Manusia hidup tidak lepas dari hutang. Kali ini, saya akan mengupas hutang-piutang yang berbasis korporasi. Dalam hal ini, bank. Tentu tujuannya untuk mengedukasi pembaca agar mewaspadai "tipuan-tipuan" halus yang banyak orang terperdaya.
Ini kisah nyata. Saat ini klien saya. Tapi identitasnya tidak saya publikasi untuk privasi dan keamanan dirinya.
Klien saya ini berjenis kelamin perempuan. Orang Madura. Ia ditinggal mati suaminya dengan dua orang anak yang masih belum dewasa. Dulu saat masih bersama suaminya ia jaya. Usahanya berjalan normal, berjalan lancar.
Di saat usahanya normal, berjalan lancar, ternyata "dilirik" oleh marketing per-bank-an. Ia dan suaminya akhirnya larut dalam "dekapan" hutang di bank.
Marketing dan sistem lainnya di bank, berjalan dan/atau dijalankan secara sistemis. Ada target minimal, ada goal yang harus dicapai.
Dulu saat masih jaya, menurut pengakuan klien saya, uang yang ia kendalikan bersama suami dalam setiap harinya bisa mencapai Rp 100 ke 150 juta rupiah. Toko bangunan, peternakan ayam petelur, ayam pedaging, penggemukan bebek dan distribusi pupuk adalah usaha yang dijalankan.
Kala itu, menurut pengakuan klien saya, klien saya tidak butuh "dana segar" dari bank, tapi marketing bank dengan segala jenis bujuk rayunya, terus datang ke rumahnya, menawarkan kredit dengan salah satu bahasa yang digunakan, "ayo buk, kasihani saya. Karena ini menyangkut hidup saya".
Atas bahasa itu, klien saya terenyuh, merasa kasihan. Saya memahami. Sebab, marketing memang memiliki target yang harus dicapai. Mereka rata-rata melakukan berbagai macam cara agar sesuai target yang telah ditetapkan oleh bank secara sistemis.
Kala itu, akhirnya klien saya pinjam ke bank sebesar Rp 150 juta atas dasar kasihan pada marketing bank yang terus datang ke rumahnya. Bahkan, menurut penuturan klien saya, marketing ini sampai tidur-tidur di rumah klien saya ini. Ini berlangsung pada awal-awal tahun 2016.
2018, hutang sudah mendekati lunas. Hutang ini, cicilan bulanannya sekitar Rp 5 juta 500 ribu lebih sedikit.
2018, didekati lagi oleh marketing bank supaya hutangnya ditambahi. Oleh orang Bank ditawari Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga bank 1%. Akhirnya pinjam dengan nilai pinjaman sebesar Rp 110 juta. Cicilan bulanannya Rp 1 juta 380 ribu.
Hutang 2016 bunga pinjaman sebagaimana umumnya. Hutang 2018, berdasarkan penjelasan petugas bank di awal berhutang kepada klien saya, karena KUR, cuma 1%.
2019 Covid masuk, usaha bangkrut, suami meninggal dunia. Efeknya, cicilan macet.
Sejak cicilan macet, orang bank yang awalnya ramah, baik dan bersikap "manis", kemudian berbanding terbalik. Simpelnya, berubah menjadi menyeramkan.
Klien saya ini walaupun dalam situasi seperti itu, terus di-pressing, terus didesak supaya cicilan hutangnya terbayar sebagaimana sirkulasi sistem di bank. Sistem bank melalui tukang tagihnya semacam tidak mau tahu, utamanya atas alasan suami meninggal maupun usaha klien saya ini bangkrut.
Akhirnya, jaminan pinjaman berupa tanah yang ada bangunan rumah dan tokonya, di awal 2022, dilelang oleh bank melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pamekasan.
Jaminan berupa tanah dan bangunan ini, dulu saat masih jaya, saat suaminya masih hidup, pernah ditawar oleh pengusaha tembakau asal Malang, Jawa Timur, seharga 1,8 milyar.
Setelah saya telaah, ada dugaan pemalsuan dokumen. Utamanya dalam tahapan teknis administratif menuju pelelangan barang jaminan. Saat ini saya masih koordinasi dengan kantor pusat bank terkait dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta.
Aset sampai saat ini masih di bawah penguasaan klien saya walaupun secara formal telah dibeli oleh orang lain melalui pelelangan KPKNL Pamekasan.
Perkara ini insyAllah akan terus bergulir sampai klien saya mendapatkan keadilan. Setidaknya atas perlakuan-perlakuan pihak bank yang kita nilai tidak fair dan kita duga terjadi mal administrasi dalam konteks eksekusi barang jaminan.
Bagi pembaca, hati-hati bila berurusan dengan bank. Bank itu berjalan berdasarkan sistem. Setidaknya, ada marketing-nya yang bicaranya "manis" guna menggaet nasabah dan memiliki tukang tagih yang kerap garang dan ganas.
Nasabah adalah “bahan bakar” dalam memastikan mesin perputaran uang berjalan sesuai mekanisme bank. Mereka hidup dari perputaran uang itu yang “bahan bakar”-nya adalah nasabah. Jika kredit macet, jaminan berpeluang dieksekusi sebagaimana mekanisme bank yang cenderung sepihak itu.
Kecuali, calon nasabah bisa "bermain" dengan orang bank yang simpelnya seperti, hutang Rp 300 juta, tapi nilai jaminan sejatinya cuma Rp 30 juta. Macet kredit dengan nilai jaminan cuma segitu, ya, nasabah bisa untung secara materiel dengan tidak membayar hutang. Tapi, nasabah harus mempersiapkan psikisnya, karena tukang tagih dari bank akan terus membombardir agar hutang nasabah dibayar.
Konsekuensi lainnya, akan terjadi "notis merah" di semua per-bank-an atas nasabah tersebut. Simpelnya, sudah tidak bisa berhutang lagi di semua bank.
Tukang tagih itu punya target. Ia digaji, dihidupi berdasarkan target dan terus ditekan agar mencapai target oleh sistem melalui atasannya.
Selamat berakir pekan, sobat. Semoga catatan ini menambah pengetahuan agar waspada bila mau berurusan dengan hutang di bank.
0 Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...