Ini garis
takdir yang tak terpradiksi sebelumnya. Ini benar-benar di luar yang saya kira.
Saya ditakdir oleh Allah untuk menginjakkan kaki di mana Sholawat Wahidiyah
lahir. Nyerap ilmu bagaimana menjadi
advokat yang berbudi, sesuai peraturan dan perundangan yang ada.
![]() |
Di depan Maqbaroh KH. Muhammad Ma'roef |
Dalam satu
tahun terakhir, sebelum saya diterima sebagai salah satu peserta Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA), yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu
Syariah Wahidiyah Kediri, kemitraan dengan Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI), yang terselenggara sejak 09 Desember 2016 sampai 07 Januari 2017, saya
selalu gagal untuk menempuh PKPA. Alasannya sederhana; “amunisi” tidak cukup.
Syarat utama dalam membayar biaya PKPA harus cash di awal. Beruntung PKPA yang saya ikuti ini biayanya, selain
lebih murah ketimbang yang lain, juga tidak harus cash membayar di awal. Biaya bisa dicicil sampai diri benar-benar
mampu membayar.
Atas hal ini
saya sangat bersyukur. Syukur menjadi haru tatkala saya berdiskusi ringan
dengan Mas Syamsudin. Saya jadi tahu bahwa di sinilah Sholawat Wahidiyah lahir.
Setelah diskusi itu, kemudian saya berwudu’, sholat dhuha, kemudian tabarruk-an ke Maqbaroh KH. Muhammad
Ma’roef; pendiri Pondok Pesantren Kedunglo, ayahanda KH. Abdul Madjid Ma’ruf; muallif Sholawat Wahidiyah. Setelah tabarruk-an, saya melanjutkan diskusi dengan
Mas Syamsudin secara informal, bertanya-tanya, mendalami mengenai Sholawat
Wahidiyah. Setelah materi PKPA usai, sebelum pulang, saya dikasih selebaran yang
berisi amalan Sholawat Wahidiyah; baik yang ber-teks panjang seukuran kertas
folio maupun yang kecil seukuran kartu nama. Karena rasa ingin tahu saya
tinggi, tak disangka Mas Syamsudin di waktu yang berbeda tiba-tiba menjulurkan buku
yang ditulis oleh H. Qomari Mukhtar, Sejarah
Dari Awal Perjuangan Wahidiyah.
![]() |
Di depan Masjid Pon.Pes Kedunglo |
Sholawat
Wahidiyah sudah saya dengar sejak kecil dari Bapak. Bapak saya juga pengamal Sholawat
Wahidiyah. Walaupun beliau tidak se konsisten pengamal lain yang konsisten.
Kala itu saya hanya mendapat penjelasan sekilas dari bapak, bahwa menjadi
pengamal Sholawat Wahidiyah itu dapat menenangkan hati dan jiwa. Saya meng-iya-kan
tanpa saya turut serta menjadi pengamal. Kala itu saya enggan menjadi pengamal
tanpa tahu langsung darimana cikal-bakal sholawat ini lahir. Saya berdoa: “Tuhan, sambungkan saya untuk tahu lebih
jauh dan lebih dalam mengenai Sholawat Wahidiyah”. Doa ini melintas begitu
saja saat saya mendengar orang melafadz-kan “fafirruuuu
ilallah. Yaa sayyidi, yaa Rosulallah...”. Walaupun tidak rutin, tatkala
ingat, lagi dan lagi saya ulangi. Ternyata doa saya ini baru diijabah setelah
sepuluh tahun lebih saya berdoa.
![]() |
Gedung TK yang saya duga masjid pesantren |
Sebagai
santri, yang lima belas tahun saya di pesantren, di Pondok Pesantren Kedunglo, serasa
mengembalikan saya ke dunia yang pernah saya geluti; Hidup guyub, gotong
royong, main sepakbola, makan dan bersih-bersih rame-rame, ta’dzimul ustadz, soan
cium tangan kiai, tidur dan tiduran di masjid sambil baca-baca, kudis dan
gatal-gatal, hingga persoalan kecil seperti gashob
sandal melintas ringan dalam alam bawah sadar saya. 99% kehidupan di Pondok
pesantren ini memiliki kesamaan dengan kehidupan yang pernah saya jalani di
pesantren dulu.
Pondok
Pesantren Kedunglo Almunadhoroh,
menurut penuturan teman saya, Lailatul Fazriyah, yang tak lain adalah peserta
PKPA yang juga santri di Kedunglo, jumlah santri di Pondok Pesantren yang kini
dipimpin oleh Kiai H. Abdul Lathif Madjid ini berjumlah sekitar 1.300 lebih.
Jumlah yang tidak sedikit.
Untuk
mengorganisir syiar Sholawat Wahidiyah, Pondok Pesantren Kedunglo juga
membentuk Yayasan Perjuangan Wahidiyah. Kelompok pengamal Sholawat Wahidiyah di
seluruh penjuru, yang tak hanya dari Indonesia, bernaung dalam Yayasan
Perjuangan Wahidiyah. Kelompok-kolompok itu, selain agendanya membaca Sholawat
Wahidiyah secara bersama-sama, juga salah satu programnya adalah mendirikan
koperasi yang gunanya jelas sebagaimana penjelasan Bung Hatta—Muhammad Hatta (Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, 1971. H. 54), untuk
saling membantu, menopang perekonomian sesama pengamal khususnya, dan masyarakat
secara luas pada umumnya. Koperasi-koperasi ini, menurut penjelasan Mas
Syamsudin, sudah ribuan jumlahnya. Bergerak dalam skala kecil dan besar.
![]() |
Suasana di dalam masjid pesantren yang sederhana |
Sholawat
Wahidiyah, selain sebagai a’maalul
yaumiyah: amalan se hari-hari, juga amalan ini dilaksanakan secara kolektif
setiap minggu, setiap bulan, setiap tiga bulan, setiap enam bulan dan setiap
tahun. Agenda tahunannya, dikenal dengan sebutan Mujahadah Kubro. Dilaksanakan dua kali; pertama, bulan Muharrom sebagai peringatan atas lahirnya Sholawat
Wahidiyah. Kedua, di bulan Rojab, haul-nya muallif Sholawat Wahidiyah. Mujahadah
Kubro, dilaksanakan di Pondok Pesantren Kedunglo. Saat momentum ini,
orang-orang, utamanya pengamal, dari berbagai macam penjuru berkumpul tumplek blek di pondok pesantren ini.
Menurut H.
Qomari Mukhtar, penulis buku Sejarah Dari
Awal Perjuangan Wahidiyah, Sholawat Wahidiyah bermula sejak KH. Abdul
Madjid Ma’roef pada tahun 1959, menerima alamat goib dalam keadaan terjaga dan
sadar, agar beliau berkenan memperbaiki dan membangun mental masyarakat dengan
jalan bathiniyah, terutama di bidang kesadaran kepada Alloh SWT wa Rosuulihi, shollaahu ‘alaihi wasallam. (2008; hal.
25).
![]() |
Suasana pengajian Kitab Al-Hikam |
Tindakan
asusila dan demoral masyarakat kala itu menjadi keresahan KH. Abdul Madjid
Ma’roef. Sholawat dzikir kepada Allah dan junjungan Nabiyyil al-Musthofa Muhammad yang di-“cipta” oleh KH. Abdul Madjid
Ma’roef terbukti efektif khasiatnya dan banyak pengamal dari generasi ke
genarasi. Jika tidak terbukti efektif khasiatnya, tidak mungkin sampai saat ini
masih banyak orang yang berkenan sebagai pengamal Sholawat Wahidiyah.
Setelah saya
baca, kemudian saya pelajari amalan Sholawat Wahidiyah ini, saya mantap untuk
menjadi pengamalnya. Apa sebab? Karena riyadhoh
ini, insyaAllah akan mengasah diri dalam memiliki kepekaan lahir dan batin,
meneladani Nabiyullah Muhammad sebagai nabi panutan di akhir zaman. Sembari
berharap, kepribadian rasul Muhammad yang penuh akhlaq, mempribadi dalam diri
yang terus berbenah ini. Seraya juga berharap, agar keteladanan KH. Abdul
Madjid Ma’roef; terbuka atas saran/masukan dengan penerimaan tidak
mengecewakan, merendahkan lambung/pundak dan tidak menolak siapa saja yang
ingin mencium tangan beliau, berkenan mencuci pakaian keluarga dan membantu
kerepotan lainnya untuk diselesaikan, tenang dan tidak tergesa-gesa dalam
menghadapi semua hal, cara berkata dan bertindak yang mengedepankan kelembutan
penuh santun, pengasih dan penyayang kepada anak-anak yatim piatu, dan segala
sikap sifat baik lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu sebagaimana yang
tersebut dalam buku yang ditulis H. Qomari, (Ibid. Hal. 19-20), semoga mempribadi
dalam diri yang masih terus melakukan pembenahan ini.
![]() |
Maqbaroh KH. Muhammad Ma'ruf |
Di Pondok
pesantren ini, saya belajar tentang kesederhanaan dan efesiensi. Saya salut dan
kagum kepada pendirian KH. Abdul Lathif Madjid selaku penerus perjuangan
Sholawat Wahidiyah yang juga sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo. Kekaguman
saya terletak atas kesederhanaan beliau dalam menjaga keotentikan bangunan
Masjid Pesantren Kedunglo. Di Awal saya di pesantren ini, sempat terkecoh,
gedung untuk Taman Kanak-Kanak (TK) diduga sebagai masjid pesantren. Potongannya
memang seperti masjid, bahkan bangunan masjid pesantren pun kalah “megah” atas gedung
TK yang menyerupai masjid ini. Ternyata, masjid yang dalam bangunan logika
orang saat ini sudah jelek dan layak ganti, selama masih menyimpan
asas manfaat, oleh pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo masih dipertahankan. Hal lain
juga, saya mereka-reka, itu tandanya, bahwa pondok pesantren ini lebih
mengedepakan “pembangunan” suprastruktur; kualitas manusia, ketimbang sekedar
infrastruktur; bangunan fisik. Fondasi bangunan manusia benar-benar
diperhatikan betul.
Di pondok
pesantren ini pula, setiap hari Minggu, digelar pengajian kitab Al-Hikam, karya
Ibn Athaillah Al-Sukandari. Terbuka untuk umum. Pengajian ini, dibuka dan
ditutup dengan pembacaan Sholawat Wahidiyah, disertai dzikir untuk fafirruu ilallah..... Atas kitab ini, secara online saya juga mengaji kepada Kang Ulil Abshar Abdallah, menantu Kiai Musthofa Bisri.
![]() |
Tamu antri untuk soan ke pengasuh |
Dalam tulisan
ini, saya tak hendak mengupas sisi lain yang mempertentangkan “Sholawat
Wahidiyah” ini. Yang pasti, jika Sholawat Wahidiyah mau dilihat menggunakan
kecamata kritis eropa centris, jelas tidak akan ketemu. Mengapa? Karena
pendekatan kritis eropa centris hanya berdasarkan fakta dan data yang
“tersurat”. Pendekatan kritis eropa centris tidak mampu mengungkap yang
“tersirat”, alias kandungan di balik yang “tersurat”. Termasuk juga, saya tak
hendak mengupas dari sisi yang memandang bahwa Sholawat Wahidiyah ini,
ketersambungannya dengan Rosulullah melalui mimpi. Itu artinya, hanya boleh
diamalkan oleh sang pemimpi tersebut dan tidak boleh disebarkan kepada yang
lain. Tapi yang pasti, menurut buku yang ditulis oleh H. Qomari Mukhtar,
peristiwa goib antara Muallif Sholawat
Wahidiyah dengan Rosulullah terjadi secara langsung. Bukan melalui mimpi.
![]() |
Bersama Mas Syamsudin |
Sholawat Wahidiyah ini soal rasa, bukan sekedar logika dimana para pemuja akal tidak
mampu menjangkaunya. Tapi, mereka yang berkenan menjadi pengamal dan setiap
tahun sudi hadir dalam Mujahadah Kubro,
hitung-hitungan metematisnya juga logis. Di mana itu? Mereka tidak mungkin
menjadi pengamal dan sudi datang berduyun-duyung bila tidak merasakan hal positif
setelah menjadi pengamal Sholawat Wahidiyah. Mereka rela demikian tentu setelah
uji coba sendiri. Jika misal para pengamal Sholawat Wahidiyah itu yang sakit
penyakitnya tambah sakit, hutangnya tambah banyak, masalahnya tambah banyak dan
tambah besar, haqqul yakin saya meyakini, tanpa disuruh untuk berhenti menjadi
pengamal pun, mereka akan berhenti dengan sendirinya. Jelas, Sholawat Wahidiyah
memiliki impact lahir dan bathin yang
hanya bisa dirasakan oleh para pengamalnya. Itu mengapa, sampai kini masih
banyak pengamalnya dan terus mengalami regenerasi.
Bagi saya yang
dikonstruksi berfaham substansialis, saya tidak terlalu mempersoalkan “pohon”
dari sekian banyak “pohon” yang ada. Saya lebih mementingkan “pohon” itu “berbuah
apa”. Sholawat Wahidiyah bagi saya ibarat “pohon”, dan “buah” dari “pohon” ini
telah banyak orang yang menikmatinya.
Pengamal Sholawat
Wahidiyah, tentu mereka adalah kreator kebaikan sesuai peran dan ruang
lingkupnya sendiri-sendiri. Semoga spirit para pengamal ini kelak dapat berpadu
sinergis, dalam bersama-sama membangun ke-adab-an hidup di republik yang masih digrogoti oleh korupsi ini. Calon-calon advokat yang ditempa di sini, semoga menjadi advokat yang berkepribadian luhur, lantang menyuarakan yang benar, dan menjadi penegak hukum yang berkeadilan.
Allahu A’lam Bhisshowaaab....
Apartemen Slamet Indah
Jl. Pabrik Kulit III Wonocolo Surabaya
31 Desember 2016
0 Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...