Pentingnya Edukasi Politik

Radar Madura (13/9/20)

Sabtu lalu (5/9), di KancaKona Kopi Sumenep, dalam sebuah diskusi bertajuk "Rethingking Politik Lokal Madura", Abdul Gaffar Karim; Dosen Fisipol UGM Yogyakarta, mempresentasikan bukunya yang berjudul "Menegosiasi Ulang Indonesia; Perubahan Politik dan Lembaga Agama di Manado dan Sumenep dalam Era Awal Reformasi (1999-2005)".

Buku ini adalah disertasi beliau yang mulanya di Australia tapi karena sampai batas akhir beasiswanya habis disertasi ini tidak kelar, akhirnya diprogram dan dituntaskan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. 

Memulai diskusi, Abdul Gaffar memperteguh anggapan orang yang masih belum umum bahwa orang Sumenep itu adalah orang terpelajar dan/atau memiliki tradisi literasi yang baik. Ia kemudian menyebutkan tokoh-tokoh yang berasal dari Sumenep, yang istikamah (concern) dalam dunia literasi.

Sekilas, berdasarkan penjelasan Abdul Gaffar, buku yang ditulisnya ini bermula dari diskusi kemudian riset atas kondisi sosio-politik Madura di antara tahun 2000-2004, di mana representasi politik santri mulai terorganisir, menggeser kekuatan politik yang sebelumnya terkendali oleh Golkar dan kekuatan tentara.

Menurutnya, menggeliatnya politik santri di Sumenep mulai tampak dan terlihat kongkret sejak terpilihnya Ramdlan Siradj sebagai bupati. Kini, selama dua periode berturut-turut Busyro Karim yang bisa disebut sebagai representasi politik santri, juga menjadi bupati.

Dulu, menggeliatnya spirit politik santri di Sumenep, prinsipnya sama dengan alasan umum di balik runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 yang ditandai dengan turunnya Soeharto sebagai Presiden. Apa itu? Supaya otoritarianisme yang melanggengkan oligarki tidak terus menjadi-jadi.

Setelah politik santri ini menguat, jabatan politik mulai dikendalikan oleh representasi kaum santri, ternyata otoritarianisme yang dulu dikritik habis saat meruntuhkan Orde Baru, tetap kuat, malah semakin menguat dalam mengukuhkan kepentingan oligarki. Sejatinya, hanya ganti pemain. Problem klasik, dalam konteks Good Governance, di Sumenep, walaupun sudah empat periode berturut-turut jabatan politik dipegang oleh representasi politik santri, masih buruk, bahkan sangat buruk. Dalam istilahnya Abdul Gaffar, Clean Goverment di Sumenep saat ini, masih nomor sekian dari belakang.

Toriqul Haq, Bupati Lumajang, dijadikan role modele pemimpin oleh Abdul Gaffar sebagai representasi politik santri. Menurutnya, dari yang saya tangkap, "Sumenep membutuhkan pemimpin seperti Cak Toriq".

Pemerintahan Sumenep dalam pengamatan saya, walaupun selama empat periode dipimpin oleh bupati yang merepresentasikan keberhasilan politik santri, masih tak bisa lepas dari pola-pola otoriter yang melanggengkan oligarki walaupun tidak militeristis sebagaimana zaman Orde Baru.

Bagaimana otoritarianisme yang melanggengkan oligarki ini tidak terus menjadi-jadi? Kira-kira jawabannya, mengutip penjelasan Abdul Gaffar, anak muda harus ambil peran dan jangan bercita-cita kaya dalam menjadi bupati.

Untuk sedikit mengurai hal di atas, menurut saya, kerja-kerja politik harus didasarkan di atas ide dan/atau gagasan dengan meminimalisir biaya politik yang kini masih sangat mahal itu. Bila bisa, target idealnya, biaya politik ini benar-benar nol rupiah supaya saat terpilih sebagai bupati para calon ini bisa fokus dalam membuat program yang memihak kepada rakyat.

Biaya politik mahal menjadi "karpet merah" dalam melanggengkan otoritarianisme gaya baru yang memihak kepada oligarki. Kekuatan oligarki inilah yang rata-rata hadir sebagai sponsor modal dalam membiayai kerja-kerja politik praktis menuju pemenangan.

Guna menekan supaya biaya politik tidak mahal, maka sudah menjadi tugas kaum intelektual dan/atau akademisi untuk terus menyuarakan guna membangun kesadaran kolektif agar pemilih dalam memilih pemimpinnya harus mempertimbangkan rencana program yang terukur dan rekam jejak (track record) para calon yang muncul.

Suara dan gerakan kaum intelektual dalam melakukan edukasi politik yang bermartabat guna membangun kesadaran kolektif, jika ajek, pelan tapi pasti akan menggeser praktik politik uang (money politic) yang kini tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam dinamika politik praktis.

Cuma, rasanya saat ini kita masih belum bisa melepaskan diri dari pengaruh politik uang. Alasannya; Pertama, sebab kesejahteraan. Kedua, sebab pendidikan politik yang minim.

Banyak warga Sumenep yang masih belum sejahtera. Banyak di antaranya yang masih bersusah-payah guna mewujudkan kesejahteraan atas diri dan keluarganya. Ketidaksejahteraan ini menjadi salah satu faktor dasar mengapa di antaranya tidak memiliki kesadaran politik yang ideal. Mereka terus larut dalam logika politik yang parsial di mana stiker dan bingkisan politisi menjadi tolak ukur umum dalam setiap kali pemilu datang. Sudah menjadi umum, kerja-kerja politisi selama ini dalam memberikan pendidikan politik masih minim. Pada umumnya, di antara mereka hanya datang dengan stiker dan bingkisan saat momentum pemilu. Politisi selama ini, nyaris tidak pernah bergerak dalam kerja-kerja pendidikan politik atas rakyat. Mereka ini rata-rata dalam mendekati rakyat, yang utama tidak dengan gagasan, tapi dengan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya masuk dalam kategori politik uang.

Intelektual dan/atau akademisi pun, meminjam istilah Antonio Gramsci (Filsuf Italia), kebanyakan di antaranya memilih sebagai psudo intellectualism;  Mereka menjadi konsultan politik berbiaya mahal, memoles calon politik  supaya dipilih berdasarkan citra yang sebenarnya bohong dan tak bisa diwujudkan saat terpilih.

Agar demokrasi kita ke depan tidak terus berputar dalam demokrasi prosedural yang jelas-jelas memakan biaya mahal ini, maka sudah saatnya, kerja-kerja intelektual dan/atau akademisi bersama dengan politisi, memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar dalam menentukan pemimpinnya didasarkan atas dedikasi dan rencana program yang terukur dan mampu dilaksanakan. Bukan lagi-lagi sekedar datang dengan stiker dan bingkisan.

Memang berat dan tak mudah, tapi jika kita konsisten bersuara dan melakukan tindakan-tindakan yang terukur dalam hal edukasi politik, biaya politik yang kerap dijadikan momentum oleh segelintir orang dalam melanggengkan oligarki, pelan-pelan dapat kita hilangkan. 

Saya rasa, jihad melalui politik itu mulia karena beratnya tantangan yang bakal dihadapi. Ide-ide dalam menjadikan masyarakat Indonesia Pancasilais sangat mungkin dicapai bila kita konsisten berada di jalur dan kerja-kerja politik yang bermartabat.

Mari mulai agar masyarakat Sumenep melek politik.

________________

Tulisan ini diterbitkan oleh Jawa Pos Radar Madura, di kolom esai edisi Minggu, 13 September 2020.


0 Komentar