat tentang pentingnya pendidikan dan pembelaan
atas hak perempuan yang kala itu terdiskriminatif; tidak punya hak menentukan
suaminya sendiri. Ia harus tunduk pasrah atas kehendak dan pilihan orangtuanya.
Di bidang
pendididikan, perempuan dianggap adalah sosok yang tak boleh berpendidikan. Ia
tidak boleh pintar dan cerdas.
Jika melihat
film ini secara terpotong, kita bakal tergiring untuk berasumsi, bahwa khazanah
ke-Nusantara-an -utamanya tentang adat-istiadat Jawa- sungguh tidak baik karena
pro pada tindakan diskriminatif sebagaimana ulasan di atas, dan tidak pro akan
pentingnya pendidikan atas perempuan.
Jika begini,
jelas terbaca, ini salah satu bagian dari propaganda Eropa dalam mendegradasi
nilai ke-Nusantara-an.
Mari amati, di
film ini, berawal sejak tahun 1901. Pada tahun ini, penjajah Belanda telah
menguasai bumi pertiwi ini. Menjadi menarik, saat Kartini surat-suratan dengan
Abendanon; seorang perempuan berkebangsaan Belanda yang turut membentuk pola
pikir Kartini. Inti dari surat-suratan itu, semacam dukungan moril oleh
Abendanon kepada Kartini dalam memperjuangkan hak dan pendidikan atas kaum
perempuan.
Dikotomi
bangsawan dan pribumi kala itu, yang mana bangsawan adalah mereka para penjajah
sedangkan pribumi adalah kita orang Indonesia, turut memperteguh bahwa
diskriminasi secara sistemis dan dalam skala yang lebih besar dilakukan oleh
Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Di film ini,
diperteguh oleh munculnya sebagian adegan, di saat Kartini sedang asyik-mashuk
memberikan pelajaran kepada perempuan muda Indonesia, di sebuah pantai yang
dipasangi plang bertuliskan; "Anjing dan Pribumi dilarang masuk", ia
memprotes orang Belanda yang hendak ber-"tamasya", yang kemunculannya
menjadikan orang yang mengikuti serangkaian pembelajaran tersebut pergi
tunggang langgang karena takut kepada mereka. Kesan kebangsawanan penjajah yang
superior turut mendekonstruksi mental saudara sebangsa kita.
Jadi, film ini
perlu ditonton secara kritis, jangan sampai melahirkan kesan, bahwa Belanda-lah
yang turut menjadikan Kartini Kritis dan berani "melawan" tradisi
orang Nusantara.
Kartini lahir
sebagai perempuan kritis karena ia ditempa oleh perempuan-perempuan Jawa.
Kesempatan sharing-nya dengan Abendanon, turut memperkuat nalar kritisnya dalam
"melawan" ketidakadilan sosial yang lahir akibat pranata sosial kala
itu yang pincang; bagian dari gerakan propagandis penjajah dalam mendegradasi
nilai-nilai ke-Nusantara-an.
Saya mengatakan
film ini "Eropa Centris" karena tak satu pun ditemui cuplikan adegan
yang memperteguh khazanah ke-Nusantara-an. Film ini justru mengesankan
pengekangan dan penekanan atas perempuan. Baik pengekangan dan penekanan untuk
tunduk patuh maupun untuk tidak menempuh pendidikan sebagaimana konstruksi
Eropa.
Sebagai
perbandingan pandangan, bahwa sebelum Nusantara dikuasai penjajah, pendidikan
itu sudah mendapatkan perhatian yang cukup baik. Atas setiap generasi, baik itu
laki-laki maupun perempuan.
Pendidikan atas
perempuan dianggap tidak penting pada zaman Kartini hidup, bukan dalam
pengertian yang umum, tapi lebih kepada, kita bangsa Indonesia memiliki
konsepsi tersendiri dalam memberikan pendidikan kepada para generasi.
Sedangkan
pendidikan dalam terminologi film ini, lebih kepada pendidikan yang dikonsepsi
oleh penjajah Belanda. Konsepsi ini terbaca setelah Kartini mendapatkan peluang
untuk melanjutkan study di Belanda. Anda tahu, pada masa itu pemerintah Belanda
masih di awal-awal membentuk kolonialisasi di Indonesia. Menyekolahkan anak
muda pilihan ke Belanda, hanya untuk melahirkan kesan, bahwa Belanda meskipun
di Nusantara sebagai penjajah, ia juga baik karena turut mengupayakan generasi
Nusantara cerdas.
Padahal, bila
mau difahami secara kritis, program itu justru memuat pesan untuk semakin
memantapkan agenda penjajahan di Nusantara. Terbukti, sampai negeri ini kini
bernama Indonesia, justru mereka-mereka yang lahir dari pendidikan formal
-sebagaimana dulu dikonstruksi oleh penjajah-, kini banyak yang bertindak
sebagai pelaksana teknis dari agenda penjajahan.
Sekolah-sekolah
kini justru berfungsi sebagai legitimator pencetak generasi yang siap menghamba
atas kepentingan penjajah sebagai tenaga mekanik. Penjajahan itu kini sudah
terbungkus halus dalam bahasa investasi.
Jika mau
melacak lebih jauh akan konsepsi pendidikan di Nusantara jauh sebelum tahun
1901, atau sekurang-kurangnya sebelum Nusantara dijajah, maka kita akan
menemukan pola pendidikan yang kini banyak kita kenali di pesantren-pesantren.
Konsentrasi
pembelajaran yang beragam, yang didasari pemahaman agama yang kuat, telah lebih
dulu ada dengan kurikulum yang tak kalah jitu. Inisiatornya, ya, nenek moyang
kita bangsa Indonesia. Walau memang, basis agama yang ditanamakan adalah Hindu
dan Budha. Pesantren kini, adopsi dari Hindu dan Budha, yang basis agamanya
diganti kepada Islam, agama yang dibawa oleh kerosulan Muhammad.
Pendidikan ini,
juga melingkupi remaja perempuan. Bukan sebagaimana belakangan dikenal,
utamanya di saat Kartini hidup, perempuan tak boleh berpendidikan karena
ujung-ujungnya nanti hanya berputar pada urusan kasur, dapur, dan sumur.
Mengapa dalam
konsepsi pendidikan Nusantara perempuan juga harus terdidik? Karena selain
perempuan berada dalam urusan dapur, sumur, dan kasur, ia juga bertanggung
jawab atas pendidikan dasar seorang anak. Perempuan yang menjadi ibu, akan
bersentuhan pertama kali secara langsung dengan anak sejak kandungan sampai
melahirkan.
Jadi, pemetaan
"Barat" yang menuduh perempuan Nusantara hanya berada dalam urusan
dapur, kasur, dan sumur, tanpa menyertakan peran mereka di sisi pendidikan
anak, ini jelas pemelintiran, hanya untuk mendorong perempuan-perempuan
Nusantara untuk turut berteriak-berteriak menuntut kesetaraan hak sebagaimana
konsepsi "Barat".
Padahal,
laki-laki di ranah publik sedangkan perempuan di ranah domestik itu semata
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Karena kala itu, kerja-kerja di
ranah publik, secara fisiologis, tubuh laki-laki memang lebih layak.
Spirit Kartini,
mari kita maknai sebagai media untuk memotivasi perempuan dalam berpendidikan
sebaik mungkin. Karena perempuanlah yang akan bersentuhan pertama kali dengan
anak. Baik secara fisik maupun psikis. Juga, keputusan sepihak oleh laki-laki
atas perempuan dalam hal jodoh, itu yang perlu kita tolak karena cenderung
monopolistik; berpihak atas kepentingan dan selera laki-laki.
Setiap hal,
termasuk dalam urusan jodoh, mari kembalikan kepada konsepsi ke-Nusantara-an
yang dulu telah diidealisasi oleh moyang, yaitu harus berdasarkan musyawarah
mufakat. Maksudnya, lakukan musyawarah sampai menemukan kata mufakat. Ini adalah
konsepsi kesataraan yang sekarang diabadikan di dalam butir-butir Pancasila
sebagai pegangan kita dalam berbangsa dan bernegara di negeri yang
ber-"Bhinneka Tunggal Ika".
Allahu A'lam.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...