Mengawali tulisan ini, karena masih Syawal, masih di momen Idul Fitri, saya mengaturkan hormat sekaligus memohon maaf kepada Pak Masdar atas salah dan khilaf. Kepada Pak Masdar, saya tidak pernah berguru langsung, setidaknya sebagai dosen di kelas saat dulu belajar di Fakultas Syariah. Atas Pak Masdar, saya hanya pernah mengikuti seminar yang diisi olehnya, mengikuti bedah bukunya, mengikuti pengukuhannya sebagai guru besar yang kemudian mendapatkan buku barunya yang dibagikan kepada undangan dan handaitolan, dan yang intens, membaca tulisan-tulisannya, utamanya di kolom opini Kompas.
Saya suka dan senang kepada Pak Masdar sebab ilmunya, bukan yang lain. Beliau intelektual yang concern sebagai manusia akademis tanpa "cawe-cawe" dalam urusan politik praktis. Beliau -setidaknya menurut pandangan saya dari jauh- mampu menjaga jarak dari isu-isu politik praktis walau hal itu mulai biasa diseret-seret ke lingkungan kampus yang sebenarnya mesti akademis an sich.
Pak Masdar mampu mengedukasi publik melalui tulisan-tulisan dan wacana-wacana verbalnya yang disampaikan dalam seminar, dlsb, mengenai isu agama, sosial dan politik dari kaca pandang akademis.
Sebagai orang yang secara emosional mendapatkan tempaan ilmu dan pengalaman di IAINSA -walau secara formal saya bukan lulusan IAINSA-, tentu saya turut mengapresiasi atas garis takdir di mana Pak Masdar kini dipilih sebagai Rektor UINSA. Tantangan menjadi rektor tentu lebih berat dari sekedar menjadi wakil direktur pascasarjana yang pernah disandangnya. Pak Masdar akan dihadapkan kepada tantangan yang secara head to head dengan berbagai unsur yang turut "mewarnai" dinamika UINSA. Mulai dari kelompok yang mendapuk dirinya sebagai aktivis yang secara mayor "menguasai" UINSA, atau para eks aktivis yang punya kelihaian melobi sebab kesepahaman emosi tanpa mau melalui proses fair-berkeadilan daripada yang lain.
Sederhananya, dalam "menjadi" apa pun, di UINSA masih kuat dengan tradisi yang menempatkan kemampuan dan integritas di nomor yang sekian. Ini jelas tantangan yang memerlukan seni memimpin di mana rasionalitas dan hati mesti berpadu.
UINSA sebagai lembaga publik yang sedikit banyak menyerap dana dari APBN maupun APBD, masih belum maksimal dalam mematuhi amanah UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ambil contoh, hal ini dapat dilihat dari polemik ringan antara sosok mahasiswa UINSA bernama Ahmad yang mengajukan permohonan informasi ke UINSA. Di mana, UINSA enggan membuka data yang dimohonkan oleh Ahmad. Ahmad pun membawa sengketa informasi ini ke Komisi Informasi Jawa Timur (KI JATIM). Putusan KI Jatim bernomor: 104/V/KI-Prov.Jatim.PS-A-M-A/2018 mengabulkan hal yang dimohonkan Ahmad untuk sebagian. Putusan tersebut mengamanahkan agar data yang disengketakan Ahmad diberikan oleh UINSA karena data tersebut masuk kategori data yang mesti diumumkan ke publik berdasarkan amanah UU 14/2008 tersebut.
Saya berharap, UINSA di bawah Pak Masdar, dapat dikelola secara profesional terbuka berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku. Spirit dasar di balik terbitnya UU 14/2008 misalnya, hanya agar cek and balance sebagai pola yang lahir dari rahim reformasi di republik dapat terkawal dan berjalan dengan baik. Jika UINSA "bersih", mengapa harus takut untuk mempublikasi data sebagaimana amanah UU 14/2008 tersebut?!. Sengketa soal informasi data sebagaimana dikemukakan tersebut menjadi penguat praduga dan tanda sederhana bahwa UINSA masih dijalankan dan dikelola secara melawan hukum.
Atas hal ini, saya punya saran, maksimalkan humas, segera bentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai kanal tunggal dalam mengurusi informasi dan dokumentasi di UINSA. Jadi, alasan "lucu" tidak diberikannya data yang dimohonkan Ahmad sebab di UINSA masih belum membentuk PPID, tak lagi terulang.
Selain UINSA yang masih belum terbuka soal informasi sebagaimana amanah UU 14/2008, juga soal bagaimana organisasi ekstra kampus seperti PMII, HMI, GMNI tetap mendapatkan ruang berdialektika yang cukup di kampus. Atur mereka supaya tidak saling memonopoli sebagaimana lazim dilakukan oleh PMII. Para aktivis lintas bendera itu harus diatur dan digiring agar bersatu padu dalam bersama-sama membangun Indonesia, mewujudkan cita-cita pendiri bangsa sebagaimana telah termanifesto di dalam Pancasila.
Jika UINSA serius akan turut andil dalam membentengi Indonesia dari radikalisme yang kini marak atas nama agama, maka organisasi ekstra kampus itu harus benar-benar mendapatkan "panggung" yang luas di lingkungan kampus. Panggung untuk mendialektikakan gagasan dalam bagaimana menjadi generasi bangsa yang baik, generasi yang mengerti atas akar kesejarahan politis, sosiologis, dan historis bangsa Indonesia. Aturan konyol seperti pelarangan mengenakan cadar yang muncul tanpa ditopang oleh alasan filosofis-yuridis, ke depan sebaiknya dihindari. Karena hanya akan memicu bahan tertawaan. Aturan tidak baik jika hanya asal ceplos, harus benar-benar dihayati dan didiskusikan sampai matang, sebab hal itu menyangkut institusi, bukan person lagi. UINSA, bila perlu menunjuk juru bicara layaknya Febri Diansyah di KPK sebagai "corong" kelembagaan.
Acara-acara organisasi intra kampus, harus diatur agar tetap dalam koridor yang setidaknya sesuai dengan passion jurusannya masing-masing. Supaya menopang atas keilmuan yang sedang ditekuni. Acara organisasi intra yang kerap mengundang artis, memanfaatkan ruang acara, menjual tiket masuk, kemudian joget-joget dengan aroma alkohol yang menyeruak laiknya di hiburan malam, saya rasa ini adalah contoh yang tidak berkorelasi dengan jurusan apa pun di UINSA. Toh misal pun di UINSA nanti bakal ada jurusan seni musik, kegiatan organisasi intra sebagaimana contoh tersebut, menurut saya, tidak layak diberi ruang apalagi “panggung”.
Perlu pula ada pengarahan, semacam edukasi, agar mahasiswa yang aktif di organisasi intra kampus tidak menjadikan organisasi intra kampus sebagai sarana dalam mengasah diri agar pandai menyiasati anggaran melalui rencana program yang hendak dihelat. Pola selenggarakan dulu acaranya baru operasionalisasi keuangannya cair, atau ajukan dulu LPJ-nya seakan-akan acara telah berjalan, jika tanpa pendampingan yang kompeten, apalagi yang mendampingi setali mata uang misalnya, maka hanya akan menjadi ladang pengasahan dalam menyiasati anggaran dengan tujuan tidak terpuji. Mereka ini generasi bangsa, harus betul-betul mendapatkan pendampingan dan perhatian yang cukup.
Kampus sebagai mimbar akademik, para akademisnya harus dijamin dan mendapatkan perlindungan bila karena pemikirannya dituduh tidak terpuji seperti fenomena "Tuhan Membusuk" beberapa tahun lalu. Berikan mimbar kepada mereka untuk menjelaskan secara akademis fakultatif atas pemikiran apa pun yang mereka lontarkan, selama pemikiran itu dilontarkan dalam ruang lingkup kampus UINSA dan tidak dalam maksud untuk dikonsumsi khalayak umum, maka UINSA secara kelembagaan harus berada di garda terdepan dalam memberikan perlindungan.
Fenomena "Tuhan Membusuk" yang mestinya hanya untuk lingkup internal kampus dan tiba-tiba bocor ke khalayak publik adalah preseden yang ke depan harus diantisipasi. Bila misal terjadi lagi, ada civitas akademika yang karena pemikirannya dianggap berbeda, kemudian "digempur" laiknya fenomena "Tuhan Membusuk", institusi harus secara tegas berada di garda paling depan untuk membentengi, melakukan pembelaan, selama hal itu -sekali lagi- masih masuk dalam kategori bagian dari kebebasan akademik yang hanya patut dikonsumsi oleh para akademisi, internal UINSA secara khusus.
UINSA adalah institusi yang secara birokratis dapat digerakkan atas dasar prosedur, di mana di dalamnya melingkupi disiplin dan kode etik, berikut sumpah jabatan dan/atau profesi yang sakral, akan tidak terlalu sulit ditegakkan bila Pak Masdar mampu memosisikan dan menempatkan diri sebagai “role model” dalam laju perjalanan institusi.
Akhirnya, selamat Pak Masdar, selamat menakhodai UINSA. Tulisan ini hadir tidak untuk memantik polemik, tapi hanya agar UINSA mau berbenah. Walaupun begitu, saya tetap siap bila misal tulisan ini akan menjadi pintu pembuka diskusi. Saya pun sadar dan memahami, bahwa perubahan ke yang lebih baik memang tidak mudah, karena hal itu juga menyangkut mental dan kapasitas diri. Baik kapasitas dari sisi ilmu maupun pengalaman. Hal itu benar-benar memerlukan seni pengalaman memimpin. Pengalaman Bapak selama ini semoga menjadi bekal yang baik dalam jabatan barunya ini.
Salam hormat saya,
Assalamualaikum...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...