Judul tulisan ini adalah tema diskusi yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 15 Agustus 2020, melalui aplikasi Zoom Meeting. Dilaksanakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah & Hukum (FSH) UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Penulis diminta sebagai pemateri, bersanding dengan Asfinawati, SH; Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta dan Suhadi, S. H., M. Hum; Dosen senior di FSH UINSA.
Dalam diskusi kala itu, penulis tidak maksimal menyimak sejak awal sebab sinyal telekomunikasi di kampung halaman penulis di Sumenep kebetulan tidak baik. Penulis baru tersambung, itu pun hanya suara tanpa video alias tidak bisa tatap muka virtual dengan peserta diskusi lainnya, pada menit-menit terakhir diskusi akan berakhir.
Guna menyempurnakan hal yang ingin penulis sampaikan dalam diskusi yang sudah berlangsung itu, penulis sambung dengan tulisan ini.
Pertama, soal integritas. Integritas itu, dalam pemaknaan penulis, lebih pada komitmen moral atas hal yang diyakini baik dan benar. Dalam konteks hukum di Indonesia, bagi penulis, hukum itu adalah konsensus dan/atau kesepakatan politik berdasarkan alasan-alasan filosofis, sosiologis dan agama-agama yang dianut oleh masyarakat dalam bagaimana kebaikan dan kebenaran itu dicapai. Dalam pemaknaan yang demikian, bila ada yang tidak mematuhi hukum, menurut penulis, itu dapat dikatakan tidak berintegritas.
Kedua, soal profesional. Profesionalisme itu adalah komitmen diri atas kerja-kerja profesi yang minimal, kita harus konsekuen pada tugas pokok dan fungsi profesi yang melekat. Tugas pokok dan fungsi telah distandar oleh peraturan dan perundangan yang ada sebagai out put dari proses politik yang terus dinamis.
Jadi, soal integritas dan profesionalitas ini harus berbanding lurus dalam penerapannya. Utamanya secara spesifik dalam kerja-kerja penegakan hukum di Indonesia.
Sejak reformasi pada tahun 1998, kita dalam berbangsa dan bernegara terus terjadi perubahan yang dalam kalkulasi penulis sudah bisa dikatakan jauh lebih baik ketimbang sebelum tahun 1998. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai produk reformasi, lahir untuk memastikan hak-hak konstitusional dari masing-masing warga negara tidak dilanggar. Selain itu, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Ombudsman sudah menjadi kanal tambahan dalam memastikan kerja-kerja kepolisian, kejaksaan, dan lembaga negara lainnya agar berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tentu, kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi yang sudah ada sejak republik ini merdeka, masih menyisakan banyak hal yang perlu dilakukan perbaikan. Utamanya menyangkut mental aparaturnya yang tidak mudah direformasi.
Jelas memerlukan keterlibatan semua pihak dalam bagaimana hukum di Indonesia dan/atau negara ini berjalan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Partisipasi publik, dalam hal ini Civil Society, harus mulai tumbuh dan berkembang dalam memastikan hukum itu berjalan dan/atau dijalankan sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.
Dalam konteks kinerja abdi negara, selain di masing-masing institusi negara ada pengawas internal, juga sudah ada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang bisa dimaksimalkan guna memantau kerja-kerja aparatur itu agar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pro aktif melaporkan mereka bila menemukan dugaan pelanggaran adalah langkah kongkrit menuju Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat.
Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Kepolisian pun saat ini sudah dipisah. Peran dan fungsinya pun berbeda. Jelas dan terukur. TNI adalah militer yang berfungsi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan kepolisian sudah menjadi sipil yang bertugas melakukan pengayoman dan penegakan hukum di wilayah NKRI.
Jadi, kanal-kanal dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana amanah Pancasila itu kini sudah banyak, tinggal bagaimana kita mau memaksimalkan kanal-kanal itu secara maksimal dan optimal.
Memang, masih banyak problem, utamanya dalam penegakan hukum yang ideal. Cuma, penulis optimis, pelan-pelan, penegakan hukum yang ideal itu akan dicapai. Tentu, salah satunya, bila kita mau bersama-sama mengoptimalkan diri untuk urun angan, turun tangan dan berbuat kongkret dalam bagaimana penegakan hukum di Indonesia ini berjalan ideal sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Toh misal jika kita menganggap peraturan yang berlaku ini sudah tidak kontekstual, kanal-kanal untuk mengoreksi peraturan itu sudah ada tinggal bagaimana kita mau dan memaksimalkannya. Termasuk juga kanal guna mengubah melalui jalur-jalur politik.
Salam,
Ellak-Laok,
27 Agustus 2020
Jam 14:55 WIB
0 Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...