Hari ini,
Sabtu, 22 Oktober 2016, pertama kita menyelenggarakan “Hari Santri”. Sebuah
momentum untuk mempermenungi kembali peran santri dalam “melawan” penjajahan
dan keterlibatannya mewujudkan kemerdekaan. Hari santri ditautkan dengan
resolusi jihad-nya Kiai Hasyim Asy’ari. Istilah resolusi jihad Kiai Hasyim
As’ari itu muncul karena beliau menginisiatori sekaligus memandu pertemuan para
alim ulama’ se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945, guna membangun kesepahaman
“perlawanan”, menyatakan perang terhadap penjajah yang kembali ingin melakukan
penjajahan di bumi Indonesia. Wujud kongkrit dari lahirnya resolusi jihad itu,
mampu menggerakkan para kiai dan santri se-Jawa dan Madura, untuk melawan
Inggris yang kembali akan menduduki Surabaya sebagai kota jajahan. Perang
berlangsung selama tiga minggu lebih, sejak meletus pada 10 November 1945.
Perang perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan ini, kini di abadikan di
Tugu Pahlawan, Surabaya. Komando utamanya, biasa kita kenal dengan sebutan Bung
Tomo, dengan nama lengkap, Soetomo (1920-1981).
Karena hari
santri bertautan dengan resolusi jihad, maka tidak cukup kita kini dalam
memperingati hari santri hanya sekedar seremoni, kirab, upacara bendara, dan
acara seremonial formal lainnya. Adanya hari santri, jadikan wahana untuk
berefleksi, menggali kembali spirit perjuangan orang pesantren dalam melawan
penjajahan, untuk dikontekskan, sesuai dengan problem kebangsaan kita kini.
![]() |
Bersama Ketua Panitia Acara |
Memang, kita
tidak bisa menggeneralisasi
investor asing. Tapi,
dari sekian agenda investasi di republik ini, banyak yang justru semakin mengkerdilkan
nasib bangsa. Motor penggerak
agenda eksplorasi atas sumber daya alam Indonesia misalnya, dengan modal umum
yang rata-rata dari asing, kerap dijalankan sambil merusak lingkungan. Selain
itu, hal ini justru dilakukan oleh saudara sebangsa sendiri yang dipilih dan
diseleksi secara ketat oleh korporasi, kemudian mereka dikontrol dan dimonitor
dari Negara masing-masing kaum kapital. Penjajahan mereka sudah tidak lagi
secara fisik, tapi telah menyelinap masuk ke dalam alam bawah sadar kita dalam
berbangsa dan bernegara. Agenda penjajahan di republik ini secara fisik memang
sudah tak lagi dijalankan oleh mereka, tapi penjajahan itu kini sudah
dijalankan oleh saudara sebangsa sendiri, design
penjajahan gaya baru ini, dibentuk melalui peran media dan adanya sekolah-sekolah
formal. Sekolah menjadi salah satu lembaga ligitimatif dalam memperteguh
kelayakan diri sebagai “hamba” kapitalisme. hal ini menjadi semakin teguh
tatkala kita orang Indonesia yang memiliki keahlian, baik keahlian yang ditempa
secara otodidak maupun yang diasah melalui lembaga sekolah formal, tidak
difungsikan secara maksimal untuk membangun, baik infrastruktur maupun
suprastruktur, di Indonesia. Segala agenda pembangunan, utamanya infrastruktur,
selalu dipasrahkan kepada asing. Orang-orang yang memiliki keahlian tertentu
itu, jika tetap memilih tinggal di Indonesia, dipaksa tidak boleh tidak, untuk
tetap menjadi “jongos” para corporate
raksasa yang telah menguasai Indonesia. Apalagi, sekolah formal yang kita enyam
itu, oleh kaum corporate, di-design sedemikian rupa, agar sebagian
besar para lulusannya, menjadi abdi kapitalisme. Sekolah-kampus, menjadi
lembaga pencetak manusia yang siap difungsikan laiknya mesin. Maka jangan
heran, dari hari ke hari, jurusan kuliah di kampus misalnya, yang paling banyak
peminatnya adalah jurusan yang berhubungan langsung dengan kerja-kerja mekanik.
Membangun keadaban
Membangun keadaban
Karena sejarah santri memuat pesan
perlawanan atas laku penjajahan, maka sudah selayaknya, kita kini memiliki
formulasi baru dalam melawan segala model penjajahan. Tawaran penulis, pertama, kita harus mulai menata agar
turut memiliki kekuatan kapital. Dengan begini, kita bisa mengimbangi para corporate asing, sambil menggesar peran
mereka, secara pelan tapi pasti, dari republik yang kita cintai ini. Tentu
nanti, kita tetap harus membangun negeri ini penuh dengan keadaban tanpa
keserakahan. Kedua, kita harus berani
melakukan perlawanan soft, dengan
kembali meneguhkan kesejatian diri sebagai bangsa yang mewarisi kedigdayaan
nenek moyang. Kebudayaan luhur nenek moyang kita, singkron dengan tagline Nahdlatul Ulama’ (NU): “Almuhafadatu
Alaa Qodiimisholeh, wal Akhdu biljadidil Ashlah”, maka, sudah sepatutnya kita hidupkan lagi.
Karena mau dilihat dari sisi mana pun, kebudayaan kita, pada prinsipnya jauh lebih
bermartabat ketimbang kebudayaan asing yang telah lama mereka cekokkan kepada
kita dengan kuasa media dan pendidikan formal. Ketiga, ruang-ruang politik seperti partai politik, sudah waktunya
kita "lirik". Jangan apatis terhadap partai politik yang kini jelas berpenyakit
itu. Kita harus turut andil agar partai-partai politik kembali sehat,
melahirkan negarawan sejati yang berpihak kepada kepentingan bangsa dan Negara.
Karena pos strategis dalam kebijakan berbangsa dan bernegara, pintu masuknya
jelas melalui partai politik. Keempat, sebagai santri, kita harus tetap
berpegang teguh atas kebiasaan diri selama di pesantren; disiplin dalam
beribadah, belajar, sederhana dalam berpenampilan, makan-minum sekedarnya dan tak
pernah berlebihan, saling membantu sesama teman, hormat kepada yang tua, ngemmong kepada yang muda, tutur kata
dan prilaku selalu bertitik tekan kepada ahlaqul
karimah yang membuat orang lain nyaman dan tentram. Seruan kita pun dalam
hal kebaikan dan kebenaran, selalu disampaikan dengan cara-cara indah dan
terhormat. Pijakannya, udu’ ilaa sabili
robbika bil hikmah wal mauidatil hasanah.
Memanajemen “perlawanan” yang soft
ini, membutuhkan design fikir yang
jitu. Mengingat, perlawanan sudah tak lagi fisik, tapi perang gagasan, wacana,
berebut pengaruh tanpa batas ruang dan waktu. Sudah tahu bagaimana media sosial
kini menjadi corong utama perang gagasan dimaksud?!
Untuk menjadi pemenang dalam perang
gagasan ini, selain kita harus mampu mengemas, juga tertuntut agar setiap
gagasan harus bersifat problem solving. Gagasan
yang dikemas bagus dan bersifat problem
solving ini menjadi teguh tatkala kita sendirilah yang memulai dan
meneladankan kepada yang lain.
Akhirnya, dzikir, fikir, dan amal
sholeh sebagai pegangan umum kaum santri, dapat terus kita asah untuk
berkontribusi kongkrit dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan di republik. Di
pundak kaum santri itulah, cita-cita bangsa turut dipikulkan. Semoga
santri dan para elemen yang lain, turut berkenan untuk bersama-sama mengisi
kemerdekaan dengan rencana program dan tindakan dapat saling disinergikan.
Allahu A’lam
Tretes, 23 Oktober
2016
[1]
Disampaikan dalam acara Study Government, oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNUSA) Surabaya, pada tanggal 23 Oktober 2016, di
Villa Bahtera, Tretes Mojokerto
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...