Peradilan Tidak Serius dalam Kasus Novel Baswedan

Kasus penyiraman yang mengakibatkan cacat permanen atas mata kanan Novel sudah berakhir kemarin. Rahmat Kadir Mauletta dihukum 2 tahun penjara sedangkan Ronny Bugis 1 tahun 6 bulan. Keduanya terbukti bersalah melakukan penganiayaan dengan terencana yang mengakibatkan luka berat atas Novel. Rahmat terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sedangkan Roni melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 353 ayat (2) KUHP, ancaman hukuman maksimalnya 7 tahun. Titik tekan pasal ini, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Tindakan Rahmat, terbukti telah menjadikan mata kanan Novel cacat permanen dan tidak berfungsi seumur hidup sedangkan mata kiri Novel mengalami kerusakan sampai 50 persen. Cacat permanen inilah yang dimaksud dalam frase "mengakibatkan luka berat".

Pasal 355 ayat (1) KUHP, titik tekanya adalah penganiayaan berat dengan perencanaan terlebih dahulu, ancaman hukuman maksimalnya 12 tahun penjara.

Pasal pertama yang dijeratkan kepada Rahmat "Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat" sedangkan Pasal kedua yang dijeratkan kepada Roni "Penganiayaan berat dengan rencana". Masing-masing Pasal ini memiliki akibat hukum yang tak sama karena dibangun oleh konstruksi tindak yang tak sama. Untuk dijatuhi hukuman sesuai Pasal ini harus ditopang oleh pembuktian di pengadilan. Sedangkan pembuktian ini diperankan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa. JPU mewakili kepentingan korban, mendakwa terdakwa berdasarkan barang bukti dan alat bukti yang ada sedangkan terdakwa berupaya menyangkal tuntutan dan/atau dakwaan JPU. Barang bukti dan alat bukti adalah hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dari kepolisian.

Putusan hakim atas perkara ini sudah melampaui tuntutan JPU yang hanya menuntut 1 tahun penjara kepada keduanya. Putusan ini tentu akan menjadi yurisprudensi ke depan sebab ini putusan langka karena putusan hakim melampaui tuntutan JPU. Pada umumnya, putusan hakim itu tidak melampaui tuntutan JPU.

Terlepas dalam perkara ini JPU menuntut terpidana dengan tuntutan rendah, putusan hakim sudah melampaui tuntutan JPU masih dianggap menyalai rasa keadilan, bagi saya, ini akan menjadi preferensi kita dalam penegakan hukum ke depan.

Bagi saya, hakim yang menangani perkara ini sudah bertindak "progresif" dalam memutus perkara.

Memang kejanggalan demi kejanggalan dalam penanganan perkara ini terlihat gamblang: Soal cairan air keras yang menurut hasil laboratorium forensik Kepolisian kandungannya seperti air aki tapi faktanya bikin mata Novel rusak; tim hukum para terdakwa dari kepolisian yang berbanding terbalik dengan peraturan Kapolri di mana tim hukum ini bisa bertindak melakukan pembelaan atas anggota Polri jika anggota Polri ini melakukan tindakan atas nama kepolisian sedangkan fakta di pengadilan, terdakwa menyatakan bertindak atas nama pribadi; tidak dihadirkannya saksi kunci dalam persidangan; tidak sesuainya hasil sketsa wajah yang diduga pelaku dengan para terdakwa yang telah diputus bersalah; tudingan tim kuasa hukum terdakwa yang menyatakan rusaknya mata Novel sebab penanganan yang tidak sesuai dan tidak benar, dan banyak lagi deretan keganjilan lain dalam penanganan perkara ini di mana ke depan akan menjadi kajian kita bersama.

Penegakan hukum dalam perkara ini mau dibilang lucu sih, ya, lucu. Terdakwanya anggota Polri, dilidik dan disidik oleh penyidik Polri, dituntut oleh JPU dan saat di persidangan, terdakwa yang merupakan anggota Polri dibela oleh anggota Polri. Bagi saya pribadi di sinilah kelucuannya. Sebab, hakim pun dalam memutus juga akan didasarkan pada alur konstruksi perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ini.

Dalam perkara ini, mari lihat, pelajari dan dalami tak hanya dari perspektif persidangan di pengadilan tapi juga perjalanan penyelidikan, penyidikan yang menjadi wewenang kepolisian. Kemudian berlanjut pada wewenang JPU untuk melakukan penuntutan harus juga didalami sebagai satu kesatuan yang utuh. Yang pasti putusan dalam perkara ini didasarkan atas alat bukti, barang bukti yang dihadirkan di pengadilan. Termasuk pula fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan yang terakhir baru keyakinan hakim.

Penyidik Polri, JPU, hakim dan tim hukum kepolisian yang mendampingi terdakwa dalam bertindak tentu berpijak di atas sumpah sesuai peran dan/atau jabatannya masing-masing. Kita bisa berdialektika dan/atau berdebat soal bagaimana keadilan itu dicapai, tapi dalam konteks bagaimana mencapai keadilan, kita sudah memiliki mekanismenya tersendiri melalui berlakunya sekian peraturan dan perundangan yang ada.

Kita sama-sama tidak tahu atas kebenaran yang sebenar-benarnya. Kebenaran yang tengah kita diskusikan ini terbatas pada kebenaran diskursus yang subjektif. Kebenaran yang objektif akan diketahui setelah peradilan akhirat dijalani. Itulah kemudian, mengapa setiap anggota polri, jaksa, hakim dan advokat disumpah agar bertindak yang benar tiada lain dari yang sebenarnya.

Kita semua berharap, dalam berbangsa dan bernegara ke depan, segera terbebas dari korupsi. Tapi kita juga perlu sadar bahwa melawan korupsi sejatinya juga melawan diri kita sendiri. Adil itu sejatinya memang harus mulai dari diri kita sendiri.

Peradilan atas anggota Polri dalam perkara ini tak lebih dari sekedar parodi. Bagi saya, peradilan ini mempertontonkan kelucuan demi kelucuan oleh anggota Polri yang berpadu dengan JPU. Padahal, adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Kepolisian dan Kejaksaan sudah "mati suri" dalam melakukan pemberantasan korupsi. Penyidik KPK seperti Novel yang mestinya dilindungi, ternyata "ditelanjangi", "dihantam", dibabat habis oleh orang-orang kepolisian dan kejaksaan yang mestinya instrospeksi mengapa Kepolisian dan Kejaksaan tak berdaya dalam melawan korupsi. 

Tapi, ya, sudah lah, mari jangan kehilangan semangat untuk bersama-sama agar penegakan hukum di republik ini benar-benar ditegakkan secara substansial. Bukan rekayasa dan akal-akalan.

Memang, kebaikan itu perlu diperjuangkan,  Kawan.
☺✊

Ellak-Laok
22:40 WIB
18 Juli 2020

0 Komentar