Jamak kita
tahu, aktivis mahasiswa adalah salah satu promotor perubahan yang
diperhitungkan. Sejarah gerakan mahasiswa dari masa ke masa terus mewarnai laju
perjalanan sebuah bangsa. Tak terkecuali sejarah gerakan mahasiswa di
Indonesia. Tumbangnya rezim Orde Lama; Soekarno, Orde Baru; Soeharto, yang poin
utamanya adalah untuk memperbaiki republik, promotor utamanya adalah gerakan
mahasiswa.
![]() |
Di Mapaba PMII Rayon Syariah & Hukum, Sunan Ampel |
yang lain.
Mahasiswa,
adalah julukan tertinggi atas penuntut ilmu di lembaga pendidikan formal model
sekolahan. Di kampus, mereka berada di posisi yang setara dengan transformer
ilmu pengetahuan; dosen. Dialektika antara dosen dan mahasiswa, sudah tidak
hanya dalam bentuk take and give¸tapi
bagaimana kemudian, mahasiswa dan dosen ini dapat bersinergi dalam melahirkan
karya yang konstruktif transformatif atas problematika kehidupan yang tengah
dan akan dijalani.
Kampus
berposisi sebagai laboratorium dalam mengkaji dan meneliti atas sekian hal yang
terjadi di masyarakat. Tindakan ini, sebagai kontribusi kampus dalam menata
pranata sosial yang ada. Karena bagaimana pun, perjalanan hidup ini akan terus
seiring dengan problem-problemnya.
Karena di
kampus dosen dan mahasiswa berada di posisi yang setara, maka mahasiswa, dapat
mengajukan pemikiran yang berbeda dengan dosen. Tentu pemikiran itu
argumentatif, didasarkan atas fakta dan data dari hasil studi kepustakaan.
Kebenaran pengetahuan, tidak terus “dimonopoli” oleh tranformer ilmu
pengetahuan sebagaimana di sekolah-sekolah, tapi mahasiswa pun, dapat juga
mengemukakan sebuah kebenaran pengetahuan untuk didialektikakan. Debat,
sanggah, kritik, adalah hal yang biasa di kampus, bukan hal yang tabu
sebagaimana di sekolah-sekolah.
Jika di sekolah
yang tertuntut untuk menjadi teladan adalah guru –sosok yang patut ditiru dan
digugu dalam terminologinya K. Hadjar Dewantoro—, maka di kampus, dosen dan mahasiswa
sama-sama tertuntut untuk menjadi teladan; mengkongkritkan pengetahuan positif
yang hampir setiap hari didiskusikan. Hal ini karena, kampus adalah imbriologi
ilmu pengetahuan yang karya-karyanya dijadikan rujukan dan jujukan oleh
masyarakat.
Problem klasik
yang sampai kini masih membelit, keteladanan, baik oleh dosen maupun mahasiswa,
kini semakin tergerus. Dialektika ilmu yang terbangun di kampus, bahkan karya
yang dihasilkan dari dialektika itu, hanya dicukupkan sebagai narasi. Upaya
untuk mengkongkritkan dialektika dan karya itu, terkesan setengah-setengah,
bahkan nyaris tiada. Menjadi ironi tatkala dialektika dan karya itu terus
mengalami degradasi, asal-asalan, hanya untuk mendapatkan ijazah sebagai
prasyarat formal kelulusan. Konsekuensinya, kualitas lulusan, sangat rendah.
Bahkan, mereka-mereka inilah kemudian turut menjadi problem di masyarakat.
“Sampah masyarakat” justru banyak lahir dari kampus. Dalam hal ini,
kesalahannya tidak murni dari kampus, tapi sudah ada keterlibatan pihak yang
tak tampak, yang telah berhasil masuk ke pemerintah, kampus-kampus, dan yang
tak kalah urgen, menyelinap ke alam bawah sadar kita dalam mengkonstruksi dunia
kampus, bahwa kampus itu bukan lagi sebagai imbriologi ilmu pengetahuan yang
kemudian berfungsi pemecah atas problem-problem di masyarakat, tapi, kampus
hanya sebagai sarana agar kita layak sebagai “babu” di tanah air sendiri oleh
perusahaan multinasioanal dan internasional.
Krisis
keteladanan di kampus menjadi tambah akut tatkala penentu kebijakan –dalam hal
ini bisa dari unsur dosen dan mahasiswa— dalam mengelola kampus menggunakan
logika politik yang saling menjatuhkan. Bukan logika kerjasama dalam membangun kebaikan.
Mereka pandai membangun narasi dan pintar berkelit. Narasi untuk memperkuat
diri dan kelompoknya, narasi untuk “menyerang” orang yang “bersuara sumbang”
atas pola-pola pengelolaan yang sedang mereka tangani. Tatkala begini, kampus
malah menjadi pencetak para bromocora. Mereka yang berproses secara aktif di
kampus, malah terasah insting dan pengetahuannya, bagaimana menjadi ”mafia”
yang tampaknya baik.
Semakin
“mandul” peran kampus, tatkala gerakan kritis yang dilakukan oleh mahasiswa,
selain dikemukakan dengan cara-cara yang tidak terhormat dan beradab, juga
kerap dijadikan ajang untuk menegoisasikan kecundangan. Bahasa kerennya,
gerakan aktivis itu, banyak kritis di depan pintu, dan memilih kompromistis di
balik pintu. Cara-cara yang tidak terhormat, ya, contoh sederhananya, saat
mereka mengajukan pendapat yang berbeda, cenderung dikemukakan dengan cara-cara
emosional teriak-teriak sambil merusak fasilitas publik.
Bagaimana seharusnya?
Peran ganda
aktivis saya pilih sebagai tema tulisan ini karena: Pertama, sebagai organisatoris, aktivis itu memiliki tanggung jawab
untuk membenahi diri dan golongannya, agar tidak berfikir sempit, menjadikan
perbedaan sebagai pintu pembuka untuk bermusuhan. Selama ini, aktivis cenderung
egois dan antikritik, baik atas kritik yang dilakukan oleh saudara
se-organisasinya, oleh orang-orang di luar organisasi yang diikutinya, maupun
oleh masyarakat umum. Pupuklah harmoni dalam perbedaan-perbedaan. Bukannya kita
di republik ini diikat oleh Bhinneka
Tunggal Ika; Berbeda-beda tetapi tetap satu jua? Kedua, rajutlah hubungan dengan logika kerjasama, jangan
menggunakan logika persaingan. Karena jika menggunakan logika persaingan,
jangankan beda organisasi, sesama organisasi pun, kita memiliki kemungkinan
untuk saling “hantam”. Logika kerjasama, itu idealisasi founding fathers kita dalam berbangsa, agar generasi republik, bisa
bersinergi dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Apa cita-cita kemerdekaan
itu? Ya, semua hal yang termaktub di Pancasila. Tanggung jawab kita bersama
untuk mewujudkan butir-butir Pancasila itu. Ketiga,
kembalikan fungsi awal kampus sebagai imbriologi ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya. Segala hal yang diproduksi di kampus, dicapai dengan cara-cara
yang terukur, terhormat, dan content ilmu
pengetahuannya, benar-benar ilmu pengetahuan yang kontributif atas perbaikan
dan dapat dipertanggungjawabkan secara baik. Stop produksi ilmu pengetahuan
seolah-olah dan hanya mengejar keformalan belaka. Keempat, dalam mengemukan pendapat yang berbeda, termasuk model
mengemukan pendapat dalam berdemonstrasi, temukan cara-cara terhormat nan
beradab tanpa menghilangkan nalar kritis yang telah diasah. Kemukakan tanpa
emosi dan fikiran jernih, dan bila berdemonstrasi, jangan merusak apa pun,
apalagi yang menyangkut fasilitas dan kepentingan publik. Saatnya gagasan yang
diasah dan diperkuat, bukan sumpah serapah dangkal sebagaimana yang
sudah-sudah. Kelima, jangan lupa Tri
Dharma; belajar, meneliti, dan mengabdi. Tiga komponen ini harus diseriusi
betul. Belajar, belajarlah yang baik, lahap bahan bacaan dan perbanyaklah
diskusi. Hidupkan terus tesis, sintesis, dan antitesis dalam ruang dialektika
yang saling membangun, bukan saling menjatuhkan. Yang terakhir, mengabdilah
kepada masyarakat, baik langsung yang melibatkan fisik, atau kontribusi gagasan
untuk sebuah kebaikan. Jangan gagal paham mengenai kuliah. Kuliah bukan lembaga
yang sekedar mencatak ijazah yang kini dijadikan salah satu syarat dalam hal
mencari nafkah, tapi kuliah sebagai ruang berproses agar kita mengenali
kesejatian kita sebagai manusia yang harus bermanfaat atas sesama mahluk
ciptaan. Terserah, di mana pun kita bekerja nanti, yang penting, posisi kita
tidak seperti laiknya robot yang bergerak atas dasar mesin, kita memiliki hati
dan akal fikir untuk memperteguh kesejatian kita sebagai manusia.
Tulisan versi pdf-nya, bisa Anda download di sini
Tulisan versi pdf-nya, bisa Anda download di sini
[1]
Disampaikan dalam diskusi terbuka, acara Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Lintang Songo,
Universitas Nahdlatul Ulama’ Sidoarjo
(UNUSIDA) di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU), Tulangan Sidoarjo,
dan Mapaba PMII Rayon Syariah & Hukum, Komisariat Sunan Ampel Cabang
Surabaya, di Villa Ikadi, Dusun Marasih, Kemiri, Pacet, Mojokerto, pada Sabtu,
8 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...