Haji dan Kesalehan Sosial

Kita tahu jumlah jamaah haji dari Indonesia tahun ini –berdasarkan data dari Kemenag RI- berjumlah 155.200 jamaah. Ditambah Calon Jamaah Haji (CJH) Khusus sejumlah 13.600 orang. Jamaah haji asal Indonesia, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan. Sistem antrian bagi CJH, yang menimal harus antri sampai 5 tahun, dan bisa jadi sampai 25 tahun, tak menyurutkan semangat mereka untuk berhaji. Belum lagi ibadah umroh yang bebas dilaksanakan di luar bulan Dzulhijjah juga tak kalah membludak.

Ini satu sisi membanggakan tapi di sisi yang lain masih menyisakan ironi. Bangga karena, spirit umat Islam Indonesia yang secara kuantitas terbesar di dunia, dalam menunaikan rukun Islam yang ke-5, luar biasa banyaknya. Tapi dari segi kualitas keber-Islam-anya, masih perlu untuk terus ditingkatkan.

Ibadah haji wajib bagi yang mampu. Mampu, menurut Guru Besar Ilmu Fiqh UIN Sunan Ampel, Prof. Dr. Faishol Haq, M. Ag., ialah tatkala CJH dari segi fisik, psikis, dan pembiayaannya memenuhi syarat. Fisik, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan dokter, atau petugas yang kompeten dalam memastikan, fisik CJH itu dianggap layak untuk menunaikan ibadah haji. Psikis, CJH jelas terjamin tidak sedang gila atau mengidap penyakit tertentu lain yang di kemudian hari selama berhaji akan mengganngu keberlangsungan ibadah. Dan, yang tak kalah penting, hal ini juga telah dipertegas oleh firman Allah di dalam al-Quran (03/97), CJH memiliki bekal biaya yang cukup dalam perjalanan pergi-pulang haji. Walaupun dalam pola teknis biaya ini, ulama’ fiqh terbagi dalam dua pendapat: pertama, CJH harus memiliki bekal dana pasti, alias bukan hasil hutang. Kedua, dana CJH boleh dari hasil hutang yang pola pembayarannya kredit.
Kewajiban berhaji, di dalam rukun Islam, berada di urutan ke-5. Itu setelah rukun-rukun yang lain telah tertunaikan dengan baik. Masalahnya, belakangan orang suka berhaji, termasuk umroh, tidak hanya dilakukan sekali. Berkali-kali. Semacam telah menjadi trand dalam gaya hidup masyarakat muslim kekinian. Data yang dilansir Jawa Pos (7/9), di musim haji kali ini, ada sekitar 2.493 orang yang pernah berhaji. Pemberitaan CJH yang terendus akan berangkat dari Filipina secara ilegal karena penuhnya quota di Indonesia, dan ditemuinya CJH asal Indonesia di Mekkah yang tak berdokumen resmi (Jawa Pos, 10/9), semakin memperteguh bahwa, minat untuk berhaji yang cenderung tidak hanya sekali ini luar biasa tingginya.
Haji tidak hanya sekali, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Ali Mustafa Yaqub, selain menyalai syariat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, SAW., juga termasuk dalam pola konsumerisme gaya baru yang dibungkus ibadah. Orang Islam yang lebih memilih berhaji lebih dari sekali ketimbang menyantuni saudara sebangsa lain yang membutuhkan adalah cara ber-Islam yang -meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Amien Rais dalam Tauhid Sosial-nya- tidak memenuhi pesan substantif surah al-Ma’un di dalam al-Quran.
Haji adalah ritus pribadatan yang mestinya berkelindan dengan perangai baik seorang muslim. Berhaji atau umroh tidak hanya sekali adalah sebuah wujud dari ketidakbaikan perangai yang dimiliki oleh seorang muslim. Pribadatan itu bisa digolongkan -sebagaimana judul buku yang ditulis oleh Ali Mustofa Yaqub- sebagai ibadah Haji Pengabdi Setan, karena dalam beribadah, cenderung mengikuti trand dan mengejar status sosial.
Menguatnya Garis Kemiskinan
Di Indonesia, menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2015, berjumlah sekitar 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah menjadi 0,86 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya, 2014, yang berjumlah 27,73 juta orang (10,96 persen).
Meningkatnya kesadaran untuk menunaikan ritus ibadah seperti haji, harus segaris dengan kesadaran diri dalam “memerdekakan” orang-orang miskin dari kemiskinannya. Ibadah sosial, yang dalam tata teknisnya boleh bersifat konsumtif primer maupun produktif, adalah pilihan yang bersama-sama harus kita galakkan.
Menyantuni orang miskin dengan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan primernya adalah pilihan yang pelan-pelan harus menggeser kebiasaan diri yang hanya mengutamakan pribadatan berbasis ritus. Gerakan menyantuni kebutuhan primer harus berlanjut pada tindakan lain yang sifatnya mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan yang menyandera. Dalam hal ini, miskin, yang penyebabnya juga akibat konstruksi gaya hidup konsumtif, yang ditopang oleh kemalasan diri, perlahan mulai ditanamkan supaya pola konsumsi hidup lebih mengutamakan kebutuhan, bukan keinginan. Kemalasan yang kerap menyandera karena diri merasa kalah sebab tiadanya skill dalam menjalani hidup juga harus menjadi fokus perhatian dalam gerakan santunan yang bersifat produktif ini.
Andai, biaya untuk berhaji atau umroh yang lebih dari sekali itu oleh masing-masing diri yang mampu dikonversi menjadi ibadah sosial, tentu jumlah orang miskin bisa ditekan seminimal mungkin.
Mari, semua pihak harus turut andil agar kita dalam beribadah tidak mengalami ketersasaran. Islam datang, untuk menyelamatkan.

Komentar