![]() |
Masjid Baabussalam, Lawang, Malang |
Kini lagi
ramai –utamanya di media sosial- perbincangan tentang pernyataan Basuki Tjahaya
Purnama alias Ahok dan kuasa hukumnya, Humphrey Djemat, mengenai kesaksian Kiai
Ma’ruf Amien kemarin (31/1) di dalam persidangan kasus penistaan agama yang
diduga dilakukan oleh Ahok.
Ini “perseteruan”
lanjutan antara Ahok dan rival-rival politiknya, utamanya dalam konteks
perebutan DKI satu. November 2016 lalu, saya pernah menulis “Jihad
Membela Ahok”. Di tulisan tersebut saya menjelaskan, mengapa orang seperti
Ahok perlu dibela.
Ahok mulai “terpojok”
sejak pernyataannya di kepulauan seribu dipelintir, dijadikan alat untuk menjegalnya
sebagai calon DKI satu. Ahok semakin “terpojok” sejak Majelis Ulama’ Indonesia (MUI)
menerbitkan fatwa yang tidak memperkenankan orang Islam memilih pemimpin non muslim.
Atas terbitnya fatwa ini, apalagi berbarengan dengan majunya Ahok sebagai calon
DKI satu, jelas merugikannya. Baik rugi dalam ketercalonannya sebagai calon gubernur
maupun posisinya yang non muslim.
Atas fatwa
MUI yang “memojokkan” Ahok, kemudian fatwa itu dijadikan “alat” untuk mendorong
penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, agar segera menetapkan Ahok sebagai tersangka
pelanggar UU
1/1965 tentang Penodaan Agama, maka menjadikan Ahok semakin terpojok. Kekuatan fatwa menjadi mantap tatkala
didukung oleh aksi massa yang fantastis, yang digerakkan secara besar-besaran
menuju Jakarta dari seluruh penjuru tanah air dalam satu tujuan yang sama;
segera tersangkakan Ahok sebagai penoda agama. Aksi besar-besaran itu berjalan
dua kali, fenomenal disebut dengan aksi “411” dan “212”. Fatwa berikut banyaknya
massa aksi ternyata berhasil menjadikan kepolisian menetapkan Ahok sebagai
tersangka penoda agama.
Sejak Ahok ditetatapkan
sebagai tersangka penoda agama, muncul kesan di masyarakat, bahwa Fatwa MUI tak
ubahnya hukum positif yang memiliki sifat memaksa (represif) untuk dipatuhi. Seiring kemudian, juga muncul Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama' Indonesia (GNPF MUI), yang kemudian turut direspon oleh Prof.
Dr. Deny Indrayana melalui tulisannya, disusul pernyataan Prof.
Dr. Mahfud MD, bahwa Fatwa MUI itu tidak bersifat mengikat laiknnya
hukum positif. Kemudian dipermantap oleh wawancara Majalah Tempo Kepada Kiai
Mustofa Bisri yang juga membahas tentang status kelembagaan MUI berikut
fatwa-fatwanya.
Proses hukum Ahok
kini tengah berlangsung. Sebagai lembaga yang menerbitkan fatwa, yang juga
mampu mempengaruhi sebagian besar orang Islam se Indonesia untuk berduyun-duyun
datang ke Jakarta, mendesak penegak hukum agar segera menetapkan Ahok sebagai
tersangka penoda agama, maka Kiai Ma’ruf Amien, dalam kapasitasnya sebagai ketua
umum MUI, kemarin (31/1), dihadirkan sebagai saksi dalam kasus penodaan agama
yang terdakwanya adalah Ahok. Atas kesaksiannya Kiai Ma’ruf, Ahok dan kuasa
hukumnya menduga, bahwa kesaksian Kiai Ma’ruf itu terindikasi sebagai kesaksian
palsu. Nah, atas indikasi kesaksian palsu itulah, Ahok dan kuasa hukumnya, berencana
untuk melakukan gugatan kepada Kiai Ma’ruf.
Rencana Ahok
dan kuasa hukumnya diplintir sedemian rupa untuk kembali “memanaskan” situasi
yang sudah “mendingin” ini. Seakan-seakan, Ahok dan kuasa hukumnya melecehkan
Kiai Ma’ruf. Padahal jelas, dalam konteks hukum positif, orang yang diduga
melanggar hukum, termasuk di antaranya tentang dugaan kesaksian palsu yang
dilakukan oleh Kiai Ma’ruf, yang berhak memeriksa, membuktikan, dan mengadili
adalah penegak hukum. Dalam hal ini, komponennya ada polisi, jaksa, hakim, dan
advokat.
Kesaksian
Palsu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 242 ayat (1) & (2), dan Pasal 22 jo, pasal 35 dalam UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dapat diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun. Sedangkan dalam tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat selama tiga tahun dan paling lama selama dua belas tahun. Denda paling
sedikit 150 juta dan paling banyak sebesar 600 juta.
Sebagai bangsa
yang berpegang atas prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law), maka tepat bila dugaan pelanggaran oleh
setiap warga negara, didudukkan di depan hukum untuk diperiksa, dibuktikan, dan
diadili sesuai aturan dan perundangan yang ada. Karena republik ini didasarkan
atas Pancasila dan UUD 1945 yang turunan hukumnya jelas ada. Bukan fatwa MUI! Prinsip
persamaan ini juga telah dipertegas di dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Semua Warga Negara Bersamaan Kedudukannya
di Dalam Hukum”. Kita sebagai warga
negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Tidak ada pengistimewaan,
termasuk di antaranya kepada Kiai Ma’ruf Amien sekalipun.
Kembali “memanasnya”
situasi, saya menduga, ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menarik
orang-orang Nahdlatul Ulama’ (NU) dan turunannya, untuk turut “bergabung” dan “mendukung”
polemik yang sengaja “dihidupkan” dalam menjegal ketercalonan Ahok sebagai calon
Gubernur di DKI Jakarta. Setelah pemicu “kepanasan” republik, Muhammad Rizieq
Shihab, ditetapkan sebagai tersangka yang melanggar UU 24/2009 tentang Penodaan
Simbol Negara.
Kiai Ma’ruf
Amien, dalam hal ini, menurut saya, “diuntungkan”. Untung karena, dalam
posisinya yang tidak mencerminkan prinsip moderatisme sebagaimana ajaran NU,
sampai Kakanda Zuhairi Misrawi memberikan “warning”
karena perannya yang cenderung ke-“kanan-kanan”-nan, masih “dibela” oleh
orang-orang NU. Salah satu contohnya, Ansor dengan tegas menyatakan siap
untuk berperang membela Kiai Ma'ruf Amien. Bahkan underbow Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) di tingkat mahasiswa, Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa
(GEMASABA), juga turut ikut-ikutan menyatakan perang
lawan Ahok. Walau memang, bahasa “perang”
juga tidak patut dilontarkan Ansor dan Gemasaba. Karena selain “berbau” Front Pembela Islam (FPI), juga tidak
mencerminkan ajaran NU yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang
benar-benar membawa rahmat atas seisi alam.
Hanya
kebenaran Allah yang mutlak. Kebenaran kita, selamanya relatif dan selalu spekulatif.
Itu kemudian, kita harus bersama, bahu membahu dalam memupuk toleransi.
Mari bersama
jaga ketentraman hidup di republik ini...
Allahu A’lam
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...