Bedah editorial
Majalah Fajar, Institut Ilmu
Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep dengan tajuk: "Investor
Borong Tanah Sumenep; Penduduk Diancam, Ditakuti, dan Ditipu", oleh Daulat
Tanah Sumenep Rabu kemaren (14/9) di Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) Sumenep berjalan
lancar.
Hanya fokus
pada persoalan tanah dalam diskusi kemaren. Walaupun Fajar, juga memiliki fokus laporan lain yang diturunkan.
Di Sumenep,
tanah yang bernilai bisnis, sudah marak penguasaannya oleh corporate sejak tahun 2014. Saat ini, penguasaan tanah itu sudah
berada di 14 desa dari 9 kecamatan yang ada. Di Kecamatan Gapura, meliputi;
Desa Anduléng 14 hektar (Ha), Banjar
Timur 1,1 Ha, Gapura Tengah 1 petak tanah, dan Karang Buddih 4 Ha. (hal. 6).
Bergeser ke timur
dari Kecamatan Gapura, Desa Lapa Déjéh
Kecamatan Dungkek, corporate telah
menguasai tanah rakyat seluas 20 Ha. Dan 29 Ha Di Kecamatan Batang-Batang, Desa
Lombéng.
![]() |
Bersama A. Dardiri Zubairi memandu diskusi |
Di Kacamatan
Batu Putih; Desa Badur, di Kecamatan Manding; Desa Lanjû' dan Ténonan, dan
Kecamatan Blutôh, corporate juga merengsek masuk melakukan
penguasaan.
Dalam
penguasaan ini, corporate rata-rata
memaksimalkan peran aparatur desa (hal. 7). Peran mereka menjadi mudah tatkala
uang dalam jumlah yang tak kecil sebagai iming-iming utamanya.
Kuasa uang ini
juga mampu memporak-porandakan tata sosial masyarakat. Bahkan, menurut
penuturan A. Dardiri Zubairi, ada banyak bangunan rumah tangga yang sampai
bercerai hanya karena beda pendapat soal tanah. Satu keluarga berpendapat tanah
jangan sampai dijual karena demi keberlangsungan anak cucu, keluarga lain malah
menginginkan tanah itu dijual karena dinilai tidak produktif (Kajél; Madura).
Selain aparatur
desa, banyak warga yang dari segi fisik dan mental bercorak preman juga dipakai
oleh corporate untuk menguasai tanah.
"Benturan" sesama tarétan tibi'
tak bisa dicegat untuk terjadi.
Tak cukup hanya
tanah dikuasai kemudian selesai. Corporate
tetap menjadikan preman lokal sebagai "anjing" peliharaannya dalam
"menggonggongi" saudara sebangsanya sendiri. Mereka
"mengonggong" tatkala ada saudara sebangsanya yang mencoba menapaki
daerah-daerah yang telah dikuasai itu. Padahal, sebelum daerah itu dikuasai
oleh corporate, tanah-tanah itu masih
bebas dilalu-lalangi oleh masyarakat tanpa adanya "anjing" yang
"menggonggong".
![]() |
Cover Majalah Fajar |
Grafik yang
diturunkan Fajar (hal. 7) dalam alih
kepemilikan tanah di Sumenep, rata-rata foktor utamanya karena masyarakat
melihat harga jual tanah yang cukup tinggi. Ketimbang faktor lain seperti; paksaan,
penipuan, dan ancaman.
Corporate yang menguasai tanah di
Sumenep, menurut data yang didapat dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPPT) Kab. Sumenep adalah; Cv. Madura Marina Lestari dengan nilai saham
sebesar Rp. 1.450.000.000.00, Cv. Lombang Sejahtera Bersama, Rp.
500.000.000.00, PT. Samudera Perkasa, Rp. 3.250.000.000.00, Yuji Kondo dari Newbara.,
Co Ltd. Jepang, Rp. 1.750.000.000.00, dan Hadi Cokro dari UD. Widya Mandiri,
Rp. 7.793.630.000.00 (hal. 10).
Ini yang
terdata. Yang tak terdata, alias perizinannya masih belum terurus dengan
operasionalisasi perusahaan yang terus beroperasi, masih banyak.
Para corporate itu rata-rata orang asing,
alias bukan orang Indonesia. Walau memang, mereka di awal dalam menguasai
tanah, diatasnamanakan orang Indonesia, bahkan bila perlu atasnama penduduk
lokal. Tapi belakangan, dalam beberapa tahun kemudian, baru benar-benar
diatasnamakan mereka. Hal ini diperteguh oleh kesaksian seorang Kepala Desa
saat Muhammad Affan, kolega saya, menemuinya. Juga diperteguh oleh kesaksian
seorang warga Sumenep, yang dulu tanah mertuanya dibeli oleh pengusaha tembakau
yang kini tanah itu dibanguni gudang tembakau. Diawal atasnama penduduk lokal,
belakangan, dalam senyap, beralih kepemilikan kepada asing dari China.
Keberpihakan Bupati Sumenep
Bupati Sumenep,
A. Busyro Karim, saat diwawancarai Fajar
(hal: 16), kesempulan saya, jelas ia pro terhadap investor. Memang, dalam hal
ini, seirama dengan kebijakan pemerintah provinsi maupun pusat di bawah
kepemimpinan Jokowi.
![]() |
Syi'ir Pembuka Dalam bedah editorial oleh A. Dardiri Zubairi |
Regulasi,
semacam Peraturan Bupati (Perbub), atau Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur
soal tanah untuk kepentingan korporasi, penting untuk diadakan.
Dimana, dalam
regulasi itu, memuat nomenklatur yang menyebutkan, agar penduduk lokal, dapat
diperankan secara aktif agar berdaulat di tanah airnya sendiri. Bukan hanya
sekedar buruh yang waktunya bermasa; setelah tenaga dan umurnya menua, ia
di-'istirahatkan' oleh perusahaan. Mereka kemudian, memiliki kemungkinan luntang-lantung ke mana-mana karena mau
bercocok tanam sekalipun, tanah mereka sudah tiada.
Atas tanah yang
sudah kadung dikuasai oleh corporate,
pastikan usaha itu tertib membayar pajak kepada pemerintah. Limbah yang
dihasilkan, terjamin tidak akan merusak ekosistem di lingkungan di mana usaha
itu terbangun. Dan, pastikan pula, kewajiban perusahaan untuk membuat program
sosial yang membangun nan produktif atas masyarakat (baca: CSR) di sekitar
usaha itu dibangun, benar-benar dapat direalisasikan secara proporsional dan
professional. Jika perusahaan melanggar, sanksi minimal adalah dicabutnya izin
operasionalisasi perusahaan.
Tanah yang
belum dijual dan masih dalam proses penjualan, selain usaha-usaha itu harus
memiliki dampak positif dan tidak membawa dampak negatif atas masyarakat,
perankan mereka yang punya tanah sebagai pemilik saham dalam rencana usaha itu.
Pemilik tanah, sebagai pihak yang memiliki tanah, sedangkan pengusaha, sebagai
pihak yang memiliki konsep dalam usaha tersebut. Pengelolaan usaha itu dijalankan
secara bersama-sama. Atas setiap usaha yang dijalankan, harus diatur agar siap
dikontrol oleh publik.
Mengapa
regulasi itu perlu? Karena fatwa kiai yang tidak memperkenankan menjual tanah,
bahkan tanah yang diwariskan oleh leluhur sebagai jimat, "...Ché' acuélén tana sangkôl malé ta' calaka`; jangan menjual
tanah warisan supaya tidak celaka", kini sudah tidak mempan lagi dalam
melindungi tanah-tanah dari cengkraman para corporate.
Saya pribadi
mendukung program pemerintah yang dengan sadar dan sengaja mengundang para corporate untuk berinvestasi di
Indonesia. Cuma, kedatangan mereka, perlu ditopang oleh regulasi yang
melindungi tata sosial masyarakat Indonesia yang masih dianggap baik. Juga yang
terpenting, kedatangan para corporate
itu, selain harus terjamin tidak akan merusak lingkungan, juga dapat
benar-benar mensejahterakan dan mencerdaskan masyarakat.
Bagi saya,
penggusuran ribuan makam nenek moyang untuk kepentingan corporate, terjadinya benturan di masyakarat dalam alih kepemilikan
itu, dan pembuangan limbah tambak udang ke laut dengan bau yang mulai terasa di
daerah pesisir utara Sumenep, adalah petanda sederhana, bahwa pemerintah, mulai
pusat sampai daerah, hanya berorientasi untung secara materi, dan menutup mata
atas segala kerusakan -baik sosial maupun lingkungan- yang ditimbulkan oleh usaha-usaha
berbasis korporasi.
Mari maju, bangun
negeri dengan cara-cara terhormat dan bermartabat.
*Kordinator Daulat
Tanah Sumenep
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...