Jakarta, walaupun "dibenci" tapi tetap "dirindu". Dibenci, karena sumpek dan tumplek blek-nya orang-orang dari hampir seluruh pelosok negeri yang mencari penghidupan lebih dari yang sekedar dijalani di kampung halamannya masing-masing. Dirindu, karena pusat bisnis dan pemerintahan terpusat di Jakarta. Jadi, tidak boleh tidak, dengan segala hiruk-pikuknya, Jakarta tetap didamba.
Beberapa hari yang lalu, di antara 3-5 April 2018, Saya ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan. Antara Mabes Polri, Polda Metro, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHI).
Kali ini, saya ingin menceritakan perjalanan saya, bukan pekerjaan saya. Hehe
Lama sudah tak berkendara menggunakan Kereta Api jarak jauh. Kalau cuma jarak dekat area Jawa Timur dengan tiket yang membeli langsung di stasiun, sudah biasa. Perjalanan selama bisa ditempuh menggunakan kereta api, saya lebih memilih kereta api. Dengan pertimbangan efisiensi; lebih tepat waktu, lebih longgar ketimbang duduk di kabin bis, bisa nge-cas handphone, ada kantin, di stasiun-stasiun tertentu bisa turun dalam beberapa menit kemudian cari makanan yang dijajakan orang-orang, lebih anteng dan tidak mengocok-ngocok perut saat perjalanan, tidak perlu merasa takut jatuh layaknya naik pesawat, naruh kopi atau minuman di tempat yang telah disediakan tepat di atas tempat nge-cas tidak terancam tumpah atau terciprat akibat gerak yang tiba-tiba muncul laiknya kita di atas bis, antimacet, dan yang lebih penting, bisa baca buku dengan hening dan sesekali ngobrol sesama penumpang secara berhadap-hadapan laiknya di meja santai. Mantapnya lagi, bisa bawa barang tanpa batas tertentu, tidak sebagaimana kita naik pesawat yang dibatasi hanya dalam beberapa kilo.
Di atas kereta, saya bersebelahan dengan pedagang asal Sidoarjo dan Jakarta. Pedagang asal Sidoarjo, ke Jakarta dalam rangka kulaan barang. Mobilnya di Parkir di Pasar Turi kemudian orangnya ke Jakarta. Balik dari Jakarta dengan barang kulaan yang cukup kemudian ia pulang ke Sidoarjo. Saat saya tanya mengapa demikian, alasannya efisiensi.
Pedagang yang asal Jakarta, ke Surabaya kepentingannya untuk silaturrahim kepada sanak keluarganya. Cuma, pedagang asal Jakarta ini memiliki sisi lain yang tak banyak dimiliki orang-orang; ia mantan orang "kiri" yang pernah dipenjara di masa Orde Baru dan hampir dibunuh karena dianggap orang atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saya menyimpulkan ia orang "kiri" karena walau umurnya sudah tua renta, ia masih energik, mampu menjelaskan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan secara runut, runtut, dan sistematis. Kejadian demi kejadian yang ia alami masih segar dan pendengarnya serasa nikmat dalam menyimaknya. Orang ini ternyata saat dipenjara, sempat "dikader" oleh aktivis "kiri" seperti Budiman Sudjatmiko, dkk. Apa yang dilontarkan oleh orang ini, mulai dari tahun, kejadian, dlsb, banyak yang sama dari yang saya baca di buku-buku sejarah, utamanya yang ditulis setelah reformasi.
Kepada pedagang asal Sidoarjo, saya belajar tentang efisiensi. Sedangkan kepada pedagang asal Jakarta, saya belajar tentang bagaimana kemerdekaan itu diperjuangkan. Merdeka dalam arti yang seluas-luasnya. Minimal, kita merdeka dari pengaruh yang tidak mendidik dan menjerumuskan kita kepada lingkaran kemiskinan modern yang sengaja dihadirkan untuk menjerat manusia agar terperangkap di dalamnya. Soal lingkaran kemiskinan, nanti saya tulis di waktu yang berbeda. Cuma, singkatnya, soal lingkaran kemiskinan ini, sangat bertaut dengan logika efisiensi. Jadi, dari dua pedagang di atas, sebenarnya saling bertaut.
Sampai di Stasiun Pasar Senen Jakarta, saya membantu membawakan buku bawaan teman saya dari Surabaya. Ia "petinggi" di PB HMI. Kemudian booking grabcar menuju PB HMI untuk naruh buku, sarapan, dan khusus saya, "memperganteng" diri sebelum kemudian beranjak ke Polda Metro dan KLHI. Ke Polda Metro, KLHI, sampai kemudian pulang ke Surabaya dua hari kemudian, saya menggunakan transportasi publik berbasis online; Grab.
Saya ingin bercerita soal transportasi berbasis online ini. Tak hanya saat di Jakarta, saat di Surabaya pun, atau di kota-kota lain yang saya tapaki, jika hendak mencari transportasi, ya, langsung buka aplikasi grab. Saya tak hendak mempromosikan Grab. Anda juga bisa mempertimbangkan transportasi lain seperti Gojek. Grab dan Gojek sama-sama transportasi publik berbasis online yang menurut saya efisien: murah, pelanggan dan pengemudi bisa saling kenal; setidaknya bila terjadi suatu hal di jalan, kita mudah mengidentifikasinya dengan cukup berkoordinasi ke manajemen melalui aplikasi yang ada, kita bisa memberi masukan kepada manajemen atas layanan dari masing-masing pengemudi, bahkan setelah menggunakan layanan, diminta untuk mengisi survei singkat mengenai pelayanan pengemudi; mengecewakan, memuaskan, sangat memuaskan. atau ada masukan lain. Peringkatnya sampai lima bintang, dan yang tak kalah penting dan ini kerap menjadi pertimbangan utama, harga tergolong murah ketimbang transportasi konvensional. Harga sudah ditentukan oleh sistem layanan yang ada. Dari titik pemberangkatan sampai titik tujuan.
Mengapa saya lebih memilih transportasi berbasis online begini? Selain efisien dan penjelasan lain yang saya urai tersebut, bila misal saat dalam perjalanan terjadi kecelakaan, kita mudah klaim asuransi. Utamanya asuransi Jasa Raharja. Kenapa mudah? karena mendaftarkan kendaraan sebagai transportasi online, katakanlah ojek, itu harus didukung oleh data kelengkapan diri yang sah dan benar dalam berkendara; surat-surat kendaraan bermotor lengkap, identitas kendaraan seperti plat nomor terjamin tidak bodong, dan terjamin jika pengendara telah cakap dan terlatih dalam berkendara dengan bukti kepemilikan SIM. Transportasi konvensional, apalagi semacam ojek, tidak memiliki sisi kelebihan sebagaimana yang saya urai tersebut. Apalagi, transportasi konvensional dalam menawarkan jasanya, ada banyak yang masih berkutat dengan pola lama; memaksa dan mematok harga di atas yang mesti dikeluarkan ketika kita menggunakan transportasi berbasis online.
Hampir semua pengemudi online yang saya tumpangi, utamanya pengemudi grabbike, saya tanya-tanyai. Mulai dari mana asalnya, tinggal di mana, berapa lama, anaknya berapa, dan hal lain yang menurut saya penting untuk saya tanyai. Kesimpulan sederhananya, mereka nyaman menjadi pengemudi transportasi online ketimbang pekerjaan yang sebelumnya ditekuni. Sisi plus menjadi pengemudi online, yang dijelaskan oleh hampir semua pengemudi, adalah kebebasan waktu dalam bekerja dan menentukan hari libur. Jika ingin penghasilan, ya, bekerja. Tapi kalau sudah capek dan merasa lelah, tinggal memutuskan untuk beristirahat. Jadi mereka dalam bekerja, lebih "merdeka" ketimbang bekerja yang waktu dan masa istirahatnya ditentukan oleh di luar keputusannya sendiri.
Pengemudi Grabbike yang saya tumpangi di Jakarta, pendapatan kotornya setiap hari rata-rata 300rb. Bila beruntung, bisa lebih dari 300rb. Katakanlah bersih setelah dipotong bahan bakar, makan, ngopi, dlsb, tinggal 200rb. Jika dalam satu bulan mengambil libur hanya 5 hari, katakanlah mereka bekerja 25 hari dengan pendapatan bersih 200rb/hari, dalam satu bulan sudah tembus 5jt. Ada banyak profesi yang kelihatan keren ketimbang menjadi pengemudi transportasi online yang gaji bersihnya di bawah itu. Belum lagi masa bekerja dan istirahatnya ditentukan oleh di luar dirinya. Melihat transportasi online di jalanan Jakarta, bagi saya, seperti hemburan laron tanda akan turun hujan. Tumpah ruah dan hampir di setiap ruas jalan, sejauh mata memandang, selalu melihat helm dan jaket pengemudi transportasi online. Di antara pengemudi yang saya ajak bicara, ada yang punya tanggung jawab menafkahi satu istri, lima anak, dan kedua orangtuanya yang sudah lansia. Keluarga mereka pun tidak tinggal di Jakarta. Dari lima anak, dua sudah kuliah. Saya tanya, "Apakah cukup pendapatan Bapak sebagai pengemudi grab seperti ini?", "Alhamdulillah, Mas, sudah sangat cukup. Bisa memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan dua anak saya kuliah, biayanya saya nabung dari pekerjaan ini. Saya berhenti dari pekerjaan sebelumnya karena selain waktunya tidak fleksibel juga gajinya tidak mencukupi atas kebutuhan keluarga saya".
Jadi, dari tulisan saya ini, jangan melihat hadirnya transportasi online sebagai ancaman yang oleh sebagian orang dituduh tidak pro terhadap "wong cilik". Betul pemilik utama transportasi online bisa meraup untung yang tak sedikit, tapi ingat, keuntungan mereka, didapat dengan cara fair dan menguntungkan orang lain. Mereka telah menciptakan manfaat berbasis sistem yang menjamin antara satu dan lainnya dapat saling menjaga keselamatannya masing-masing. Mereka yang masih teriak-teriak bahwa kemajuan berbasis teknologi itu bagian dari penjajahan modern dan pendukung agenda kapitalisme, sebaiknya mulailah berpikir yang realistis untuk turut menjadi bagian dalam melahirkan ide kreatif yang solutif dalam menjawab setiap tantangan zaman.
Bukannya hidup ini hanya dalam perkara kita berguna atau tidak terhadap sesama?!
Ditulis di dalam Kereta Maharani, perjalanan Surabaya-Semarang, 9 April 2019.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...