MISKIN

Lema "miskin" kerap menjadi buah bibir dan sangat laris "diperdagangkan". Utamanya di momentum politik praktis. Tapi, saya ingin menulisnya dari sisi saya sendiri antara dulu dan kini.

Dulu, saat masih anak-anak, saya menganggap bahwa kaya itu saat bisa makan satu butir telur ayam utuh dan sepotong daging setiap kali makan. Sebab, kala itu, untuk makan sehari-hari, satu butir telur, oleh ibu dimasak dengan cara dicaplok, kadang juga masih dicampuri jagung muda yang dipipih, kadang pula tepung, diberi garam yang cukup, kemudian dijadikan lauk makan satu keluarga. Karena garamnya cukup, cukup asin maksudnya, kadang sampai dua hari tidak habis. Jadi saat makan, nasinya yang banyak, lauknya minimal. Sayur khasnya, daun kelor. Sedangkan daging; ayam, sapi, atau kambing, hanya di momentum hari raya, pesta pernikahan, atau saat ada undangan tetangga dan orang meninggal dunia.

Bersama Ibu yang tetap energik, tetap cantik, dan terlihat muda di tengah usianya yang sudah mulai senja.

Selain soal makanan harian, juga mengenai penampilan. Kala itu, kaya bagi saya, saat bisa memiliki pakaian yang bagus-bagus, punya sepeda, dan rumah kokoh yang tidak bocor saat hujan turun, yang tidak kedinginan saat musim kemarau, yang dapurnya ada meja makannya.

Kala itu, saya dibelikan pakaian oleh orangtua hanya setahun sekali. Bahkan dua tahun sekali saat momentum hari raya. Dan itu tidak banyak. Hanya satu setel; songkok, baju, dan sarung. Terus pakaian ini yang diputar-putar sampai bertemu hari raya lagi. Atau, meskipun datang hari raya, tapi orangtua tidak ada uang untuk membelinya, ya, baju yang ada yang tetap dikenakan. Orangtua, utamanya ibu, kerap berujar dengan bahasa Madura, kurang-lebih yang isinya adalah, "belajarlah yang tekun supaya kamu pintar. Orang pintar itu berpeluang menjadi kaya. Nah, kalau sudah kaya, kamu tinggal beli pakaian kapan saja sesuai kemauanmu". Saya menjawab, "iya, saya akan selalu semangat belajar".

Kala itu, saya tidak punya sepeda di tengah teman-teman sebaya yang banyak naik sepeda. Hanya agar saya bisa bersepeda, orangtua sampai meminjam emas milik Bude; saudarinya ibu, untuk dijual kemudian dibelikan sepeda untuk saya. Saya memang tidak meminta, tapi mungkin orangtua kasihan kepada saya. Sepeda satu-satunya yang ada di rumah sebelum saya dibelikan sepeda oleh orangtua, sepeda yang kerap disebut sebagai sepeda jengki. Setiap pagi oleh Bapak di-lap. Bahkan kadang bila ada uang, dibelikan penggilap bermerek, jika tidak salah ucap, Sampuli. 😁

Kala itu, saat turun hujan, rumah saya bocor di sana-sini. Air tergenang di mana-mana. Sudah menjadi agenda wajib, setelah hujan reda, keluarga besar di rumah kerja bakti mengeringkan lantai yang digenangi air sebab kebocoran tersebut. Saya girang karena bisa sambil bermain air. Yang sangat parah kebocorannya, di dapur. Sampai tungku kemasukan air. Karena air masuk, tak mudah menghidupkan tungku. Meja makanya, cukup dengan membalikkan alat pengayak beras, kemudian di atasnya diletakan makanan yang akan dimakan. Sedangkan saat musim kemarau datang, utamanya saat malam hari, saya sering merasa kedinginan.

Kembali ke soal lauk makanan, pernah suatu ketika, hari raya datang, sedangkan orangtua tidak punya ayam untuk disembelih. Kala itu, hanya karena supaya saya bisa makan daging ayam di hari raya, kakek dari ibu, bertandang ke rumah, mengajak saya untuk ikut ke rumahnya, kemudian kita menyembelih ayam. Setelah disembelih, dibersihkan, separuh dibawa saya pulang, separuhnya dimasak kakek-nenek. Begitu girangnya kala itu, karena akan makan daging ayam di momentum hari raya, hari yang dirindukan oleh umat Islam, dirindukan oleh saya karena akan makan daging ayam.

Dulu, bahkan sampai sekarang, terbangun stigma, bahwa makan nasi jagung, menjadi simbol orang miskin. Yang tergolong keren dan dikatakan enak, selain soal daging dan telur sebagaimana saya ulas, juga makan nasi putih. Nasi putih berbahan dasar beras putih-padi, sedangkan nasi jagung dari beras jagung berbahan dasar jagung. Nasi putih menjadi simbol enak dan keren, karena hanya orang tertentu saja yang bisa menanam padi. Sedangkan lahan yang cocok ditanami padi, hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Di kalangan orang desa, mentok hanya para penggawa desa semacam Apel, klebun, carik yang memiliki tanah yang cocok ditanami padi. Orang-orang pada umumnya, punya tanah yang hanya layak ditanami jagung dan tanaman tegalan lainnya.

Kala itu, keluarga saya masuk pada kategori keluarga pada umumnya; hanya punya tanah yang bisa ditanami jagung. Itu pun sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan beras putih, nenek saya kerap mengajak ibu untuk mengais sisa panen padi di lahan-lahan orang kaya. Kadang dalam sehari dapat satu sampai tiga kilo gabah. 

Jadi, kala itu, dalam pikiran saya, kaya itu, jika bisa makan nasi putih, lauk satu butir telur tanpa dibagi-bagi dengan yang lain. Kalau tidak telur, ya, sepotong daging, memiliki pakaian yang bagus, memiliki sepeda, dan memiliki rumah yang saat hujan datang tidak bocor dan saat kemarau penghuninya tidak kedinginan.

Jika kini saya tetap konsisten dengan standar kaya yang ditetapkan saat masih kecil, maka saya sudah tergolong kaya raya. 

Dulu, kalau beli telur hanya satu-dua butir untuk kebutuhan harian, sekarang sudah minimal 3-5 kilo sekali beli. Soal makan daging pun tak lagi menunggu hari raya, ada undangan tetangga, pesta pernikahan, dan orang meninggal dunia. Ayam yang saya pelihara melimpah ruah. Kapan mau menyembelih, tinggal ambil. Kambing pun demikian. Stoknya sangat cukup. Sedangkan daging sapi, tinggal datang ke pasar. Rumah juga sudah tidak bocor saat hujan datang dan kondisinya sudah di atas rata-rata. Pakaian dan kendaraan, juga sudah di atas rata-rata. Apalagi, dalam hal berpakaian, profesi saya seakan menuntut kerapian dan menjaga penampilan.

Tapi kalau soal nasi, saya tetap konsisten senang makan nasi jagung. Tapi nasi jagung kini, sudah juga dicampuri beras putih. Bukan karena tidak mampu masak beras putih murni, tapi kalau masak nasi putih tanpa dicampuri beras jagung, rasanya ada yang kurang di lidah. Bahkan, sampai di Surabaya sekali pun, urusan beras jagung ini, saya kerap membelinya di pedagang pakan burung. Karena tidak banyak orang jualan beras jagung, kecuali di toko-toko pakan burung yang tujuan utamanya untuk makanan burung. Kata teman-teman di Surabaya yang tidak biasa makan nasi jagung, makan nasi jagung bikin perut kembung. Ngentutan. Kalau soal kentut, saya mah senang. Apalagi pagi saat bangun tidur, saat setelah meminum air putih yang cukup. Bagi saya, sering berkentut itu berkah dan bikin perut lega. Siasat supaya kentut tidak bau, ya, saat kebelet beol, jangan ditahan. Yang bikin kentut bau, jika ada kehendak tubuh untuk beol, tapi ditahan.

Untuk mensyukuri itu semua, menapaktilasi apa yang dulu pernah saya alami, saat pulang ke Sumenep, saya kerap beli telur dalam jumlah banyak, kemudian saya bagi-bagikan ke tetangga yang saya rasa pantas menerimanya. Dalam tiga tahun terakhir, saat hari raya tiba, Alhamdulillah saya sudah bisa berbagi sembako plus ayam satu ekor kepada tetangga yang butuh. Tahun pertama 10 keluarga, tahun kedua 15 keluarga, tahun ketiga sudah 25 keluarga, dan tahun berikutnya, saya berusaha lebih banyak lagi. Hal ini dilakukan karena saya mengerti sendiri bagaimana rasanya jika di hari raya tidak bisa makan enak.

Kini, standar kaya bagi saya sudah berubah. Yaitu saat berhasil menikah, ibadah ke Baitullah; baik Haji maupun Umroh, punya mobil Fortuner dan/atau Pajero, dan memiliki rumah yang dibangun sendiri di Madura dan Surabaya.

Mohon bantu Amien-kan, pengharapan baiknya teman-teman, akan juga saya Amien-kan.

Bagi saya, hidup ini hanya soal bagaimana memperjuangkan. Saya berterima kasih betul kepada orangtua yang telah menjadi penopang utama dari setiap capaian hidup yang saya gapai. Saya tetap berpegang teguh pada istilah yang didapat di pesantren; "Bahwa harta dunia dan urusan akhirat, hanya bisa dicapai oleh ilmu. Sedangkan agar berilmu, syaratnya sederhana; Belajar yang tekun". Bahkan, bila tidak salah ingat, di dalam kitab Ta'limul Muta'allim karangan Imam Azzarnuji disebutkan bahwa, tidurnya orang berilmu, itu lebih baik dari ibadahnya orang bodoh.

Mari nikmati, jalani, dan syukuri perjalanan hidup ini, kawan.

Komentar