Bukankah hukum
itu berlaku atas orang yang tahu? Tuhan saja memaafkan atas perbuatan di luar
ketidaktahuan terhadap peraturan hukum-Nya, apalagi kita sesama manusia,
haruskah membuat hukum melebihi aturan hukum yang diatur oleh-Nya?, menjadi
keprihatinan mendalam di jatuhinya hukuman mati dan hukuman seumur hidup atas
terdakwa kasus mutilasi salah satu marga suku di Noaulu, Pulau Seram, Maluku
(Kompas, 25/02/2009), yang tujuannya tak lain hanya untuk persembahan atas
pembagunan rumah adat. Mempersembahkan salah satu organ tubuh manusia untuk
melengkapi ritus keyakinan dalam pembangunan rumah adat ini menjadi salah satu
tradisi nenek moyang marga suku Noaulu yang tetap dipertahankan. Walaupun pada
tahun 1970-an tradisi tersebut oleh para tokoh adat diganti dengan piring kuno
atau kepala kaskus (Kompas,25/02/2009). Tetapi, Sampai saat ini budaya tersebut
sulit dihilangkangkan karena mungkin masih dianggap tradisi yang mesti
dipertahankan. Diperkuat dengan keterangan tokoh masyarakat Noaulu yang juga
Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25),
mengakui tradisi pengunaan kepala manusia sebagai persembahan penbangunan rumah
adat memang ada sejak zaman dahulu (Kompas, 25/02/2009)
Hemat saya,
dirasa tak terbesit sidikit pun di benak mutilator Noaulu untuk
mendiskriminasikan korban mutilasi tersebut. Beda dengan kasus mutilasi kondang
asal Jombang Verry Idam Henyansyah alias Ryan yang di penghujung tahun 2008
populer diperbincangkan, tujuan formalnya jelas jauh berbeda, mutilasi Jombang
untuk memperkaya diri dengan cara kejam dan sadis, sedangkan mutilasi Noaulu
untuk mempertahankan keyakinan adat. Sangat wajar bila mutilator jombang
dijatuhi hukuman mati, karena selain orangnya berpendidikan apalagi dikenal
pendidik, juga orangnya bisa diyakini tahu aturan hukum Negara dengan
pengetahuan pada bahasa negeri yang fasih. Dan sangat tidak wajar hukuman
seumur hidup apalagi hukuman mati dijatuhkah atas warga marga Noaulu yang
kondisinya jauh dari keterjangkauan pengatahuan luas kecuali pengatahuan adat yang
mengental, didukung ketidakbiasaanya terhadap bahasa negeri (Indonesia) apalagi
peraturan dan perundang-undangan hukum dinegeri ini. Ukuran rasional saya,
sangat tidak pantas bila hukum dijatuhkan kepada orang yang tidak tahu dan alat
untuk tahu (bahasa) masih belum dikuasainya. Akan lebih pantas
mensosialisasikan sekaligus meningkatkan kualitas pendidikannya, agar komunitas
warga yang diyakini perlu mendapatkan perhatian lebih bisa sepadan dengan warga
yang sudah dianggap mampu beretika, berprilaku, ala warga lain Indonesia masa
kini yang tahu aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kemiripan Tradisi dan Alkisah
Melihat tradisi
warga marga Noaulu, yang hampir sama dengan salah satu kisah Nabi dalam
leterasi agama Islam, Nabi Ibrahim, yang rela dan ihklas mengorbankan putra
semata wayangnya Isma'el demi ketegakan agama Tuhid yang diyakininya, putra
satu-satunya yang sangat disayangi, dan satu-satunya anak yang ditunggu puluhan
tahun akan kehadirannya, kini harus dikorbankan atas perintah Tuhan yang
diyakini memerintahkan kepadanya, walau perintah tersebut hanya melalaui media
mimpi yang kontra sekali dengan akal logika dan rasionalitas, tapi rasionalitas
tidak menjadi ukuran mutlak atas keyakinan yang diyakininya, semua termentahkan
oleh keyakinan yang kuat untuk tetap melaksanakan perintah Tuhannya, sebagai
suatu persembahan dan ketundukan kepada Tuhan yang diyakininya.
Kisah Nabi di atas,
ketika direlevansikan dangan tradisi warga marga Noaulu, menurut hemat saya,
hampir ada kesamaan substansi, hanya beda zaman dan waktu, warga Noaulu;
tradisi mengorbankan salah satu organ tubuh manusia sebagai persembahan atas
pembangunan rumah adat, tak lepas dari keyakinan spritualnya yang menurut
pemerintah di-klaim sebagai agama
Hindu (Kompas, 25/02/2009). Dimana tradisi tersebut dengan kisah pengorbanan
Nabi Ibrahim atas anaknya sangat tidak bisa dijangkau oleh akal logika dan
ukuran rasionalitas, ketika dacarikan pembelaan dan pembenaran menurut ukuran
rasionalitas dan undang-undang yang dibuat oleh sesama manusianya (aturan hukum
pemerintah) maka tidak akan ditemukan titik temu yang signifikan. Karena
rasionalitas tidak mampu menjangkau keyakinan spiritualitas yang cendrung
irrasional.
Undang-Undang Yang Memihak
Kasus di atas
ketika dielaborasikan dengan kondisi mayoritas pelasana (ekskutif), pengawas
(yudikatif), dan pembuat (legislatatif) undang-undang negeri ini sangat tidak
ada keadilan. Semisal, Herman Allositandi, Irawady Joenoes, Urip Tri Gunawan
(Yudikatif), Al Amin Nasution, Bulyan Royan, (legislatif) dan puluhan pejabat
ekskutif dan legislatif anggota DPRD serta kepala daerah, baik gubernur,
bupati, atau wali kota sepanjang tahun 2006-2008 (Kompas, 25/02/2009) ketika
bertindak yang mematikan sendi-sendi kehidupan negeri ini, yaitu
"korupsi"! tidak diadili sesuai amanah undang-undang. Seharusnya
orang yang seperti ini yang pantas dihukum seumur hidup dan dihukum mati,
karena sudah jelas merugikan sekaligus mematikan rakyat pelan tapi pasti. Orang
seperti ini sudah sangat jelas paham betul terhadap aturan dan
perundang-undangan di negeri ini. Tapi peraturan hanya sebatas peraturan yang
mudah dilontarkan dan dipertofoliokan, belum menyentuh tatanan implemetasi yang
sifatnya menyentuh seluruh lapisan, tampa terkecuali pejabat legislatif,
ekskutif, dan yudikatif sebagai lembaga panutan dan percontohan negeri ini.
Sanksi pelanggaran pada aturan dan perundang-undangan hukum yang berlaku
terkesan hanya untuk rakyat yang lemah dan terisolasi seperti warga marga
Noaulu dan warga pedalaman lainnya yang jelas buta bahasa, apalagi hukum
Negara.
Ketidak Merataan Sanksi
Jelas kita
jumpai; penjara atas pejabat dan orang biasa sangat jauh berbeda, ruang pegap,
dan bau diperuntukkan untuk orang biasa. Sedangkan penjara untuk para pejabat
layaknya ruang vip hunian orang abdi
Negara yang bersih dari KKN. Hal ini sangat tidak sesuai dengan bunyi sila yang
ke-2 yaitu sila "kemanusiaan yang adil dan beradab", dimana diambil
dari salah satu bunyi 45 butir pancasila yang ada di sila ke-2 berbunyi, 1)
mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. 2) mengakui persamaan drajad, persamaan hak dan
kewajiban asasi setiap manusia tampa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya (UUD
45' Amandemen I, II, III, IV).
Pesan Pancasila
sangat jelas hanya pertofolio, tidak ada pengaruhnya sedikit pun terhadap
keputusan dan kebijakan para pemegang kekuasaan. Pesan pancasila hanya
dijadikan pesan mati yang tidak digubris. Walau formal pelaksanaannya seakan
menjalankan yang diamanahkan Pancasila, tapi substansinya melenceng bahkan
bertentangan dengan Pancasila. Sungguh ironis negeri ini punya perundang-undagan
yang mengayomi seluruh lapisan, tapi pelaksanaannya dijalankan dengan cara
pincang.
Tulisan ini
adalah tulisan pertama saya yang dikirimkan ke Kompas jatim
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...