Cak Imin, Pak Mahfud dan Kiai Ma'ruf Amien

Oleh: Marlaf Sucipto)*

Dalam dasa warsa terakhir konstelasi politik nasional bergemuruh dalam hal wakil presiden. Hampir semua lembaga survei meleset; hasil survei mereka di luar yang mereka duga. Kiai Ma'ruf menjadi Cawapresnya Jokowi, Sandiaga Uno menjadi Cawapresnya Prabowo.
Warkop Gibol, Margorejo, Surabaya
Pak Mahfud yang digadang-gadang bakal menjadi cawapresnya Jokowi tumbang di detik-detik terakhir deklarasi. Sandiaga Uno pun melesat naik menggantikan Salim Segaf Al-Jufri dan Ust. Abd. Somad yang awalnya digadang-gadang kuat sebagai Cawapresnya Prabowo.
Saya bukan pengamat politik yang lahir dari lembaga akademis fakultatif formal. Saya hanya penonton dari setiap kelakar para politisi yang kerap saya saksikan dari warkop ke warkop sambil menyeduh kopi.

Saya mau berbicara dari sisi yang barangkali masih belum banyak orang membicarakannya.

Pertama, soal Cak Imin. Cak Imin, secara politik, bagi saya, jauh lebih jago ketimbang ketua partai lain yang sama-sama berada di barisan partai koalisi. Ia mampu mewarnai secara dominan dan telah turut menjadi penentu utama terpilihnya Kiai Ma'ruf sebagai Cawapres. Hal ini pun juga telah diperteguh oleh Kiai Ma'ruf sendiri beberapa saat kemudian setelah beliau benar-benar resmi diumumkan sebagai Cawapres.

Cak Imin, dengan segala gayanya, telah jauh sekali, jaaauuuh, mendeklarasikan dirinya sebagai Cawapres. Manuvernya untuk menjadi Cawapresnya Jokowi telah "dimainkan" oleh Cak Imin dari berbagai hal yang bisa ia jangkau. Bahkan, di detik-detik saat Pak Mahfud mulai menguat sebagai cawapresnya Jokowi, manuvernya PKB di bawah kendali Cak Imin mulai meniupkan poros ketiga dalam bursa Capres-Cawapres. Tekanan poros ketiga ini bergeming, Jokowi masih kaukewuh tetap mau bersama Pak Mahfud, ditiupkan lagi isu yang sebenarnya ecek bahwa Pak Mahfud itu bukan kader NU dan bila Cawapres bukan orang NU maka PBNU tidak memiliki tanggung jawab moral untuk memenangkannya. Negosiasi alot, tawaran, manuver terus dimainkan. Sampai pada akhirnya, Kiai Ma’ruf lah yang dipilih sebagai Cawapres. Jokowi yang bukan orang partai, tak bisa mengelak, tak bisa menolak. Sebab, maju sebagai Cawapres, tidak boleh tidak, harus diangkat oleh partai politik, sedangkan para partai politik yang tergabung dalam barisan partai koalisi, di bawah komando Cak Imin, tidak menghendaki Jokowi jika Cawapresnya adalah Mahfud MD. Mereka bersepakat kepada sosok Kiai Ma’ruf. Jokowi dibuat tidak boleh memiliki pilihan lain selain kepada Kiai Ma’ruf.

Selain itu, Jokowi juga berkepentingan untuk stabilitas pemerintahan tidak hanya di ranah eksekutif, tapi juga legislatif. Jika tetap memaksakan kehendaknya dalam memilih Pak Mahfud, walaupun potensi menangnya kuat di Pilpres 2019 nanti, tapi stabilitas bernegara dan berbangsa, berpotensi terancam. Jokowi harus berkonsentrasi ekstra sebab tidak hanya menghadapi musuh-musuh politiknya yang nyata, ia juga harus memforsir tenaga dalam menghadapi para partai yang tergabung di barisan partai koalisi ini. Kiai Ma’ruf adalah penengah dari berbagai kepentingan itu supaya mereka tidak membelot.

Oke, secara politik Cak Imin jago, tapi dari sisi lain, tunggu dulu. Haha

Cak Imin dalam berpolitik, bagi saya, tidak mencerminkan orang NU. Ia terlihat gamblang berambisi dalam merebut kekuasaan, dalam menjadi Cawapres. Ia terlihat pongah, angkuh, dan sok kuasa dalam posisinya sebagai komandannya PKB. Pernyataan-pernyataannya di media mulai tak terkendali di bawah ambisinya dalam menjadi Cawapres dan saat pemenangan pasangan Syaiful-Puti di Pemilu Jawa Timur. Khusus di Jatim, saya masih merekam kuat pernyataan Cak Imin yang hendak mencopot komandan PKB Jatim jika pasangan Syaiful-Puti “keok” di gelanggang. Juga, menjadi semakin tidak simpatik  saat markas PMII Jawa Timur jadi korban “obrak-abrik” hanya karena pentolan-pentolannya yang secara pribadi mendukung pasangan Khofifah-Emil. Cak Imin gagal mencuri hati orang NU supaya bersimpati kepadanya akibat ulahnya sendiri yang tidak mencerminkan ke-NU-an, yang nyata-nyata berpijak di atas politik etik dan politik kebangsaan. Orang NU di akar rumput, walaupun mereka tidak punya Kartanu, atau mereka tak mau diakui sekali pun sebagai orang NU seperti Pak Mahfud, masih kuat berpijak; “Jangan mengangkat orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin, tapi angkat dan/atau pilihlah pemimpin yang tidak diangkat oleh dirinya sendiri dan selalu memantaskan orang lain untuk diangkat.” Pijakan ini terpotret dari sosok Pak Mahfud. Jadi, meskipun Pak Mahfud gagal jadi Cawapres, marwahnya sebagai manusia tidak tumbang. Malah semakin membuat orang terkesan kepadanya. Tidak menutup kemungkinan, jika partai politik masih terus bergerak dan dikelola dengan model patronasi seperti yang kita alami saat ini, Pak Mahfud akan menjadi calon kuat yang membuat partai-partai, tidak boleh tidak, mengangkatnya sebagai Capres di 2024.

Kedua, Pak Mahfud MD. Saya sudah ngefans kepadanya dalam beberapa hal; pertama, beliau ahli hukum. Sebagai orang yang pernah kuliah di Fakultas Hukum, walaupun bukan Fakultas Hukum murni, saya hampir mengikuti terus update-update seputar hukum yang disampaikan oleh Pak Mahfud. Kedua, beliau adalah representasi akademisi yang tetap akademis di luar kampus. Pak Mahfud benar-benar merepresentasikan adagium “Akademisi itu tidak boleh bohong tapi boleh salah, sedangkan politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah.” Di tengah sengkarut isu pencawapresan di mana idealisme sebagai ciri masyarakat kampus melemah bahkan nyaris hilang, menguat di bawah representasi Pak Mahfud. Beliau dapat menjelaskan apa adanya tanpa menghilangkan harkat, martabat, dan kehormatan orang lain. Utamanya atas mereka yang secara politik telah berhasil menumbangkan posisinya sebagai Cawapresnya Jokowi. Dalam hal ini, barisannya Cak Imin, Kiai Ma’ruf, dan Kiai Said Aqil Siradj.

Pak Mahfud adalah role modele politik etik di tengah dinamika politik yang nyaris mengabaikan etika politik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Pak Mahfud yang menolak saat ditawari menteri dan komisaris BUMN di tengah posisinya yang secara politik pada pemilu 2014 mendukung Prabowo. Sederhananya, Pak Mahfud menolak karena merasa tidak “berkeringat” dalam pemenangan Jokowi sebagai Capres di 2014. Ia baru berkenan saat diminta bergabung di BPIP yang nyata-nyata bersinggungan dengan soal ideologi kebangsaan.

Ketiga, Kiai Ma’ruf Amien. Gaya berpolitik Kiai Ma’ruf sebagai orang tertinggi di NU secara struktural, gagal merepresentasikan NU yang jelas-jelas berpijak di atas politik etik dan politik kebangsaan sebagaimana hasil Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Apalagi, yang meniupkan isu panas, yang menyatakan NU tidak punya tanggung jawab moral untuk memenangkan Jokowi bila wakilnya bukan dari unsur NU, dan menyatakan Pak Mahfud bukan orang NU, justru bersumber dari beliau. Beliau menarik paksa NU hanya untuk kepentingan politik praktis sesaat di mana politik beliau berpijak di atas politik identitas yang jelas-jelas sumir dan beberapa saat kemudian dipatahkan; Pak Mahfud yang dinyatakan bukan orang NU ter patahkan oleh klarifikasi Pak Mahfud sendiri yang ditopang oleh fakta dan data yang akurat. Gaya politik identitas semakin tidak karu-karuan setelah Prabowo juga hendak mau diberi Kartanu karena buyutnya adalah orang NU sedangkan Pak Mahfud yang jelas-jelas lahir dan berkembang sebagai orang NU bahkan ayam, bebek, dan sapinya pun di Madura yang turut menjadi NU, secara struktural tidak diakui sebagai orang NU.

Sejenak, mari hela nafas panjang. Saya rasa, politik identitas, sebaiknya mulai dipertimbangkan untuk disandingkan dengan politik berbasis kualitas. Isu SARA yang gampang dijadikan pembuka dalam menyulut pertikaian mulai ditaubati, ditekan seminim mungkin untuk tidak terus menjadi-jadi. Hal ini semata karena kita sama-sama memiliki harapan yang baik dalam berbangsa dan bernegara ke depan.

Saya pun tidak pernah berproses di kepengurusan NU secara struktural. Saya adalah aktivis PMII yang jelas-jelas di luar struktur NU. Apakah nanti, jika misal saya terjun ke dunia politik praktis juga akan diserang kalau saya bukan orang NU karena tidak memiliki Kartanu?! Haha, Takbiiiiiir.....

*(@MarlafSucipto

Komentar