Fattah-Fikri atau Fauzi-Eva

Fauzi-Eva & Fattah-Fikri
Kita tahu dua pasangan ini; Fattah Yasin-Mohammad Ali Fikri (Fattah-Fikri) dan Ahmad Fauzi-Dewi Khalifah (Fauzi-Eva) dipastikan positif sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Sumenep 2020. Walaupun kedua pasangan ini masih belum mendaftar secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Sumenep.

Fattah-Fikri didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Golkar dan tidak menutup kemungkinan partai lain juga akan merapat dengan kalkulasi politik; PKB di DPRD Kab. Sumenep memiliki 10 kursi, Demokrat 7 kursi,  Fatah dari sisi finansial terlihat gemilang, Fikri dari sisi posisi menguntungkan, keduanya sama-sama "elastis" dalam berpolitik.

Fauzi-Eva didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Amanah Nasional (PAN). Fauzi dari sisi bekal finansial juga terbilang bagus dengan latarnya yang pengusaha dan dukungan penuh Said Abdullah, sedangkan Eva latarnya yang "Bu Nyai" juga memiliki "daya jual" yang cukup signifikan.

Fikri dan Eva sama-sama berlatar priayi, mereka diuntungkan secara alami karena posisinya di tengah masih kuatnya budaya feodal di masyarakat. Keduanya sama-sama memiliki "daya jual" yang signifikan atas masyarakat. Walau, kalkulasinya, andai mau ditakar, secara kuantitas peluang Fikri jauh lebih besar ketimbang Eva. Mengingat, pondok pesantren di mana Fikri tumbuh, jauh lebih besar ketimbang pesantren di mana Eva kini berada. Cuma, Eva itu lebih berpengalaman dalam dunia politik ketimbang Fikri yang hanya sekedar pengurus partai politik tanpa pengalaman sedikit pun di jabatan birokrasi politik. Eva sudah malang-melintang, jatuh-bangun, mentalnya semacam sebelas dua belas dengan Khofifah Indar Parawansah dalam dunia politik.

Latar Fikri dan Eva akan cukup baik jika mendekati masyarakat dengan pendekatan feodal di tengah masyarakat yang pada umumnya memang masih demmen didekati secara feodal. Maksudnya, mereka mudah luluh jika didekati dengan embel-embel kiai, gus, nyai, barokah dan tentu nemplek kepada nama besar leluhurnya. Kekuatan ini akan klop jika berpadu dengan tindakan yang sifatnya "turun" langsung mendekati masyarakat bersama pasangannya masing-masing menggunakan pendekatan "agamis"; hadir ke majelis dikir, selawatan dan hal lain yang sifatnya religius walau para politisi ini lakon sebenarnya misal tidak benar-benar religius.

Hal lain yang tak boleh ketinggalan, saat datang harus membawa "oleh-oleh" sebagaimana tradisi umum orang di Sumenep dalam bertamu dan berharap simpati.

Pendekatan feodal sebagaimana penulis ulas, bisa ditempuh oleh Fattah-Fikri maupun Fauzi-Eva. Keduanya sama-sama "cukup modal" untuk hal itu.

"Oleh-oleh" yang penulis maksud, bukan yang masuk kategori "money politics", tapi hal lain yang tak bisa dikategorisasi sebagai "money politics". Politisi dan tim pemenangan keduanya, tentu sudah tahu bagaimana agar "oleh-oleh" itu dapat dikemas tanpa memenuhi unsur "money politics".

Dalam "oleh-oleh" itu, harapan penulis, juga diisi dengan paparan rencana langkah taktis-strategis dalam mengurai-menyelesaikan problem di Sumenep melalui bahasa yang sangat sederhana, mudah dipahami, dimengerti oleh masyarakat umum dan tentu bila kelak terpilih, mau mengabaikan sikap umum politisi yang hanya bisa berjanji tanpa mau menepati. Konsekuensi pendekatan feodal sebagaimana penulis ulas, politisi dalam mengemas "oleh-oleh"-nya itu saat nanti misal terpilih sebagai pemimpin sebisa mungkin jangan sampai berbohong. Sebab, feodal yang melekat kepada Fikri dan Eva, lebih pada "feodalisme religius" di mana berbohong adalah hal yang tak baik dan bila itu terjadi, marwah sebagai kiai, gus, nyai, dlsb, akan mengalami degradasi. Mereka harus berupaya maksimal dan optimal agar komitmen politiknya kepada rakyat benar-benar dipenuhi.

Fattah secara pribadi paham betul bahwa pangsa pasar masyarakat Sumenep masih terbalut dalam budaya feodal religius. Ia terus mem-"framing" dan/atau "memoles" dirinya sebagai pribadi yang religius. Hal itu ia sinkronkan dengan sebutan "gus" di awal nama panggilan kesehariannya yang biasa dipanggil Acing. Melalui fanpage Facebook, Fattah tampak sekali jika tengah mem-"framing" dirinya dalam balutan feodalisme religius melalui sebutan "Kanca Gus Acing". "Kanca" adalah simbol pertemanan, keakraban, egaliter, pembauran tanpa sekat, dlsb. "Gus" adalah maksud dari feodalisme religius itu sendiri.

Fauzi yang berlatar "merah" dan akhir-akhir ini partainya, PDI-P, dituding sebagai pihak yang berada di balik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) juga "memoles" dirinya agar terlihat religius. Ia pun sadar bahwa feodalisme religius itu akan menjadi salah satu faktor penentu kemenangannya sebagai bupati. Fauzi-Eva harus berupaya optimal agar isu paham Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding berada di balik bergulirnya RUU HIP sebagaimana isu Jakarta, tidak dijadikan komoditas politik di Sumenep. Sebab, bila itu terjadi, akan berakibat tidak menguntungkan pada posisinya. Utamanya isu yang bakal digulirkan di "akar rumput".

Keputusan Fattah dan Fauzi dalam menggaet Fikri dan Eva tentu karena keduanya memiliki "pangsa pasar" yang amat menentukan. Meskipun misal modal finansial kuat, tapi "pasar" berkata lain, maka peluangnya untuk kalah begitu besar. Maka penting bagi keduanya mencermati dinamika "pasar".

Fattah secara pribadi sudah mulai mendemonstrasikan plan-nya melalui Fanpage Facebook bernama "Kanca Gus Acing" bila misal ia terpilih sebagai Bupati Sumenep nanti. Walau, fanpage ini sudah lama tidak update, tapi bagi penulis sangat berarti mengingat plan yang didemonstrasikan Fattah menyangkut kepentingan publik rakyat Sumenep, di mana oleh pemerintah Kab. Sumenep saat ini, di bawah kepemimpinan A. Busyro Kariem dan Ahmad Fauzi (Busyro-Fauzi) adalah hal yang tak mampu dioptimalkan bahkan tak mampu diselesaikan. Cuma, bagi penulis, sebagus apa pun rencana programnya bila tidak ditopang oleh aparatur yang bermental baik, maka rencana program yang bagus itu tidak menutup kemungkinan akan seperti rencana program yang dimiliki Busyro-Fauzi kini.

Atas hal yang didemonstrasikan oleh Fattah melalui Fanpage Facebook "Kanca Gus Acing", secara tak langsung telah "menghantam" Fauzi dalam perannya sebagai Wakil Bupati Kab. Sumenep saat ini. Dalam tulisan lain nanti, akan juga penulis tulis kira-kira apa tantangan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep terpilih nanti.

Pertarungan Fattah-Fikri dan Fauzi-Eva dalam memperebutkan kepemimpinan Sumenep ke depan, tidak menutup kemungkinan akan lahir sosok lain sebagai poros baru, penengah bahkan pemecah suara dukungan bagi keduanya dengan kalkulasi di mana Fattah-Fikri saat ini terlihat lebih kuat ketimbang Fauzi-Eva. Logika ini terlihat ketika Eva sebagai Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Hanura tidak mendapatkan dukungan kelembagaan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Hanura. Fauzi-Eva sampai saat ini masih disokong oleh PDI-I dan PAN.

Peluang poros baru, penengah bahkan pemecah bisa muncul dari sosok yang selama ini sama-sama memiliki "hasrat" untuk menjadi pemimpin Sumenep. Mulai sosok yang bernama Moh. Shalahuddin A. Warits, Muhammad Unais Ali Hisyam, dlsb. 

Atas Moh. Shalahuddin A. Warits, menurut pengamatan penulis, ia terlihat "lebih bersemangat" untuk menjadi pemimpin Sumenep ketimbang Mohammad Ali Fikri yang merupakan saudaranya sendiri di mana keduanya sama-sama "besar" di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

Dalam kalkulasi penulis, rekomendasi PPP sampai saat ini masih "digantung" sebab, dugaan kuat penulis karena Moh. Shalahuddin lebih "berdarah-darah" dalam ber-PPP, utamanya di lokal daerah Sumenep. Publikasi melalui baliho pun bahwa ia bakal maju sebagai calon pemimpin Sumenep, Moh. Shalahuddin jauh lebih masif ketimbang Mohammad Ali Fikri.

Selain itu, dugaan penulis, sebelum Fattah "melamar" Mohammad Ali Fikri untuk mendampinginya sebagai Calon Bupati, ia terlebih dahulu "melamar" Moh. Shalahuddin dengan alasan sebagaimana penulis ulas. Sebab Moh. Shalahuddin kurang "elastis" dalam berpolitik, barangkali ia kukuh dengan pendiriannya sebagai calon bupati, bukan calon wakil bupati, maka "banting setir"-nya Fattah langsung kepada Mohammad Ali Fikri. Atas tindakan Fattah, dalam kalkulasi penulis, ketika Mohammad Ali Fikri jadi pendampingnya, setidaknya akan membuat ewuh atas sosok Moh. Shalahuddin sendiri sebab selain Ali Fikri adalah saudaranya juga menyangkut masa depan pesantren di mana Moh. Shalahuddin dan Ali Fikri tumbuh. Tapi bila keduanya siap atas "warna-warni" yang bakal timbul, berhadapan secara head to head, tentu akan menarik. Jika kedua sosok ini bersatu, Moh. Shalahuddin siap "legowo", kekuatan ini akan sangat cukup memusingkan pasangan Fauzi-Eva.

Ikhwal dinamika partai politik dalam memberikan rekomendasi, mari jangan terlalu serius, tak perlu sambat, ngoceh begini-begitu. Sebab, pola begitu sudah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi di akhir-akhir ini dalam bursa Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep. Gejala itu terjadi secara nasional. Partai yang bergerak berdasarkan ideologi kini sudah tidak umum, yang umum, partai berfungsi tak ubahnya angkot kendaraan.

Siapa pun calonnya dan diusung oleh partai politik mana pun, selama asasnya Pancasila, bagi penulis pribadi, tak ada masalah, karena Pancasila sudah final, tinggal kini bagaimana kita bersatu-padu mewujudkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelan-pelan, mari dorong agar para calon dalam mendekati rakyat tak sekedar menggunakan pendekatan "feodalisme religius", tapi juga dengan rencana program yang terukur dan dapat dilaksanakan oleh mereka. Walaupun yang sadar atas pentingnya melaksanakan  program yang berpihak untuk kepentingan rakyat saat mereka terpilih, di antara kita masih tidak banyak. Yang banyak, mendukung mereka karena faktor barokah dan "oleh-oleh" yang secara praktis berhubungan dengan sandang, pangan bahkan papan. Isu "berbau" feodal, kemiskinan dan pengangguran selalu menjadi isu seksi menjelang musim pemilihan umum berlangsung di Sumenep.

Mengapa rencana program itu penting dikawal? Supaya demokrasi kita pelan-pelan dapat diarahkan menuju demokrasi substansial, bukan sekedar demokrasi ritual yang di dalamnya berisi "transaksi" yang "mengerikan". Selain itu, dalam konstelasi akbar kali ini, demokrasi di mana rakyat menjadi pemilih, biayanya tembus sampai 80,7 Milyar dari sebelumnya yang 60,7 Milyar. Mahal biaya demokrasi kita ini, Kawan. Duit sebesar itu juga tidak benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat dan tidak berpengaruh banyak pada kondisinya yang rata-rata melarat.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Mohammad Ali Fikri dan Moh. Shalahuddin sebagai "putera mahkota" di Guluk-Guluk, tulisan ini ditulis secara standar sesuai kaidah umum tanpa embel-embel gus, kiai, ustaz, dlsb.

Salam,

Ellak-Laok,
22 Juli 2020
Jam 21:26 WIB

0 Komentar