Saya merasa perlu membuat tulisan lanjutan mengenai polemik jabatan Apel di Lenteng Barat, Lenteng, Sumenep yang berujung pada pelaporan Kepala Desa Lenteng Barat ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur.
Pada tulisan kali ini, saya ingin memulai dari pernyataan tertulisnya Wardi Wisam di kolom komentar pada tulisan sebelumnya, yang pada pokoknya berisi, "Kepala Desa tidak boleh seenaknya dalam memberhentikan perangkat desa. Dalam pemberhentian perangkat desa, kepala desa harus mematuhi aturan hukum yang berlaku". Pernyataan ini benar-benar menohok.
Di dalam UU 6/2014 tentang Desa, soal pemberhentian perangkat desa itu diatur di dalam Pasal 53. Pasal 53 ini bertaut dengan Pasal 52 dan Pasal 51.
Saya, bahkan Wardi Wisam pun barangkali tidak tahu, apa alasan Kepala Desa Lenteng Barat terpilih dalam memberhentikan Apel?! Barangkali, ini saya juga mengira-ngira, alasan Kepala Desa Lenteng Barat memberhentikan Apel sebagaimana aduan dan/atau laporan ke Camat Lenteng mengenai tindakan Apel dalam tiga hal sebagaimana saya ulas di tulisan sebelumnya; Pertama, melakukan tarikan 300rb dalam program prona. Kedua, mempersempit jalan desa, dan Ketiga, terlibat bondet.
Pembaca tahu, program Prona saat ini sudah tidak ada, diganti ke program PTSL. Simpelnya, program PTSL ini adalah program penyertipikatan tanah yang biayanya Rp 150rb per sertipikat. Cuma, dalam praktiknya, perangkat desa menarik lebih dari Rp 150rb dengan alasan ada biaya tambahan berupa pemberkasan. Pada umumnya sampai Rp 300rb. Tapi jika pemohon PTSL mau mengurus sendiri berkasnya, ya, biaya mestinya tetap sesuai aturan sebesar Rp 150rb. Biaya Rp 300rb, menurut saya, jauh lebih murah ketimbang mengajukan penerbitan sertipikat tanah secara mandiri yang melibatkan notaris. Pengalaman pribadi saya dalam pengurusan penerbitan sertipikat tanah secara mandiri, habis sekitar Rp 5jt-an.
Kembali ke pokok tulisan, laporan dan/atau aduan Kepala Desa Lenteng Barat ke Camat Lenteng, versi pelapor yang melapor ke Polda Jatim, berubah menjadi tuduhan.
Saya rasa soal laporan ke Polda ini klir di tulisan pertama.
Kemudian, soal laporan dan/atau aduan ke Camat Lenteng mengenai alasan pemberhentian Apel oleh Kepala Desa Lenteng Barat, sudah menjadi tugas camat untuk memverifikasi dan mendalami kebenarannya. Jangan hanya karena ada laporan demikian tanpa terlebih dahulu camat melakukan pendalaman atas kebenaran laporan tersebut, laporan kepala desa tersebut kemudian langsung mendapatkan disposisi. Perlu ada bukti yang menyatakan bahwa Apel dimaksud telah melakukan tiga hal yang telah dilaporkan dan/atau diadukan ke Camat tersebut.
Apel-apel yang merasa diberhentikan dengan cara tidak elegan oleh kepala desa terpilih, saran saya, sebaiknya "melawan" melalui pengadilan. Gugat SK pemberhentian tersebut dengan narasi bahwa alasan pemberhentian sebagai Apel tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Itu pun, jika alasan yang termaktub di SK pemberhentian bisa dibuktikan secara hukum!
Untuk kepala desa terpilih, karena sudah dilaporkan ke Polda Jatim dengan Pasal fitnah, hadapi secara kesatria.
Tulisan ini dan tulisan sebelumnya tidak untuk mendukung siapa pun secara politik. Saya pun tidak kenal mereka secara personal.
Tulisan ini saya hadirkan sebagai pelajaran dalam dua hal; Menjadi kepala desa itu mahal biayanya dan dalam memberhentikan perangkat desa, kepala desa mestinya harus tetap berpedoman kepada aturan hukum yang berlaku.
Dalam konteks pemberhentian Apel di Lenteng Barat, saya menduga kepala desa terpilih hanya memasukkan pertimbangan politik berbasis asumsi. Maksudnya, mereka Apel baru yang diangkat pertimbangan utamanya sebab sosok yang dianggap berjasa dalam pemenangan sebagai kepala desa sedangkan Apel yang diberhentikan, dihentikan menggunakan pendekatan asumsi tanpa verifikasi bukti yang akurat. Akhirnya blunder seperti ini.
Salam,
0 Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...