Minggu, 7 Oktober 2018 (28 Syura; Sorah 1440 H) lalu, “Guru Alif” saya, Kiai Junaidi, meninggal dunia. Saya sebut sebagai guru “alif” karena beliaulah yang pertama kali mengajarkan kepada saya Ikhwal huruf alif. Huruf alif adalah huruf pertama dalam kosa kata bahasa Arab. Saya belajar mengeja huruf Arab memulai dengan huruf alif kepada Kiai Junaidi sebagai langkah pembuka dalam belajar membaca al-Quran. “Guru Alif” di kampung saya disimbolkan sebagai sosok yang pertama kali mengajarkan membaca al-Quran. Dari pengetahuan dasar yang diserap dari Kiai Junaidi itulah pembelajaran saya dalam membaca al-Quran terus mengalami peningkatan.
Dulu semasa kecil, saat sore menjelang masuk waktu magrib, dengan ketatnya ibu mulai mengomando agar saya segera makan, mandi, kemudian bergegas menuju langgar untuk belajar mengaji (Membaca al-Quran). Langgar yang dituju, ya, langgar yang Kiai-nya adalah Kiai Junaidi. Saat tarhiem, selawat yang biasa dibaca kira-kira 10 menit sebelum masuk waktu Salat Magrib, para santri sudah harus di langgar. Jika saat tarhiem masih belum di langgar, maka harus siap di sanksi. Sanksinya kala itu, berdiri sekitar 20 menit setelah dikir bakda salat magrib sambil antre belajar mengaji, atau menimba air di sumur untuk mengisi jedding langgar, atau menyapu langgar dan halaman tatkala sore atau pagi, atau bisa hukuman lain tergantung keputusan Kiai Junaidi.
Di langgar Kiai Junaidi, saya tak hanya belajar mengaji, tapi belajar ilmu agama lain seperti akhlak, Fiqh, menulis huruf arab, baik untuk kalimat yang berbahasa Arab maupun kalimat yang berbahasa Indonesia, Madura, bahkan Jawa dengan istilah arab pegon. Arab pegon, biasa digunakan untuk memaknai dan/atau menerjemahkan kitab-kitab berbahasa arab ke bahasa Indonesia dan/atau bahasa Madura. Pembelajaran lain selain membaca al-Quran saya te3mpuh pada sore hari sejak masuk Salat Asar sampai sekitar jam 17:00 WIB. Pembelajaran yang saya serap saat sore hari itu, dikenal dengan sekolah Diniyah. Langgar itu difungsikan sebagai tempat belajar mengaji al-Quran dan sekolah Diniyah, masih berlangsung sampai saat ini. Walau, langgar itu, berdasarkan arahan dan petunjuk Kiai Sudahri Amsun, gurunya Kiai Junaidi, kini dijadikan Masjid tanpa menghilangkan fungsi langgar-nya yang longgar untuk para santri yang belajar mengaji dan mendalami ilmu agama.
![]() |
Hari ke-1 tahlilan |
Kiai Junaidi sosok yang sabar. Dari beliau saya belajar ziarah kubur. Beliau kerap mengajak santri-santrinya sejak dulu sampai beliau almarhum untuk berkunjung ke kuburan orang yang dianggap saleh, alim, wara’, mukasafah. Kuburan yang dulu biasa saya kunjungi hampir setiap tahun bersama teman-teman yang dikomando oleh Kiai Junaidi yaitu kuburan yang biasa disebut sebagai Puju’ Leket. Ke kuburan Puju’ Leket, para santri oleh Kiai Junaidi diminta untuk membawa bekal ketupat yang dilengkapi parutan kelapa yang disangrai. Ketupat itu ada tujuh macam; topa’ sangoh, topa’ toju’, topa’ lobér, topa’ kata’, topa’ pattuh bellu’, topa’ pebeng, dan topa’ kopé’. Macam-macam ketupat ini padanannya tidak saya temukan dalam bahasa Indonesia. Macam-macam ketupat itu tetap saya sampaikan sesuai bahasa aslinya, yaitu bahasa Madura. Sampai di Puju’ Leket, kita melingkar, ketupat dan parutan kelapa yang telah disangrai diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kita membaca Yaasin dan Tahlil yang dikomando oleh Kiai Junaidi. Setelah Yaasin dan Tahlil dibaca, kita makan bersama-sama atas ketupat yang telah dibawa itu dengan riang.
![]() |
Maqbaroh beliau |
Ke rumah, télem, kiai Tayyib kita tidak diperkenankan menggunakan kendaraan. Harus jalan kaki. Padahal jaraknya hampir 15 KM dari langgar yang didirikan Kiai Junaidi. Walaupun jauh, karena perjalanan ini ditempuh secara bersama-sama, terasa ringan, terasa singkat. Apalagi selama perjalanan kita sambil bercanda tawa secara riang. Cuma, selama perjalanan, oleh Kiai Junaidi diminta untuk jaga sikap dan pembicaraan. Karena bila tidak, saat sampai di rumah, télem, Kiai Tayyib, kita akan dihukum. Seperti diminta untuk mengunyah daun jambu dan buahnya yang masih muda belum matang tersebut.
Sampai di rumah, télem, Kiai Tayyib, kita para santri biasanya diminta untuk membaca Istigfar yang banyak, surah al-ikhlas yang banyak, ayat kursi yang banyak, dan Alfatihah yang banyak. Jumlahnya ribuan sampai tidak bisa dihitung. Saya sampai mengantuk-ngantuk. Karena perjalanan ke rumah Kiai Tayyib biasa ditempuh setelah Salat Isya’, maka sampainya di rumah Kiai Tayyib sekitar jam 00:00 WIB. Sampai di lokasi, istirahat sebentar, kemudian berwudu’, duduk di langgar yang ada, kemudian membaca bacaan yang sudah saya urai tersebut. Jumlahnya yang ribuan, biasanya baru selesai saat masuk waktu subuh.
Walaupun santri banyak yang mengantuk-ngantuk bahkan ada yang tertidur pulas, Kiai Junaidi tidak pernah memarahinya. Beliau hanya berujar, “Emm, been ngantok; Hemm, kamu mengantuk,”. Pagi harinya setelah subuh, setelah bacaan itu benar-benar dituntaskan, kita biasanya diberi makan nasi jagung yang lauknya daun bawang yang ditumis.
Di rumah Kiai Tayyib kala itu, ada dua ekor kuda; putih dan hitam. Karena imajinasi masa kecil saya yang sering menyimak serial sandiwara radio di mana rancak kaki kuda yang seakan bila punya dan menaiki kuda itu gagah, saya berlama-lama di kandang kuda. Sambil membayangkan naik kuda kemudian merasa gagah. Haha. Baru setelah puas di kandang kuda, saya bermain ke hal lain sebelum kemudian pulang secara ramai-ramai yang komando utamanya adalah Kiai Junaidi. Sebelum pulang, biasanya kita berpamitan dengan salaman, nyabis kepada Kiai Tayyib. Biasanya saat salaman, kepala para santri dielus-elus dan dibacai doa oleh Kiai Tayyib. Sebab Kiai Tayyib adalah gurunya Kiai Junaidi, sedangkan saya dan para santri yang lain berguru kepada Kiai Junaidi, maka Kiai Tayyib juga termasuk guru saya dan para santri yang lain walau tidak secara langsung. Pun termasuk kepada Kiai Sudahri Amsun yang garis hierarki ke-Guru-annya sama dengan Kiai Tayyib. Pernah suatu ketika, Kiai Junaidi diminta oleh Kiai Tayyib untuk menuntun kudanya yang putih dengan berjalan kaki dari rumah Kiai Tayyib ke rumah Kiai Sudahri Amsun. Padahal jaraknya hampir 30 KM. Tapi karena sudah perintah, pakon guru, Kiai Junaidi melaksanakannya dengan baik.
Sebab kiai adalah tumpuan, maka Kiai Junaidi di kampung saya hampir dalam banyak urusan, dimintai pendapat, dawuh-nya. Bahkan, untuk urusan menyembelih sapi dan kambing sekalipun, meminta Kiai Junaidi yang menyembelihnya. Bukan karena apa, tapi, karena Kiai Junaidi dianggap sosok yang paling pantas dan tahu dalam hal seperti itu. Pun bila juga ada orang sakit, Kiai Junaidi kerap dimintai doa untuk kesembuhan yang sakit. Biasanya, doa yang dimohonkan, di-washilah-kan melalui air yang kemudian diminta untuk diminumkan dan diusapkan kepada yang sakit oleh Kiai Junaidi. Seizin Allah dan Maqbul-nya doa yang dipanjatkan Kiai Junaidi, ada banyak mereka yang sakit kemudian sembuh.
Suatu ketika, saya dan para santri diajak untuk berziarah ke makam Sayyid Yusuf di Talango, Sumenep. Perjalanannya dari rumah, melintasi laut melalui pelabuhan Kalianget. Waktu itu naik mobil merek Colt yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Tapi di Madura, khususnya di lingkungan rumah saya di Sumenep, juga digunakan untuk mengangkut orang. Kala itu saya dan teman-teman berebut untuk berdiri paling depan. Memang berdiri paling depan di atas mobil Colt kala itu adalah sebuah idaman. Makannya jadi rebutan. Sampai di Pelabuhan Kalianget, badan saya demam. Katanya sih waktu itu, saya masuk angin. Karena saya demam, saya digendong oleh Bapak dan Ibu. Orangtua saya yang juga ikut ziarah. Sampai di pintu masuk makam Sayyid Yusuf, saya mulai tidak nyaman, mulai melihat sesuatu yang tak biasa dilihat. Semacam makhluk halus. Terus. Gangguan itu sampai ikut ke rumah. Kadang, tiba-tiba tengah malam saya meloncat dari atas kasur kemudian lari terbirit-birit hanya karena ditakut-takuti makhluk halus yang telah biasa mengganggu sejak di Makam Sayyid Yusuf itu. Kemudian, bapak saya bertamu, nyabis kepada Kiai Junaidi, menyampaikan apa yang saya alami. Oleh Kiai Junaidi, Bapak saya diberi air, kemudian air itu diminta untuk diminumkan dan diusapkan ke muka saya. Alhamdulillah, makhluk halus yang biasa mengganggu, tak lagi datang mengganggu.
Sebagai santri, cara saya berterima kasih kini kepada Kiai Junaidi, sudah saya konversi dari awalnya yang biasa bersifat materiel, tampak, ke imateriel, tidak tampak. Saat beliau masih hidup, saya kerap datang menemuinya, nyabis, dengan memohon didoakan atas setiap rencana yang dirancang. Bila ada rezeki, saat pamitan, saya salaman uang. Kadang juga baju, sarung, atau hal lainnya. Nah sekarang, setelah beliau berpulang, segala kemampuan saya yang sifatnya materiel, saya konversi menjadi imateriel. Maksudnya apa, segala kemampuan materiel itu, mulai saya berikan kepada orang-orang yang saya anggap layak menerimanya dengan niat sedekah. Dan pahala sedekah itu saya aturkan kepada Kiai Junaidi. Tindakan sedekah ini saya lengkapi dengan hadiah fatihah minimal sekali saat masuk pagi dan sore. Khusus sejak beliau meninggal sampai hari ke-40, saya punya komitmen untuk mengaturkan fatihah kepada beliau minimal 100 kali setiap sore setelah Salat Asar. Berhubung Jumat kemarin (19/10) saya lupa bertawassul secara khusus kepada beliau, tepat pada Malam Sabtu, sekitar jam 00:15, beliau secara rohani datang ke rumah, dengan kode harum semerbak daun pébur; daun wangi yang biasa digunakan dalam upacara prosesi penguburan. Dalam perasaan, saya melihat beliau bertamu ke rumah dengan mengenakan sarung, tanpa baju, tanpa songkok. Beliau tidak berbicara apa pun. Karena waktu itu saya tidur di beranda rumah dengan tikar tipis, saya bangun kemudian duduk cukup lama, dengan niat menemui guru yang sedang bertamu. Saya tak bisa apa-apa selain diam. Saya merasa guru saya duduk di depan saya dalam waktu yang tak pendek. Saya merasakan itu dengan kode semerbak daun pébur yang menguasai beranda rumah, sama persis saat saya turut andil dalam prosesi persemayaman beliau sejak memandikan sampai menguburkan. Kala itu, bulu kuduk berdiri, merinding, binatang, mulai dari burung peliharaan, cecak, dan binatang liar bunyi sahut-sahutan, menjadi kode dan saksi, bahwa rohani beliau sedang bersama saya. Baru sekitar pada jam 01:45 WIB, harum semerbak daun pébur itu mulai hilang.
Allahummagfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu wahai guru Alif-ku. Semoga Amal baikmu diterima di sisi Allah dan dosa-dosamu diampuni oleh Allah. Insya Allah, saya akan terus istikamah mendoakan dan sesekali bersedekah yang pahalanya dikhususkan kepadamu. Semoga ilmu Allah yang saya serap melaluimu, menjadi ilmu yang bermanfaat, ilmu yang berposisi sebagai lentera hidup menuju keabadian di alam akhirat nanti. Selamat istirahat dan selamat jalan guruku.....
Ellak-Laok, 21 Oktober 2018
12 Safar 1440 H
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...