Saya kangen
pelayan perempuan di loket Pengaduan & Informasi Samsat Kab. Sumenep. Bukan
sebab jenis kelaminnya, tapi layanannya yang ramah dan penjelasannya yang detil
plus telaten atas setiap tanya yang dilontarkan oleh saya dulu saat proses
balik nama kendaraan bermotor pada tahun 2012.
Perempuan muda
nan anggun itu, setelah saya melakukan protes keras, sampai saya membuat
tulisan "Samsat
Sumenep dan Korupsinya" sebab pemerasan yang dilakukan oleh salah satu
pelayan di bagian cek fisik kala itu, kini sudah tidak terlihat. Karena di
tulisan itu, saya memang mengutip penjelasan pelayan di bagian Pengaduan &
Informasi itu.

Karena
tiadanya sistem antrian di bagian cek fisik, calo yang mampu tembus ruangan
itu, dapat memperlambat proses pemeriksaan berkas yang antri secara formal untuk
dilayani. Mereka yang antri secara sah dan prosedural, prosesnya menjadi lambat
karena petugas memprioritaskan berkas yang disodorkan oleh pemberi jasa
pengurusan pembayaran pajak itu.
Apakah tidak
bisa, disiagakan pelayan yang berkenan melayani secara santun dan ramah atas
setiap wajib pajak agar ia kerasan mengurus pembayaran pajak kendaraan
bermotornya tanpa melalui calo?
Wajib pajak
banyak menggunakan jasa calo karena selain prosesnya bisa lebih cepat ketimbang
yang lain, juga karena mereka tidak mau ribet sebab tiadanya layanan yang
telaten. Tidak ditemui petugas yang berkenan melayani secara santun atas setiap
wajib pajak yang datang sendiri, memberikan penjelasan, mengarahkan, mengisikan
formulir, dan segala berkas administrasi lain, adalah petanda sederhana, bahwa professionalisme
kerja petugas Samsat Kab. Sumenep patut disanksikan.
Wajib pajak
yang jelas-jelas datang tanpa pengetahuan yang cukup, akhirnya terkondisi untuk
mengunakan jasa calo. Bahkan yang berpengatahuan sekalipun, untuk mengejar
kecepatan layanan, juga tidak sedikit yang menggunakan jasa calo.
Selain itu,
berkas cek fisik yang mestinya diisi oleh petugas yang berwenang saat
memastikan apakah kendaraan bermotor itu standart
atau tidak untuk dipakai, oleh petugas malah disuruh untuk diisi sendiri. Saya
jadi terheran-heran. Apa yang di-cek dari kendaraan bermotor selain hanya
menuliskan nomor mesin dan nomor rangka? Guna pajak lima tahunan itu, selain
memperbaharui plat nomor, juga memastikan bahwa kendaraan bermotor wajib pajak
layak atau tidak dikendarai. Jika tidak layak, perlu ada rekomendasi supaya
bagaimana layak. Jika tidak mematuhi, perlu ada sanksi. Karena ini menyangkut
keselamatan sesama pengendara di jalan. Bila mengendarai kendaraan yang tidak standart, kemungkinan untuk menimbulkan
kecelakaan itu lebih besar.
Setelah sampai
di rumah, banyak orang bertanya: “Kenak berapa pajaknya?”, setelah saya
jelaskan sesuai dengan yang saya bayar, banyak orang mengatakan murah. Saya
membatin, mereka berasumsi mahal karena jelas telah terkondisi menggunakan jasa
calo.
Kesadaran masyarakat
untuk membayar pajak dengan nominal yang sesuai dengan standart peraturan dan perundangan yang ada, sebenarnya tinggi. Tapi
karena layanan saat mau melakukan pembayaran pajak, mereka terkondisi menggunakan
jasa calo, banyak di antaranya yang memilih untuk tidak taat bayar pajak. Bukan
sebab tidak mau bayar, tapi karena mereka terkondisi mengeluarkan biaya di atas
yang seharusnya dibayarkan. Sedangkan kondisi masyarakat rata-rata, untuk
mendapatkan uang seratus ribu saja, membutuhkan waktu paling cepat satu minggu.
Susahnya minta ampun. Hal ini saya potret dari kondisi sosial masyarakat saya
di Sumenep yang 80 persen di antara mereka profesi utamanya adalah petani dan
nelayan.
Untuk meningkatkan
masyarakat agar berkesadaran melakukan pembayaran pajak, komitmen utama oleh
petugas yang melayani wajib pajak adalah harus benar-benar anti calo. Tidak boleh
ada pungutan lebih di luar yang seharusnya. Petugas tidak boleh menerima apa
pun, apalagi uang yang sifatnya agar proses pengurusan wajib pajak lebih diperlancar
ketimbang yang tidak ngasih uang tips. Tentu yang tidak kalah penting
adalah layanan yang humanis, telaten, wajah berseri-seri penuh senyum, tidak
bersendagurau sesama petugas saat melayani maupun dengan wajib pajak yang
sedang dilayani. Melakukan study banding
bagaimana melayani kepada petugas layanan per-bank-kan sangat diperlukan oleh
manajemen Samsat Kab. Sumenep.
Di bagian cek
fisik sangat kentara sendaguraunya. Apalagi oleh petugas laki-laki saat yang
mau dilayani adalah cewek-cewek cantik yang kelihatan bening. Professionalisme layanan
sangat buruk dan sangat perlu diperbaiki. Mereka –meminjam tag line-nya pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi-
mentalnya perlu benar-benar direvolusi ke yang lebih baik. Minimal standart aturan perundangan yang ada.
Yang tak kalah
menyebalkan, di Samsat Sumenep banyak petugas yang masih terlihat merokok di
tempat yang tidak semestinya ditempati untuk merokok. Di bagian cek fisik dan
di ruang utama, utamanya di pojok kiri yang menghadap ke selatan dari arah pintu
masuk, banyak di antara mereka yang petantang-petenteng merokok. Padahal jelas,
ruang publik itu, apalagi di ruang yang ber-AC, tidak baik ditempati merokok. Silakan
merokoklah di tempat khusus untuk merokok di jam istirahat atau di luar jam
pelayanan. Silakan juga bersendagurau atau mau melakukan apa saja di luar jam
tugas yang diatur oleh negara. Anda bebas melakukan apa pun. Tapi saat Anda
bertugas memberikan pelayanan, professionalisme adalah hal yang harus
diprioritaskan.
Selain form cek fisik yang tidak diisi oleh
petugas yang mestinya turun mengecek fisik kendaraan bermotor, keteledoran lain,
alias tindakan ceroboh dan ketidaktelitian petugas yang berwenang yang saya rasakan,
adalah pembuatan plat nomor yang tidak sesuai dengan yang tercantum di Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) dan Bukti Pembayaran Pajak Daerah
PKB/BBN-KB dan SWDKLLJ. Di surat bukti ini, sebagaimana plat sebelumnya,
tertulis M 6343 VT. Tapi yang tertuang di plat nomor, M 6343 VC.
Saya
berharap, kepada para pihak yang bertanggung jawab dalam penataan layanan ke
yang lebih baik, benar-benar menseriusi untuk melakukan evaluasi agar layanan
di Samsat Kab. Sumenep benar-benar professional.
Hal
yang tak kalah penting adalah, Bupati Sumenep, A. Busyro Kariem, harus
memberikan keteladanan yang kongkrit dalam berkesadaran wajib pajak kendaraan
bermotor. Pemberitaan media atas tragedi tabrak lari hingga tewas oleh mobil milik
bupati Sumenep dengan plat nomor palsu pada bulan September 2016 lalu, adalah salah
satu dari sekian catatan merah prilaku dan kebijakannya selama sebagai pejabat
publik di Sumenep.
Tulisan
terkait, “Menyoal
Parkir Belangganan Kab. Sumenep”.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...