Diskon Hukuman

Terhitung sejak 2022 silam, saya dimintai tolong oleh seorang ibu, inisial M, yang usianya mulai senja, untuk mengadvokasi anaknya yang ditangkap polisi karena menguasai narkoba. Anak ini, inisial D.

Ayah D sudah meninggal dunia. Ia dirawat, dibesarkan dan diasuh seorang diri oleh M.

Akibat pergaulan D dan keterbatasan M selaku orangtua tunggal dalam mengasuh, D ini terjerumus ke "dunia gelap" bernama narkoba.


Di awal saya dimintai tolong untuk mengadvokasi D, saya meminta kepada M untuk dipertemukan langsung dengan D. Kala itu, D sudah menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Sumenep di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 2B Sumenep.

Dalam pertemuan itu, saya utarakan kepada D bahwa saya siap mengadvokasi asalkan ia mau komitmen untuk tobat, untuk tidak menyelami lagi dunia narkoba. D menyanggupi.

Setelah saya telaah, waktu dilakukan penyidikan, D ternyata tidak didampingi oleh Penasihat Hukum (PH). Padahal, ia dijerat dengan pasal yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Secara hukum, D ini wajib didampingi oleh PH. Baik PH yang disediakan oleh penyidik karena ketidakmampuan D dalam menghadirkan PH, maupun PH yang dihadirkan sendiri oleh D secara mandiri. Adalah kewajiban penyidik menghadirkan PH jika D tidak mampu menghadirkan PH secara mandiri.

Perkara ini kemudian masuk ke Pengadilan Negeri (PN) Sumenep untuk disidangkan.

Selama proses persidangan, saya advokasi D ini supaya dilepas karena tuntutan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dibangun di atas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menurut saya tidak sah. Tidak sahnya, ya, karena D ini tidak didampingi PH. Sedangkan adanya PH itu adalah ketentuan hukum yang mesti ditaati oleh siapa pun.

Dalam perkara pokoknya, dalam konteks penguasaan D atas narkoba, sejak awal tidak terlalu saya bahas karena D ini memang menguasai narkoba. Secara hukum ia memang jelas salah. Cuma, dalam menyatakan D bersalah, harus dilalui oleh prosedur hukum yang juga tidak boleh salah. D selama proses pemeriksaan di penyidikan tanpa adanya PH, menurut saya salah.

Pada proses pembuktian, saya hanya mampu menghadirkan saksi fakta. Saksi fakta ini pernah datang menemui PH yang ditunjuk oleh penyidik di rumahnya. PH yang ditunjuk oleh penyidik memberikan penjelasan kepada saksi fakta yang saya hadirkan ini, bahwa ia memang tidak pernah melakukan pendampingan hukum kepada D secara langsung. D juga menjelaskan bahwa ia memang tidak pernah bertemu langsung PH yang ditunjuk oleh penyidik ini.

Berdasarkan keterangan saksi fakta yang saya hadirkan di persidangan perkara ini, PH yang ditunjuk oleh penyidik memberi keterangan bahwa ia hanya menandatangani BAP tanpa melakukan pendampingan langsung pada saat pemeriksaan.

Proses hukum terus bergulir sampai kemudian advokasi guna membuktikan apakah D ini betul-betul tidak didampingi oleh PH pada waktu penyidikan, kandas sebab saya dianggap tidak berhasil menghadirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Hakim mengesampingkan upaya pembuktian yang saya tempuh sebab menurut hakim saya hanya mampu menghadirkan satu alat bukti berupa saksi fakta itu tanpa ditopang oleh alat bukti lain. Walaupun saya berargumen, BAP dan keterangan D di persidangan sudah menyempurnakan kesaksian saksi fakta tersebut. Untuk menghadirkan ahli hukum pidana ke persidangan, D dan M jelas tidak memiliki kemampuan. Andai ahli hukum pidana dapat dihadirkan, insyaAllah, 2 alat bukti sebagaimana Pasal 183 KUHAP, terpenuhi. Jika terpenuhi, saya optimis D bisa lepas dari jerat hukum.

Akhirnya, D ini diputus bersalah karena menguasai narkoba. Dijatuhi hukuman penjara 5 tahun 6 bulan dan denda sebesar 1 milyar 200 juta rupiah.

Atas putusan pengadilan ini, saya melakukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. PT Surabaya menguatkan putusan PN Sumenep. Tak berhenti di situ, saya melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Nah, putusan MA ini memperbaiki putusan PN dan PT. D dihukum 2 tahun 6 bulan dan dendanya diturunkan menjadi 800 juta rupiah.

D sudah pasti hanya bisa menjalani hukuman tanpa bisa membayar denda. Jangankan 800 juta rupiah, 1 juta rupiah saja berat bagi D karena untuk hidup saja susah.

Potongan sampai 3 tahun itu bagi saya benar-benar anugerah. Sebab, sejak awal, saya menduga kuat D ini memang ditarget dan/atau ditumbalkan.

Selain soal D yang tidak didampingi PH waktu dilakukan penyidikan, juga dalam kasus ini terkesan terjadi pembiaran atas pihak lain yang diduga terlibat. Mulai soal C dan B yang menyuruh D untuk membeli narkoba kepada De di Bragung, Guluk-Guluk, yang sejak awal  memang direncanakan akan digunakan bersama oleh C, B dan D di rumah C, sampai soal pembiaran atas De yang menyediakan dan/atau menjual narkoba jenis sabu-sabu seharga 200 ribu rupiah kepada D.

Penangkapan, berdasarkan penjelasan D, berlangsung di depan rumah C di Gunggung, Sumenep. D ini bersama B. Anehnya, cuma D yang ditangkap sedangkan B disuruh dan/atau dibiarkan pergi. Narkoba waktu itu, berada di antara D dan B. Kemudian oleh polisi, dipaksa dan/atau dikondisikan di bawah penguasaan D.

C, B, D dan De adalah pihak yang terkait dalam mata rantai  penguasaan narkoba oleh D.

C, B dan De, yang mestinya juga diproses, atau setidak-tidaknya dimintai keterangan oleh Satresnarkoba Polres Sumenep selaku pihak yang memproses perkara ini, ternyata tidak diproses dan/atau tidak dimintai keterangan. Padahal, D telah menjelaskan kepada petugas tersebut terkait keterlibatan C, B dan De. Baik kepada petugas yang melakukan penangkapan maupun kepada yang melakukan penyidikan.

Selain itu, D juga telah menjelaskan kepada petugas, bahwa narkoba yang dikuasainya, dibeli dari De di Bragung atas pemintaan C dan B. Uang sebesar 200rb untuk membeli narkoba tersebut, adalah uang B. Inisiatif untuk membeli narkoba adalah inisiatif B dan C. Bukan inisiatif D sendiri.

D disuruh C dan B untuk membeli narkoba kepada De. Imbalannya, D akan diajak untuk mengonsumsi narkoba tersebut oleh C dan B.

D kenal B, dikenalkan C. Sebelumnya-sebelumnya memang, C sering mengajak D untuk mengonsumsi narkoba secara bersama-sama. C ini adalah anggota kepolisian yang waktu itu berada di bawah naungan salah satu sektor di bawah kepolisian Resort Sumenep.

D salah dan itu sudah diakui. Cuma, ketika proses hukum terhadap D dilalui dengan cara tidak benar dan pihak-pihak lain yang diduga terlibat tidak diproses, maka selain D melalui saya berikhtiar dengan jalur-jalur yang benar, D juga berdoa guna mengetuk pintu langit.

Saya yakin, majelis hakim di tingkat kasasi yang memperbaiki putusan PN dan PT,  selain pertimbangannya karena ada Memori Kasasi yang saya ajukan dan Kontra Memori Kasasi yang diajukan JPU, juga hatinya pasti terketuk dalam memberi rasa keadilan kepada D.

Dalam perkara ini, saya hanya diberi uang transport sekedarnya tanpa adanya fee. Saya berkenan sebab panggilan hati setelah mengetahui kondisi M.

Atensi kepada kepolisian, utamanya Kepolisian Resort Sumenep, agar pihak lain, utamanya C, ditindaklanjuti. Sebab, hukum itu untuk semua, tidak hanya untuk D.

Salam,


0 Komentar