Polemik di Annuqayah

Skrinshoot akun Facebook yang dianggap menghina Annuqayah

Melalui media sosial, Kamis (18/6) kemarin, pertama penulis di-tag secara khusus oleh Roni Andilaw di Facebook. Kemudian, penulis juga dikirimi pesan pribadi melalui What'sApp oleh Ahmad Muhli Junaidi. Dua orang ini sama-sama meminta pandangan penulis mengenai polemik di Annuqayah. Muhli Junaidi malah meminta secara khusus agar saya melihatnya dari sisi hukum dalam perkara tersebut.

Sambil beraktivitas, penulis terus mengikuti perkara ini. Untuk menulisnya walaupun sekedar catatan, penulis belum cukup waktu karena tersita oleh urusan pekerjaan sebagai penasihat hukum.

Sejak perkara ini mencuat, penulis berpikir dan berencana untuk urun angan dalam menanggapi polemik tersebut. Pagi ini, di momentum akhir pekan, pandangan pribadi ini saya kemukakan.

Polemik ini penulis rasa mulai "hidup" sejak unggahan status Facebook-nya Kiai Raden Hazmi; salah seorang putera Alm. Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad yang menurut penuturannya sebagai ketua dewan pengarah tim Covid-19 Annuqayah. Beliau meminta pendapat publik atas status Facebook-nya "Ieiem Al Ima Ma" yang kemudian dikomentari oleh "Abd. Gaffari".

Status Facebook Ieiem dan dialognya dengan Abd. Gaffari, mengomentari secara sinis yang barangkali maksudnya guyon, atas pemasangan tempat cuci tangan di pintu masuk pesantren. Pemasangan tempat cuci tangan tersebut adalah langkah pesantren sesuai petunjuk pemerintah dalam menekan-meminimalisir penyebaran virus Covid-19.

Status Facebook Ieiem dimaksud dan dialognya dengan Abd. Gaffari, simpulan umumnya, dianggap menghina, merendahkan dan/atau melecehkan Annuqayah dalam konteks pelaksanaan protokol Covid-19.

Pendapat pribadi penulis, ya, penulis sepakat dengan simpulan umum tersebut. Status Facebook Ieiem dan dialognya dengan Abd. Gaffari memuat penghinaan, merendahkan dan/atau melecehkan Annuqayah. Tapi penulis tidak sepakat jika keduanya harus dipenjara hanya karena status Facebook tersebut. Kecuali keduanya pongah, tidak merasa bersalah dan tidak meminta maaf kepada Annuqayah.

Atas status Facebook-nya Ieiem dan dialognya dengan Abd. Gaffari yang dianggap melecehkan Annuqayah, oleh sebagian orang yang turut merespons atas polemik tersebut, didorong agar diproses hukum oleh kepolisian. Bahkan, agar yang bersangkutan diproses hukum oleh kepolisian, didorong langsung oleh Kiai Raden Hazmi melalui penjelasan lugasnya di Facebook.

Kiai Hazmi tetap teguh pendiriannya agar yang bersangkutan diproses sesuai hukum walaupun pihak Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar Sumenep selaku institusi di mana Abd. Gaffari bekerja, datang menemui Kiai Hazmi.

Abd. Gaffari sudah dinonaktifkan sebagai Satpam di BPRS dan terancam diproses hukum oleh kepolisian.

Langkah untuk memproses hukum pihak yang dianggap menghina Annuqayah mulai terorganisir. Ikatan Alumni Annuqayah sampai persatuan orang-orang yang mengerti hukum sudah "menyingsingkan lengan-baju" guna pengawalan polemik ini ke ranah hukum.

Ieiem dan Abd. Gaffari setelah perkara ini mencuat, tidak melakukan perlawanan apa pun. Pasif. Upaya permohonan maaf oleh Abd. Gaffari bersama BPRS sudah ditempuh tapi proses hukum tetap diminta untuk dilanjutkan, utamanya oleh Kiai Hazmi dan menurut Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Pusat yang dimuat media Koran Madura, proses hukum adalah jalan tengah dalam penyelesaian perkara ini.

Mengamati status Facebook-nya Ieiem dan dialognya dengan Abd. Gaffari yang menjadi pemantik polemik, menurut penulis, guyonan mereka tak penting direspons dengan dorongan agar mereka diproses hukum. Sebab, hal ini bukanlah hal yang substansial bagi Annuqayah.

Atas nyinyiran dua orang ini, menurut penulis, tidak akan berpengaruh terhadap harkat dan martabat Annuqayah. "Kebesaran" Annuqayah tidak akan goyah hanya oleh nyinyiran dua orang yang jelas-jelas bukan siapa-siapa ini.

Menurut penulis, buang-buang energi membuat gerakan agar keduanya dipenjara. Pun, jika mau dilihat dari perspektif layaknya orang bertanding, Ieiem dan Abd. Gaffari bukan level tanding Annuqayah. Dua orang ini tidak memiliki pengaruh apa pun atas Annuqayah. Rasanya, mau bicara apa pun dua orang ini, tidak akan mendegradasi Annuqayah dari sisi mana pun.

Jika dua orang ini tetap didorong agar diproses secara hukum, penulis rasa, tindakan inilah yang berpotensi mendegradasi Annuqayah sebagai lembaga pendidikan.

Annuqayah bagi penulis adalah lembaga pendidikan. Karena lembaga pendidikan, orang-orang yang tidak terdidik, tidak berilmu dan perilakunya buruk sudah selayaknya mendapatkan pembinaan berbasis keteladanan, diarahkan agar menjadi orang terdidik, berilmu dan berperilaku baik. 

Ikhwal pendidikan ini, penulis rasa, Annuqayah tidak hanya bertanggungjawab mendidik santri, tapi juga masyarakat. Sebab, seiring berjalannya waktu, Annuqayah sudah menjadi entitas yang bergerak secara kolektif, melibatkan berbagai elemen dalam bagaimana "syiar-dakwah" pendidikan itu dijalankan.

Unsur ke-Annuqayah-an kini, menurut penulis, tak hanya mencakup para keturunan Kiai Syarqawi asal Kudus selaku perintis Annuqayah, tapi juga dimiliki oleh para santri dan alumninya. Semua punya tanggung jawab dalam tugas mulia pendidikan.

Idealnya, pihak-pihak yang masuk dalam unsur ke-Annuqayah-an ini, dapat bersatu-padu menjadikan dan memosisikan Annuqayah sebagai lembaga pendidikan, bukan yang lain.

Menurut penulis, mendorong agar perkara ini diproses sesuai hukum adalah pilihan yang kurang tepat jika harapannya, minimal, Ieien dan Abd. Gaffari tidak mengulangi tindakannya tersebut.

Untuk mengedukasi masyarakat agar tidak berperilaku sebagaimana Ieien dan Abd. Gaffari, menurut penulis, yang efektif itu tidak dengan pemenjaraan, tapi dengan keteladanan sikap yang luhur. Misal, memaafkan mereka yang telah meminta maaf secara bersungguh-sungguh. Keteladanan itu adalah tindakan efektif dalam pendidikan.

Menjadi pemaaf dan legawa itu memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.

Jadi, jika Ieien dan Abd. Gaffari itu sudah meminta maaf, datang langsung ke Annuqayah, taubat dengan taubatan nasuha, berjanji tidak akan mengulangi, penulis rasa, sudah cukup dan mari akhiri polemik ini. InsyaAllah edukasinya atas publik, utamanya bagi yang concern mengikuti hiruk-cakap polemik ini, sempurna sebagai pembelajaran, bahwa nyinyir yang mengarah pada penghinaan, walaupun maksudnya misal, guyon, adalah sikap tidak baik.

Ini pandangan pribadi, tidak mewakili siapa pun. Anda boleh sepakat, boleh tidak. Tulisan ini terbuka untuk didiskusikan.

Salam,

0 Komentar