Novel Baswedan


image: medan.tribunnews.com
Dulu, sekira di antara tahun 2012-2013, saya mulai kenal kepada Novel Baswedan melalui Majalah Tempo yang saya baca sebelum mengisi Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Tretes, Pasuruan, Jawa Timur.

Kala itu, Novel dikeruduk di gedung KPK kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Sarang Burung Walet di Bengkulu. Pada waktu penetapan ini, beriringan dengan penetapan Djoko Susilo dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator SIM oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Djoko Susilo itu adalah pejabat teras di kepolisian. Memang, KPK di zaman itu masih ganyeng-ganyengnya.


Novel adalah penyidik dari unsur kepolisian di KPK kemudian ia mengundurkan diri sebagai Anggota Polri dan memilih sebagai penyidik di KPK.

Kasus e-KTP, kasus simulator SIM yang melibatkan petinggi Polri, kasus Wisma Atlet Sea Games, kasus Hakim MK Akil Mukhtar dan kasus cek pelawat Nunun Nurbaeti adalah deretan perkara yang ditangani Novel. Koruptor, utamanya "kelas kakap", berang atas tindakan Novel yang tidak kenal kompromi. KPK secara institusional "digoyang" tiada henti yang kemudian sampai pada puncak "kelumpuhan"-nya saat revisi UU pemberantasan korupsi berhasil diundangkan. Novel tepat pada 11 April 2017 silam, disiram air keras yang kemudian menjadikan matanya cacat seumur hidup.

Tragedi atas Novel itu, menjadi warning bagi pegiat antikorupsi yang menghendaki korupsi di Indonesia ini segera berakhir. Harapan dalam memperbaiki Indonesia melalui penegakan hukum memberantas korupsi menjadi semakin suram setelah UU pemberantasan korupsi berhasil direvisi.

Kasus Novel berjalan hampir tiga tahun tapi saat proses sidang berlangsung terhadap pelaku yang diduga melakukan penyiraman air keras terhadapnya, mereka hanya dituntut satu tahun penjara. Menggelikan. Alasan Jaksa penuntut umum, karena pelaku tidak sengaja menyiramkan air keras ke muka Novel.

Di masa Tito Karnavian sebagai Kapolri, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Temuan TGPF, lebih pada soal motif di balik penyiraman air keras, bukan siapa di balik penyerangan air keras. Motif temuan TGPF itu kini, tidak dijadikan sebagai alasan untuk menguatkan penjatuhan hukuman berat terhadap orang yang diduga melakukan penyiraman air keras. Padahal jelas, tindakan orang yang diduga menyiramkan air keras itu, tidak hanya menyasar Novel secara pribadi, tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap agenda pemberantasan korupsi secara sistemis dan kelembagaan oleh negara.

Tuntutan atas orang yang diduga sebagai pelaku penyiraman didasarkan pada pasal alternatif (subsider), yaitu Pasal 353 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penganiayaan dengan terencana yang hukuman maksimalnya 7 tahun penjara, bukan pasal utama (primer), yaitu Pasal 355 ayat (1) KUHP, penganiayaan berat dengan terencana.

Digunakannya Pasal 353 karena orang yang diduga pelaku penyiraman air keras tidak punya niat untuk melukai. Rusaknya mata Novel yang permanen seumur hidup, tidak dianggap sebagai akibat dari penganiayaan yang mengakibatkan luka oleh Jaksa. Itulah mengapa jaksa tidak menggunakan Pasal 355. Kata "berat", diukur dari adanya luka atau tidak.

Sebagai praktisi hukum, menurut saya, tindakan orang yang diduga menyiramkan air keras ke muka Novel adalah penganiayaan yang mengakibatkan luka. Bahkan luka berat karena menjadikan mata Novel cacat permanen. Penganiayaan terencana yang tidak mengakibatkan luka adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan cacat, apalagi cacat permanen.

Soal akibat serangan itu mengakibatkan luka atau tidak, di sisi lain, itu sudah menjadi ranah para pihak yang turut andil di pengadilan dalam perkara ini, utamanya hakim yang menangani dan memeriksa perkara ini. Perdebatan berbasis ilmu dalam menentukan akibat serangan air keras masuk kategori luka atau tidak, secara umum sudah menjadi concern akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Cuma, dalam perkara sejenis, sudah ada yurisprudensi yang menghukum pelaku penyiraman air keras di atas 1 tahun penjara. Walaupun memang, secara aturan, hakim tidak diperkenankan memutus perkara di luar yang dimohonkan oleh jaksa.

Novel selaku korban dalam perkara ini, tak bisa masuk ke ranah peradilan secara langsung karena Novel sudah diwakili oleh jaksa di pengadilan.

Di luar pengadilan, Novel dan orang-orang yang merasa tuntutan jaksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku penyiraman air keras tidak adil, bisa terus membangun opini yang terukur agar pengadilan memutus perkara ini secara objektif dan berkeadilan. Setidaknya memenuhi rasa keadilan di masyarakat.

Mari bersama, bahu membahu untuk memperbaiki Indonesia agar terbebas dari korupsi.

Salam,

0 Komentar