Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi

Pemilu Presiden (Pilpres) tinggal beberapa hari lagi. Sudah semakin dekat. Sebagai warga negara yang baik, kita harus memihak, menentukan pilihan, ke mana keputusan politik praktis bakal berlabuh. Mau ke pasangan Jokowi-Ma'ruf, atau kepada Prabowo-Sandi.

Atas pasangan Jokowi-Ma’ruf, saya rasa, layak dipertimbangkan untuk dilihat secara kritis. Termasuk kritik-kritik yang disampaikan oleh Prabowo, Sandi, dan tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Menikmati secangkir kopi Susu tanpa gula di KancaKona Kopi, Sumenep

Jokowi dievaluasi, dikomentari, bahkan sampai di tingkat nyinyir, utamanya oleh rival-rival politiknya, saya rasa memang layak walau kadang banyak yang tidak pantas. Contoh, mengomentari kebijakan Jokowi dengan nyinyir dan caci maki, bagi saya, tidak pantas. Pula, tidak menarik. Apalagi oleh kalangan yang secara akademis mentereng. Mereka sarjana, magister, bahkan doktor.

Baik, sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan, saya akan mengomentari kepemimpinan Jokowi dalam posisinya sebagai presiden.

Pertama, pembangunan infrastruktur memang luar biasa. Jalan-jalan diperbaiki. Tol dibangun. Bandara dibangun. Listrik di bawah PLN terus ditingkatkan dayanya agar segera men-cover kebutuhan warga negara sampai ke pelosok-pelosok, ke desa-desa. Walau, dalam hal ini, menyisakan banyak catatan yang harus dievaluasi. Utamanya dalam hal pembebasan lahan. Pemerintah di bawah Presiden Jokowi dengan segala kekuatannya, mampu "memukul mundur", melakukan tindakatan yang patut saya duga melanggar HAM berat atas mereka yang memiliki dan/atau menguasai lahan, yang lahannya tidak mau dibebaskan untuk kepentingan proyek pembangunan infrastruktur dengan alasan yang cukup klise; media mencari nafkah dan diproyeksikan untuk anak cucunya kelak. Mereka dipaksa untuk menerima, dalam istilahnya Jokowi, ganti untung. Padahal bagi mereka, ganti untung itu menjadikan mereka buntung.

Sederhananya, pemerintah Jokowi dalam melaksanakan proyek infrastruktur, masih kadang melakukan tindakan yang patut saya duga melanggar HAM. Utamanya kepada mereka yang menolak tanahnya digunakan untuk kepentingan proyek infrastruktur. Sebab ini dilakukan oleh negara, maka tak ada yang bisa mengadili negara. Apalagi tidak ada lembaga yang bisa mengadili. Pengadilan HAM ad hoc pun yang pernah ada, dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) saat Prof. Jimli sebagai Ketua MK.

Dalam proyek infrastruktur, katakanlah dana desa dari APBN yang masuk melalui aparatur desa, dalam catatan Muhtar Habibi melalui media Tirto, rata-rata, justru memperlapang elite desa, bukan memberdayakan (petani) desa. Barang-barang mewah seperti mobil, rumah, dan sawah milik aparatur desa, justru mengalami peningkatan yang pesat.

Kedua, pembangunan superstruktur. Pemerintahan Jokowi belum berhasil merevolusi mental, utamanya para Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pelaksana teknis dari setiap kebijakan negara. Di mana, dulu, revolusi mental masuk dalam Nawa Cita. Rekrutmen ASN yang berbasis sistem aplikasi memang sudah jauh lebih baik dari dulu. Tapi, mengatasi mental ASN hasil rekrutan jaman dulu yang tak bisa lepas dari pola Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, pemerintahan Jokowi belum menemukan sistem yang baik dan efektif.

Ketiga, penegakan hukum. Pemerintahan Jokowi, apalagi akhir-akhir ini, sangat terkesan hanya bisa menindak yang secara politik berlawanan dengannya. Janji untuk menuntaskan pelanggaran hukum di jaman dulu, katakanlah dugaan pelanggaran HAM berat, mulai kasus Munir Thalib, penculikan, sampai soal tragedi 1998, tidak ada progresnya sama sekali. Malah, menurut saya, lebih progres di zaman Bapak SBY memimpin. Jangankan soal pelanggaran HAM berat di masa lampau, tragedi penyiraman air keras atas penyidik KPK Novel Baswedan, tetap kelabu sampai saat ini. 

Yang tidak menarik dari kubu Jokowi dalam isu penegakan HAM ini, kerap mengait-ngaitkan dugaan pelanggaran HAM Prabowo di masa lampau. Memang, Prabowo, berdasarkan data di Komnas HAM, adalah sosok yang turut tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban hukum dan kemanusiaan atas pelanggaran HAM berat di masa lampau. Utamanya tragedi 1998. Cuma, dalam hal ini "bola kendali"-nya tetap di Jokowi dalam posisinya sebagai presiden. Selain itu, orang-orang yang berada di lingkaran Jokowi kini, juga banyak yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat. banyak yang turut tersebut sebagai orang yang sebelas-dua belas dengan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Prabowo di jaman dulu.

Keempat, posisi Ma'ruf Amien sebagai Cawapres. Ma'ruf Amien, adalah Rais Am PBNU kini. Menurut aturan main internal NU, yang mengembalikan NU ke Khittah 1926, bahwa posisi Rais Am, Rais Syuriah, dan Ketua umum PBNU, tidak diperkenankan menjabat jabatan politik praktis (Anggaran Dasar NU Bab XVI Pasal 51 ayat (4). Toh misal pun mau berada di jabatan politik praktis, salah satunya harus dipilih. Jika tetap memilih sebagai Rais Am, Rais Syuriah, dan/atau Ketua Umum PBNU, maka harus mengundurkan diri dari jabatan politik praktisnya. Bagi saya, saat Ma'ruf Amien maju sebagai cawapres dalam posisinya yang sebagai Rais Am NU, sudah melakukan pelanggaran aturan main internal NU sendiri. Mestinya, beliau harus menjadi role model dari keputusan yang diambil secara kolektif oleh para tokoh NU sebelumnya yang mengembalikan NU ke Khitah 1926. Selain itu, Ma'ruf adalah tokoh yang turut memberikan kesaksian saat proses hukum Ahok terkait perkara penodaan agama berlangsung. Itu artinya, Ma'ruf di masa lalu, saat dinamika politik praktis di Jakarta tengah membara pada 2017 silam, ia berada di pihak yang turut mempolitisasi agama. Saat masuk ke gerbong Jokowi, sampai ia dipilih sebagai Cawapres, kemudian ia menyampaikan rasa penyesalannya karena telah menjadi saksi yang memberatkan dalam kasus Ahok.

Kemudian, masuk ke pasangan Prabowo-Sandi. Prabowo, adalah tokoh yang "tersandera" oleh kekelaman masa lalu. Utamanya dalam hal dugaan kejahatan HAM berat dan penguasaan lahan-lahan dengan jumlah yang fantastis, walau statusnya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Masa lalu Prabowo yang kelam, tidak menarik jika dilihat dari cermin yang sempit, menarik bila, dilihat dari sudut politik masa lalu di mana Soeharto pengendali tunggalnya. Tindakan Prabowo yang diduga melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) berat, tak lebih dari sekedar pelaksana teknis dari komandan yang mengomando di atasnya. Posisi Prabowo secara hierarkis adalah anak buah yang iklim dan kulturnya kala itu, bahkan masih kuat sampai saat ini, selalu mengatakan "Siap, Komandan" atas perintah apa pun yang datang dari komandan di atasnya.

Selain itu, dugaan kejahatan HAM berat Prabowo, terorganisir secara baik. Maksudnya, pelaksana teknis dan penanggung jawab dari tindakan tersebut, banyak orang yang terlibat. Termasuk dari orang-orang yang kini berada di lingkaran Jokowi. Toh misal pun Prabowo kini mau diadili, kunci tombolnya berada di Jokowi dalam posisinya sebagai presiden dan kehendak politik di parlemen. Di lihat dari komposisi kekuatan politik di parlemen, Jokowi punya peluang untuk membuat produk hukum, yang kemudian melahirkan semacam lembaga pengadil seperti Pengadilan HAM Ad hoc yang dulu pernah terbentuk tapi dibubarkan oleh MK. Kemudian pertanyaannya, Jokowi mau apa tidak?!

Soal Sandiaga, record-nya ia adalah pengusaha kawakan. Itu yang dijadikan senjata ampuh dalam mempengaruhi warga agar memilih pasangan Prabowo-Sandi dengan iming-iming akan dibuka lapangan kerja baru dan meningkatkan taraf hidup layak untuk kebanyakan orang di Indonesia yang masih merasa miskin. Tapi dari sisi politik,  ia memiliki record buruk, hanya beberapa bulan sebagai Wakil Gubernur di DKI Jakarta, ia kemudian "meloncat" sebagai cawapres. Selain itu, menangnya pasangan Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta pada 2017 dulu, tidak lepas dari politisasi agama yang goal-nya kemudian memenjarakan Ahok sebagai gubernur definitif waktu itu.

Nah, dengan segala plus-minus capres-cawapres yang saya kemukakan tersebut, ada hal penting yang menurut saya urgen untuk dikemukakan, yaitu politisasi agama.

Politisasi agama, mulai mengemuka, menguat, sejak dinamika politik praktis di Jakarta  pada 2017 silam membara. Sudah menjadi rahasia umum, yang memobilisasi politisasi agama, adalah Prabowo dan orang-orang yang secara politik se-visi dengannya kala itu. Sampai sekarang politisasi agama masih ada walau tidak sekuat saat dinamika politik praktis Jakarta tengah membara.

Selain itu, Prabowo dkk. terlihat lebih "toleran" kepada penganut keagamaan garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan eks aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Orang-orang seperti Sugi Nur, Ahmad Dhani, yang secara verbal ujaran-ujarannya kerap memicu disintegrasi dan disharmoni, mendapatkan panggung.

Jika politisasi agama terus diberi panggung, toleransi kepada penganut agama minor didegradasi, saya kok sangat takut Indonesia akan seperti di Timur Tengah yang terus memproduksi perang walau dari sisi agama sama-sama Islam. Apalagi, orang-orang di lingkaran Prabowo, banyak di antara mereka yang kerap mengkafirkan, mencaci, menghujat, tak hanya bagi yang non muslim, saudara seimannya sendiri juga kerap dikafirkan, dicaci, dihujat hanya karena perbedaan politik praktis tahi kucing rasa cokelat ini. Saya juga khawatir, jika mental ala orang FPI diberi panggung untuk mengamuk, Islam yang ramah, yang toleran, yang santun, akan terkikis kemudian hilang dari karakter kolektif kita sebagai umat dan sebagai warga negara yang berbangsa-bangsa ini. Keberagaman yang rukun, harmonis, saling menghormati dalam perbedaan ras, agama, etnis, bahkan politik, terancam porak-poranda Jika Prabowo "diberi jalan" untuk sebagai presiden karena sikap "toleran"-nya kepada orang-orang yang secara politik jangka panjang berpeluang mengganti ideologi Pancasila ke Khilafah ala meraka.

Maka, karena dalam hal politik praktis saya harus memilih dan memihak, di Pilpres mendatang, saya akan mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf. Tentu dengan catatan kritis yang sudah saya ulas.

Silakan, secara politik praktis kita boleh beda, tapi kita tetap sama dalam ber-Indonesia. Mari jaga kerukunan di tengah perbedaan.

Tulisan ini siap dipertanggungjawabkan secara akademis dan debat ilmu yang terukur. 

Selamat berakhir pekan sobat.
Villa Slamet Indah, Wonocolo, 3 Maret 2019

Komentar