Basuki Tjahaya
Purnama, alias Ahok, cukup fenomenal sejak ia menjadi Wakil Gubernur Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (2012-2014). Rating keterkenalannya terus menaik
sejak ia menggantikan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta sebab ia tepilih
sebagai presiden Indonesia.

Serangan demi
serangan terus dilakukan untuk mengagalkan Ahok sebagai calon Gubernur DKI
Jakarta. Isu ras, etnis, bahkan sampai yang sensitif yaitu agama, terus
dihidupkan untuk menjegal langkahnya sebagai calon DKI satu. Menjadi menarik,
saat isu agama ini diangkat, mampu menggugah orang yang tidak hanya di Jakarta,
untuk berduyun-duyun datang ke ibukota, melakukan “serangan” kepada Ahok. Poin serangan
itu, tetapkan Ahok sebagai tersangka penista agama. Karena bila Ahok ditetapkan
sebagai tersangka, apalagi langkah hukum Ahok dalam mem-prapradilankan status
hukumnya di pengadilan gagal, maka pasti, ia tak bisa turut ikut sebagai salah
satu kontestan calon Gubernur DKI satu.
Saat isu agama
ini dijadikan “alat” untuk menyerang Ahok, karena sensitif, energi kita dalam
berbangsa dan bernegara terkuras habis. Presiden melakukan safari ke pos-pos
militer dan pesantren guna menemui tokoh kunci di masing-masing satuan. Rakyat,
utamanya di media sosial, tak sedikit yang saling hujat, baik dalam posisi pro
maupun kontra atas Ahok. Bahkan isu agama ini akan kembali berlanjut dengan
kode aksi 212 dalam beberapa hari ke depan.
Ahok, satu
dari sekian tokoh pemimpin yang cukup mendapatkan perhatian karena-kebijakannya
yang progresif. Di bawah kepemimpinan Ahok, jalan dan trotoar di Jakarta, yang
dulu-dulunya dijadikan tempat berjualan, kembali bisa ditertibkan. Transportasi
publik yang tidak layak, kembali diprimakan. Sungai yang mengalami pendangkalan
dan pusat pembuangan sampah, diperbaiki, dikembalikan ke fungsi utamanya. Termasuk
pemukiman di pinggir-pinggir sungai, ditertibkan oleh Ahok.
Orang yang
berjualan di pinggir jalan dan trotoar, adalah mereka yang tidak bisa bersaing
dengan pelaku usaha lain yang telah menguasai tempat-tempat perniagaan secara
resmi. Hadirnya para pedagang di pinggir jalan dan trotoar itu, cukup
berkontribusi atas tingkat kemacetan di Jakarta. Selain juga kebijakan politik
nasional dalam hal penjualan kendaraan bermotor terus digenjot dalam menjaring
konsumen yang sebanyak-banyaknya. Karena begini, banyak kemudahan untuk memiliki
kendaraan bermotor. Menertibkan pedagang di pinggir jalan dan trotoar, sungguh
tidak mudah, karena mereka dilindungi oleh “mafia” dari tingkat kelas teri
sampai yang berkerah. Perlindungan itu tidak gratis, karena padagang itu harus
membayar pajak kepada para “pelindung” di tritori di mana mereka berjualan.
Memprimakan layanan
transportasi publik, dan menggeret kendaraan bermotor yang diparkir
sembarangan, adalah salah satu langkah untuk mengondisikan orang yang berada di
Jakarta dalam bertransportasi, agar memilih kendaraan umum ketimbang kendaraan
pribadi. Kebijakan ini sangat efektif untuk menekan angka kendaraan bermotor di
ibukota yang berkembang bebas sebab kebijakan politik ekonomi nasional yang
liberalistik.
Mengenai pinggir-pinggir
sungai yang ditempati secara ilegal, kolong-kolong jembatan sebagai tempat
singgah dan peristirahatan, hal ini tidak lepas dari kebijakan politik nasional
kita yang hanya menjadikan Jakarta -dan jawa secara khusus-, sebagai pusat
perputaran ekonomi. Pembangunan; baik infrastruktur maupun supra struktur, masih
belum terdistribusi secara merata ke suluruh Indonesia. Pembangunan hanya berputar-puta
di Jakarta. Selain itu, konstruksi sistematis ke alam bawah sadar, baik melalui
TV, radio, dan kini internet, untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat tujuan dalam
merubah nasib dari melarat ke sejahtera juga turut berkontribusi. Menjadi akut
tatkala para pendatang ini sulit beradaptasi. Dalam hidup, mereka masih kerap
menggunakan logika sebagaimana hidup di kampung; buang sampah sembarangan,
termasuk ke sungai, hidup tidak bisa disiplin dan sederet kebiasaan-kebiasaan lain
di kampung. Karena konteks tempat berbeda, maka bawaan itu kerap menimbulkan
bencana, termasuk banjir di dalamnya.
Mengapa Ahok perlu dibela?
Pertama, pembuat kebijakan seperti Ahok
di Indonesia masih sangat sedikit. Perlu dicipta dan dibentuk orang-orang yang
berani seperti Ahok dalam menyelesaikan sebuah masalah. Memang, pola komunikasi
Ahok tidak tepat kita jadikan teladan, tapi kebijakan Ahok amat tepat bila
dijadikan teladan. Ahok adalah orang sederhana dan totalitas. Kesederhanaan ini
bisa dinilai dan dilihat dari aktifitas keseharian, tempat tinggal, dan harta
kekayaannya. Harta kekayaan Ahok, karena ia pejabat, bisa kita lacak dengan
membaca laporan harta kekayaannya yang terdokumentasi di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)-nya Ahok,
sudah sejak menjadi wakil gubernur DKI Jakarta, bisa diakses. Di tengah pejabat
lain yang tidak berani mempublikasikan harta kekayaannya. Bila harta Ahok
misalnya bertambah di luar gaji dan pendapatan lain yang bisa
dipertanggungjawabkan secara baik, maka ini yang mestinya harus mendapatkan
perhatian. Bahkan bila perlu harus didemo, agar Ahok mau membuka, memberikan
penjelasan dari mana asal-asul harta itu. Bila ia gagal menjelaskan ini, dorong
agar penegak hukum memprosesnya. Soal harta kekayaan Ahok, kita bisa melek
sebebas-bebasnya dan dapat memantau terus.
Kedua, Kita harus sadar diri, bahwa kita
hidup di Indonesia yang azas hukumnya adalah Pancasila; pegangan dalam
berbangsa yang intisarinya diserap dari semua nilai-nilai agama yang ada. Agama
kita tahu di Indonesia tidak hanya Islam. Maka, sungguh tidak tepat bila kita
menggunakan ayat al-Quran untuk melakukan “serangan” kepada Ahok. Penjelasan Al-Maidah
51 diakhir juga telah mempertegas, bahwa kepemimpinan mereka yang tak
dikehendaki sebagaimana pesan surah itu, sebab mereka itu dholim; menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya. Ahok secara akidah memang berbeda dengan sebagian
besar rakyat Indonesia, tapi dilihat dan dinilai dari kebijakan-kebijakan dalam
memimpin, menurut saya, jauh lebih baik ketimbang mayoritas kepemimpinan lain
yang secara agama adalah Islam. Pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme di
republik ini, mobilisatornya rata-rata adalah mereka yang secara agama adalah
Islam.
Menghujat dan
memaki-maki Ahok karena non muslim, sungguh pilihan yang tidak tepat dalam
menjaga hubungan kebangsaan kita. Toh misal pun ada non muslim yang menghina,
memaki, dan memperlakukan orang Islam tidak adil, bukan berarti kita yang
muslim ini juga melakukan penghinaan, memaki, dan memperlakukan mereka juga sacara tidak
adil. Karena Nabi Muhammad, tidak pernah menghina dan memaki balik atas siapa
pun yang telah memakinya. Beliau pun tidak pernah berlaku tidak adil atas non
muslim, sekalipun mereka tidak adil.
Basis pengetahuan
kita mari gunakan bukan untuk mencaci, menghina, dan berlaku tidak adil. Tapi bagaimana
agar hinaan, cacian, dan ketidakadilan dapat diminimalisir. Setidaknya juga,
pengetahuan itu menghindarkan kita dari hinaan, cacian, dan ketidakadilan dari
orang lain. Walaupun statemen terakhir ini mustahil.
Sadar menjadi
orang Indonesia yang beragama Islam sungguh lebih baik ketimbang sadar menjadi orang
Islam di Indonesia. Mari dahulukan hubungan ke-Indonesia-an kita dengan sikap
dan sifat yang islami.
Allahu A’lam
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...