Akibat Hukum Menikah Lagi Tanpa Persetujuan Istri

Menikah lagi itu memang boleh dan lebih baik daripada pacaran dengan perempuan lain. Cuma, mari dudukkan perkara ini secara proporsional.

Ada seorang kiai, semangatnya berapi-api, menjelaskan bahwa menikah lagi bagi seorang laki-laki beristri itu lebih baik daripada pacaran dan bagi siapa pun, utamanya istri dari laki-laki tersebut, dilarang dan/atau jangan menghalang-halangi maksud suaminya untuk menikah lagi sebab katanya bertentangan dengan syariat.

Sebagai mustamik dan/atau penyimak, saya berpikir, bila pendapat tersebut "ditelan" bulat-bulat, tanpa filter ilmu pengetahuan yang memadai, akan melahirkan pemahaman bahwa menikah lagi itu jauh lebih baik dari pacaran dan istrinya tidak diperkenankan untuk menghalang-halangi maksud suaminya tersebut. 

Sebagai laki-laki normal yang secara fisiologis sama dengan laki-laki normal pada umumnya, di mana selalu memiliki ketertarikan kepada cantik-jelitanya perempuan, saya pun tak mau mengelak bahwa hasrat dalam relasi laki-laki dan perempuan, selalu menjadi hal utama atas laki-laki.

Maksudnya, laki-laki menikah lagi itu pada umumnya karena perempuan yang bakal dinikahi lagi tersebut menurut selera hasratnya jauh lebih cantik dan sip ketimbang istri sebelumnya. Ini fakta umum yang sulit ditepis oleh laki-laki mana pun.

Laki-laki menikahi perempuan tanpa landasan tersebut ada tapi jarang dan mereka mungkin sufi.

Menikah lagi bagi laki-laki, secara syariat dan hukum yang berlaku di Indonesia diperbolehkan. Cuma, ada adabnya. Ada hal-hal yang harus dilalui dan bila tidak dilalui akan berakibat tidak sah dan/atau batalnya pernikahan tersebut.

Banyak laki-laki, bahkan dari golongan kiai sekalipun, melaksanakan praktik atau mendukung praktik nikah lagi bagi seorang laki-laki tanpa melalui hal-hal yang diatur oleh hukum, yang secara nyata melawan hukum.

Menikah lagi jauh lebih baik dari berpacaran itu memang benar. Cuma, melarang istri menghalang-halangi, mengevaluasi, mendebat suaminya mengenai rencana menikah lagi tersebut, bagi saya justru melanggengkan paham patriarki yang menjadikan perempuan nomor dua setelah laki-laki, menjadikan perempuan sebagai objek, menjadikan perempuan inferior dan laki-laki superior.

Ulama' dan umaro' di Indonesia, sudah melaksanakan konsensus, yang pada pokoknya menjadikan posisi laki-laki dan perempuan dari sisi harkat, martabat dan kehormatannya setara; Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, di hadapan hukum dan lebih-lebih di hadapan Allah.

Bila ada orang, utamanya laki-laki, bahkan orang yang dipanggil kiai sekalipun, jika sikap dan isi pikirannya masih patriarkis, masih menjadikan perempuan sebagai objek, masih menempatkan posisi perempuan nomor dua setelah laki-laki, masih menjadikan laki-laki superior dan perempuan inferior, itu artinya, orang tersebut tidak upgrade atas konsensus ulama' dan umaro' di Indonesia.

Konsensus ulama' dan umaro' di Indonesia, salah satunya, termanifestasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dua produk hukum hasil ijtihad ulama' dan umaro' ini dalam urusan pernikahan dan yang melingkupinya, untuk umat Islam di Indonesia, sudah dijadikan landasan dasar.

Menikah lagi bagi seorang laki-laki yang telah beristri, memang boleh. Maksimal sampai 4 orang perempuan. Cuma, berdasarkan  ketentuan Pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang laki-laki tersebut harus mampu berlaku adil bagi istri dan anak-anaknya.

Selain itu, berdasarkan Pasal 56 ayat (1) KHI, seorang laki-laki yang telah beristri, yang ingin menikah lagi, juga harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Sedangkan syarat untuk mendapatkan izin menikah lagi dari Pengadilan Agama, sesuai ketentuan Pasal 57 huruf a, b dan c KHI ialah: Sebab istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai  istri; Sebab istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan sebab istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Jika istri masih mampu memenuhi sesuai ketentuan Pasal 57 huruf a, b dan c KHI, maka tidak ada alasan bagi seorang laki-laki untuk menikah lagi.

Guna menguji ketentuan sebagaimana Pasal 57 huruf a, b dan c KHI, seorang laki-laki yang telah beristri tersebut harus membuktikannya di hadapan Pengadilan Agama pada saat memohon ijin untuk menikah lagi. Dalam pembuktian tersebut, tentu harus sesuai dengan hukum pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia. 

Alasan yang mengada-ada dan bila tidak bisa dibuktikan secara hukum, dapat mengakibatkan permohonan ijin menikah lagi ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa dan/atau menangani permohonan tersebut.

Selain itu, syarat mutlak yang harus didapat bagi seorang laki-laki beristri dan ingin menikah lagi ialah, sesuai ketentuan Pasal 58 huruf a dan b KHI, laki-laki tersebut harus mendapatkan persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami tersebut mampu menjamin keperluan hidup atas istri-istri dan anak-anak mereka.

Simpelnya adalah, jika ada laki-laki beristri yang menikah lagi tanpa mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama, tanpa mendapatkan ijin dari istri-istrinya, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dipastikan tidak sah.

KHI dan UU Perkawinan hadir untuk menjamin dan memastikan hak-hak setiap warga negara terlaksana dengan baik tanpa membeda-bedakan gender dan/atau jenis kelaminnya.

KHI dan UU Perkawinan mengandung nilai dan prinsip persamaan dan/atau kesetaraan gender, persamaan hak, harkat dan martabat sesama warga negara di Indonesia, sesama umat Islam di Indonesia.

Jika ingin menikah lagi, lalui dengan cara tidak melawan hukum. Berunding dan/atau bermusyawarahlah sampai deal dengan istri-istri yang ada agar mereka setuju dan mengeluarkan rekomendasi. Jangan ikuti pendapat, meskipun hal itu dari kiai sekalipun, jika menikah lagi itu tanpa melalui ketentuan sebagaimana ditentukan di dalam KHI dan UU Perkawinan.

Sejatinya, di dalam hukum, tidak ada istilah nikah siri. Nikah siri adalah produk budaya dan pada umumnya hanya untuk membungkus kepentingan hasrat dan mengabaikan tanggung jawab di luar urusan hasrat.

Jika terjadi nikah siri, pasangan sah, baik istri maupun suami, dapat memperkarakan pasangannya dengan membuat laporan ke Polisi dalam dugaan pasal perzinaan sebagaimana ketentuan Pasal 248 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dengan Pasal 279 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Perkawinan. Pasal 248 KUHP ancaman hukuman maksimalnya 9 bulan. Sedangkan Pasal 279 KUHP ancaman maksimalnya 5 tahun penjara.

Laki-laki beristri yang menikah lagi tanpa persetujuan istri sahnya dapat digugat dan diperkarakan karena hal tersebut jelas-jelas melawan hukum.

Sebagai Muslim Indonesia yang baik, mari, "Atiullah, atiiurrosul, waulilamri mingkum"; Taatlah kepada Allah, kepada Utusan Allah dan Kepada aturan hukum yang dibuat oleh pemimpin dan/atau pemerintah yang sah. Sebab, aturan itu hadir sejatinya untuk menyelamatkan manusia, menyelamatkan setiap warga negara.

Bagi laki-laki yang sudah punya istri, jika ingin menikah lagi, laluilah secara baik dan benar sesuai ketentuan hukum. Ke-gantle-an seorang suami yang ingin menikah lagi, diukur dari seberapa pandai ia meyakinkan istri-istrinya untuk mengeluarkan rekomendasi, mengizinkan suaminya untuk menikah lagi.

Allahu A'lam....

0 Komentar