Nikah Siri

image: wajibbaca.com
Nikah siri adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Di dalam hukum, tidak ada istilah Nikah Siri. Nikah siri adalah produk budaya yang seolah boleh karena hanya menggugurkan syarat dan rukun nikah dari sisi Agama Islam sedangkan syarat lainnya tidak dipenuhi. Bahkan, Nikah siri oleh sebagian orang dijadikan media untuk "membungkus" praktik prostitusi terselubung. Semacam kawin kontrak. Nikah dulu sebelum "bermain", setelah "puas", cerai. Bisa setelah "bermain", bisa dalam beberapa hari kemudian setelah "dipakai". Tergantung kesepakatan. Apalagi jatuh cerai dalam perspektif ini, tinggal bilang "saya talaq dan/atau cerai kamu".

Dalam hukum, mengapa tidak ada istilah nikah siri? Karena nikah siri itu tidak memiliki kepastian hukum, berpeluang merendahkan harkat dan martabat salah seorang atau kedua orang yang melangsungkan nikah siri tersebut. Tidak memiliki kepastian hukum, maksudnya, salah seorang atau kedua orang yang melangsungkan nikah siri tersebut jika menyangkal tiadanya pernikahan di antara keduanya gampang dipatahkan. Belum lagi hak hukum lain seperti kepemilikan harta bersama dan hak asuh atas anak, kabur.

Nikah siri biasa dipraktikkan oleh seorang laki-laki yang statusnya suami dari salah seorang atau dua dan tiga orang istri yang dinikahi secara sah dan benar. Sah dan benar maksudnya, yaitu pernikahan yang dilangsung sesuai amanah UU 1/1974 tentang Perkawinan. Sedangkan nikah siri sudah pasti bertentangan dengan amanah UU tersebut.

Nikah siri ini pada umumnya dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari istri-istri laki-laki tersebut. Dalam banyak kasus, istri-istri mengetahui bahwa suaminya telah menikah siri setelah sekian lama dilangsungkannya pernikahan siri tersebut.

Suami yang melakukan nikah siri dapat diperkarakan oleh istri-istrinya ke Pengadilan Negeri dengan Gugatan PMH. Apalagi nikah siri yang dilakukan laki-laki dalam status suami orang tersebut sambil mengabaikan hak nafkah lahir dan batin atas anak dan istri-istrinya. Walaupun tidak mengabaikan hak nafkah misalnya, si suami tersebut tetap dapat diperkarakan dengan Gugatan PMH karena hukum mensyaratkan setiap laki-laki yang statusnya sebagai suami, jika ingin menikah lagi harus mendapatkan persetujuan istri-istrinya. Selain itu, setiap pernikahan wajib dicatat oleh petugas pencatat nikah, dalam hal ini, petugas di Kantor Urusan Agama (KUA). Jadi, istri-istri, jika suaminya ketahuan menikah lagi secara siri, maka suami tersebut dapat digugat PMH dan minta kan kerugian materiel dan imateriel melalui pengadilan. Jika suami menyangkal misalnya, bahwa ia telah menikah secara siri, sedangkan ia jelas-jelas bersama perempuan, apalagi sampai bertempat tinggal di suatu tempat secara bersama-sama, istri-istri tersebut dapat mengadukannya ke polisi dengan Pasal Perzinaan. Dalam hal ini, karena Pasal Perzinaan masuk delik aduan absolut, maka istri memiliki legal standing untuk mengadukannya.

Bagi pernikahan yang berlangsung sebelum berlakunya UU 1/1974 atau pasangan suami-istri yang hidup hanya berdasarkan nikah siri, sebaiknya segera sahkan pernikahan tersebut dengan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Negara hadir, mengatur pernikahan hanya dalam rangka melindungi hak, harkat dan martabat setiap warga negara agar tetap terjaga dengan baik. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Yang "kuat" dibatasi untuk tidak seenaknya kepada yang "lemah", yang "lemah" dilindungi supaya tidak diperlakukan sembarangan oleh yang "kuat". Dalam relasi pernikahan, perempuan kerap berada di posisi yang "lemah".

Wahai para istri yang suaminya menikah lagi tanpa persetujuan Anda, gugat dia ke pengadilan secara perdata dengan gugatan PMH.

Salam,

0 Komentar