Pak Mujennar, Rokok dan Aktivitas Pertanian

Di kampung saya Sumenep, ada sosok laki-laki tangguh, energik, perokok berat dan masih produktif di usianya yang tak lagi muda. Ia bernama Muddin, tapi biasa dipanggil Pak Mujennar. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Mujennar lantaran anak pertama (sareang)-nya dulu bernama Mujennar. Saya sendiri biasa memanggilnya Keh (ki) Mujennar. "Keh" sebutan aki dalam terminologi orang Jawa. Di Madura, manggil "keh" biasa dilekatkan kepada mereka yang sudah sepuh, usianya sudah senja.

Keh Mujennar petani yang giat. Kerja-kerja pertanian yang menuntut tubuhnya bergerak aktif, ke mana-mana lebih sering memilih berjalan kaki, membuatnya tetap terus sehat dan produktif. Seumur-umur, saya belum pernah melihatnya naik motor, dibonceng motor pun jarang. Penglihatannya masih bagus, giginya masih kuat walau sebagian sudah ada yang rusak. Saya mengukur gigi Keh Mujennar kuat saat masih bisa mengunyah hal-hal keras seperti yang dikunyah oleh gigi saya, seperti biji jagung yang telah disangrai. Pendengarannya pun, juga masih jernih dalam menangkap gelombang suara.

Dari sisi umur, Keh Mujennar tergolong lebih muda dari umur nenek saya; Maryam, yang sudah meninggal dunia pada 2012 silam. Saya menaksir umur Keh Mujenner sudah di atas 90 tahun.

Saat malam selepas Isya', atau siang menjelang Adzan Duhur setelah beliau dari ladang, saya kerap duduk santai di beranda rumah dengannya, setelah kita sama-sama memutuskan rehat dari pekerjaan masing-masing, sambil menikmati kopi; saya kopi susu tanpa gula, beliau kopi tubruk sedikit gula, dan rokok; saya rokok yang dilinting sendiri dari tembakau Madura tanpa campuran perasa apa pun, beliau rokok merek Menara, Oepet dan/atau rokok lain yang harganya di bawah 10 ribu. Sesekali beliau juga menikmati rokok saya dengan juga melinting sendiri.

Fisik Keh Mujennar jauh lebih tangguh dari fisik saya. Berikut saya kemukakan aktivitasnya:

Pagi-pagi betul, beliau sudah bangun. Di saat yang lain masih belum bangun, beliau sudah bangun. Atau, mau bangun di jam berapa pun saya, beliau sudah terlihat bangun. Padahal saya bangun pagi itu, paling telat saat Adzan Subuh berkumandang. Itu pun, jika saya tidak bangun, yang membangunkan adalah ibu.

Bakda Salat Subuh, Keh Mujennar sudah bersiap ke ladang. Mengerjakan apa pun yang hendak dikerjakan. Saya tidak menjumpai beliau terlihat menganggur. Pasti selalu ada hal yang dikerjakan. Termasuk bila misal rehat siang di beranda rumahnya. Entah memperbaiki, semacam menganggit peralatan pertanian yang rusak, sampai soal menjahit pakaian, baik celana pendek, celana panjang, kaus, baju, yang jebol dan/atau bolong dengan pola jahit secara tradisional menggunakan tangan, bukan mesin.

Setelah itu, beliau mandi, Salat Duhur, makan, kemudian setelah matahari mulai bergeser ke arah barat, teriknya tidak sepanas saat masuk waktu siang, ia kembali kepada aktivitas pertaniannya sampai sore hari sekitar jam 16:30 atau mentok sampai jam 17:00 WIB. Terus. Aktivitas itulah yang saya amati langsung.

Di kala duduk santai sambil menikmati kopi dan rokok, saya kerap bertanya seputar apa pun tentang masa lalunya, masa mudanya, tentang bagaimana ia bekerja, tentang seperti apa prinsip hidupnya, dan hal lain yang bisa saya obrolkan. Dari obrolan yang tak hanya sekali, terjadi berkali-kali, dengan topik obrolan yang kompleks dan komprehensif, ada banyak hal yang ingin saya tuliskan mengenai beliau yang menurut saya menginspirasi.

Salah satunya, saat masih muda, Keh Mujennar, selain petani juga pedagang sapi. Dalam aktivitas perdagangannya, mulai dari rumahnya, membeli sapi para petani, sampai kemudian menjual ke pasar, ditempuh dengan jalan kaki. Perjalanan ini tidak membosankan karena dilalui secara bersama-sama dengan teman sesama pedagang sapi.

Setelah saya cek melalui Google Map, jarak tempuh dari rumahnya ke pasar-pasar yang dituju ternyata tergolong jauh; Pasar Lenteng setiap hari Minggu, jarak tempuhnya 3,5 km. Selasa, ke Pasar Keppo, Pamekasan. Jaraknya sampai 35 km. Rabu, ke Pasar Rubaru, Sumenep, jaraknya 9 km. Kamis, ke Pasar Bangkal, Kota Sumenep, jaraknya 12 km, Jumat Pasar Dasuk, jaraknya 14 km dan Sabtu ke Pasar Keppo lagi.

Memang tidak setiap hari pasaran beliau ke pasar, tapi, jika sapi dagangannya ada, sudah dipastikan beliau akan ke pasar. Jika sapi dagangannya tidak laku di satu pasar, maka akan dibawa ke pasar berikutnya. Terus begitu siklusnya sampai sapi dagangan miliknya laku terjual.

Makan minumnya, sampai di usia senja beliau kini, masih bebas mau makan-minum apa pun. Tidak memiliki pantangan makan-minum ini atau itu. Tubuhnya tetap ideal. Tidak gemuk apalagi obesitas.

Banyak orang berdecap kagum atas Keh Mujenar. Berdasarkan obrolan dan pengamatan langsung saya kepada beliau, beliau demikian karena faktor: Pertama, tubuhnya bergerak aktif secara disiplin. Ditopang oleh mobilitas hariannya yang memaksimalkan jalan kaki. Kedua, cukup tidur dan tidak pernah bangun kesiangan. Ketiga, makan-minum secukupnya, tidak berlebihan. Keempat, bekerja secara santai. Menikmati apa yang dikerjakannya. Semacam bekerja tanpa target, tapi beliau maksimal, beliau optimal atas setiap hal yang dikerjakan.

Sebagai anak muda, dengan sekian konsep dan teori tentang bagaimana supaya sehat, tentang bagaimana bekerja dengan baik, saya menemukan semangat dalam bekerja keras dan disiplin darinya. Beliau memang tidak menggunakan metodologi, tidak menggunakan teorisasi sebagaimana saya dalam bagaimana sehat dan bekerja, tapi beliau sudah menjadi role modele, objek penelitian saya pribadi dalam bagaimana sehat dan bekerja dengan baik.

Selamat bersantai dan berlibur, Sobat. Barangkali tulisan ini tidak hanya baik untuk saya, tapi juga Anda.
Selamat pagi,
Sabtu ceria.
😊✌

Komentar