Sekelumit Perjalanan Saya Dalam Panitia Oscaar
Sebagai orang
yang memiliki ketersambungan emosional dengan segenap aktivis pergerakan di
lingkup UIN Sunan Ampel, oleh sebagian kader, utamanya kader yang paling muda,
saya kerap dicurhati problematika oscaar yang membelit. Oscaar di sini:
Orientasi Cinta Akademik dan Almamater.
Tulisan ini
bersifat kasuistik dan tentatif, hanya untuk kalangan internal di kampus UIN
Sunan Ampel.
Saya mengenali
Oscaar sejak masuk IAIN Sunan Ampel pada tahun 2008 silam. Perkenalan ini
mengantarkan saya untuk mengetahui lebih jauh dan dalam atas “pernak-pernik”
Oscaar itu sendiri. Saat saya mulai mengetahui “pernak-pernik” Oscaar, dalam
diri ini terus berkecamuk, berfikir keras, bagaimana saya mampu memposisikan
diri kemudian melakukan pembenahan struktural maupun kultural atas dinamika
Oscaar yang menurut saya ketika itu, harus dibenahi. Kata dan tindakan yang
tidak efesien dan nyampah, harus
diganti oleh program agenda yang sifatnya mendidik, mempengantari dalam
pengasahan skil mahasiswa baru, dan
menumbuhkembangkan kecintaan mereka kepada almamater IAIN Sunan Ampel.
2009 saya masuk
dalam struktur panitia. Kala itu diminta sebagai anggota di bidang scurity. Jiwa saya menolak, apalagi saya
tak bisa melawak, tampil seolah-olah, memerankan diri sebagai sosok
antagonistik dalam kepanitiaan itu sangat tidak mungkin. Bagi saya, kemarahan
yang dibuat-buat, itu adalah lelucon yang hanya layak ditertawai. Hal itu
menjadi klop tatkala tampilan harian saya memang kerap cengegesan. Akhirnya,
oleh sahabat Abdussalam (Al), Ketua Rayon PMII Syariah kala itu, yang memang memiliki
wewenang untuk merotasi kepanitian, saya dipindah ke protokoler, dipegangi
kamera vidio untuk mengabadikan serangkaian acara. Dokumentasi itu, nanti saya apload ke youtube. Melalui vidio ini,
sahabat pergerakan akan tahu, bahwa Zainuddin (Jay), yang saat ini sebagai
Ketua Pengurus Kordinator Cabang (PKC), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Jawa Timur, dan kala itu sebagai anggota Oscaar, tidak hafal teks
Pancasila. Hehe
2010 saya
dipilih sebagai ketua Oscaar Fakultas Syariah. Nah, dalam posisi ini, kegelisahan saya mengenai dinamika Oscaar,
memiliki peluang yang besar untuk melakukan pembenahan. Pertama, untuk menumbuhkembangkan minat baca dan menulis, mahasiswa
baru diwajibkan meresensi buku: “Agama
dan Kekerasan Dalam Transisi Demokrasi di Indonesia.”, Ditulis oleh Haqqul
Yaqin asal Genggong Probolinggo. buku ini bebas didapat oleh mahasiswa dari
toko buku mana pun. Memang kami mendapatkan laba dan penerbit buku ini, Cuma,
bukan laba ini poin intinya resensi buku itu dihelat, tapi bagaimana mahasiswa
bisa digiring menjadi pembaca dan penulis yang baik. Juri resensi adalah mereka
yang telah teruji sebagai resensor buku. Lima peserta terbaik, dipanel dalam diskusi
buku tersebut. Kedua, bidang scurity, dari segi jumlah, saya kurangi
hampir sampai 50% dari jumlah rata-rata sebelumnya. Selain itu, anggaran bidang
ini yang paling membengkak dari anggaran lainnya, juga saya potong sampai
sekitar 50%. Nah, yang terpenting, sudah sejak awal saya wanti-wanti, baik di
rapat antar kordinator panitia maupun rapat kolektif dengan semua panitia,
bahwa tindakan tidak efesien dan nyampah itu
sudah harus dikubur dalam-dalam. Seperti misuh, berucap kata-kata kotor, dan
tindakan plonco yang telah lumrah terjadi sebelum-sebelumnya itu. Tapi, karena
hal itu sudah tertanam dalam di benak panitia sejak ia sebagai peserta Oscaar,
maka bidang scurity tetap tampil
sebagaimana lumrahnya. Ampun. Ketiga,
penutupan Oscaar yang awalnya di dalam kelas sambil makan tumpeng secara tidak
teratur dan saling lempar, maka penutupan Oscaar kala itu, dilaksanakan di luar
kelas secara lebih meriah dan teratur. Keempat,
tradisi lempar-melempar ke dalam got comberan fakultas, memang sudah saya
wanti-wanti untuk tidak kembali terulang. Kala itu saya sampai meminta Dekan
Fakultas, Prof. Dr. Faishol Haq, M. Ag., untuk turut mengeluarkan ataran agar
lempar-melempar itu tidak kembali terulang. Cuma, lagi-lagi, karena lempar
melempar itu telah tertanam dalam sejak sebelum-sebelumnya, maka kebiasaan itu
masih saja tidak bisa dibendung. Kelima,
dengan tegas kami tidak menjual atribut Oscaar. Peserta Oscaar disarankan
kreatif untuk membuat atributnya sendiri. Tapi kala itu kami tidak melarang
PMII menjual atribut Oscaar dengan catatan, tidak membuka stand di dalam kampus. akhirnya PMII dalam menjual atribut, memaksimalkan
panflet yang ada nomor Handpnone-nya. Kala itu, yang saya tahu,
yang menjual atribut tidak hanya PMII, teater Q selaku Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) fakultas juga jualan. Atribut tetap saya adakan karena dalam rapat di
tingkat institut, diputus sebagai aksesori khas di masing-masing fakultas.
2011 saya masuk
sebagai panitia Steering Commite (SC) Oscaar,
tapi peran saya tidak maksimal. Selain sudah disibukkan oleh kegiatan praktikum
di Pengadilan Agama dan Negeri, juga memang sudah biasa sejak
sebelum-sebelumnya, peran SC hanya ada secara formal. Tapi, apa yang pernah
saya rintis, utamanya lomba resensi dan penutupan Oscaar yang out door, masih digunakan oleh
teman-teman panitia.
2012 saya
terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa (SEMA). Nah, saat sebagai ketua ini, peran saya cukup maksimal untuk
melakukan pembenahan. Saya kembali memperteguh ide dasar saat sebagai Ketua
Oscaar pada tahun 2010. Selain itu, kepanitiaan Oscaar, yang kala itu ketuanya
adalah Ahmad Maududi putra Ali Mahscan Moesa itu, kami berikan kepercayaan penuh
untuk mengelola dan menggunakan dana Oscaar, dengan syarat, mereka harus mau
melaporkan kegiatan Oscaar secara terbuka kepada publik, selain memang mereka
harus membuat laporan yang secara formal kepada institusi yang tertuntut fiktif
itu. Cuma, saya tidak berhasil. Laporan kepada publik tidak terealisir dengan
baik.
Polemik Oscaar
Sejak saya tak
lagi di UIN Sunan Ampel pada tahun 2013 silam, Oscaar terus memicu polemik.
Khusus di Fakultas Syariah, resensi yang pernah saya rintis, ternyata yang
dipertahankan bukan resensinya, tapi JUALAN bukunya. Belum lagi rebutan, deal-deal-an dana Oscaar, yang
rata-rata, menurut penuturan sebagian besar aktivis, digunakan untuk bancaan.
Adanya Oscaar malah menjadi momentum keterpecahan segenap aktivis pergerakan.
Antara satu dan lainnya saling “hantam” dan tega menegasikan sebagian
sahabatnya hanya demi memperebutkan deal-deal
dana Oscaar. Itulah kemudian, mengapa aktivis pergerakan secara kuantitas
membludak di awal, dan seiring berjalannya waktu, yang ratusan itu tinggal
beberapa orang. Kepercayaan dan saling menghormati sesama sahabat, tidak
terpupuk dan terbina dengan baik. Hal ini menjadi teguh, tatkala
sahabat-sahabat yang berproses sebelumnya, tak bisa secara maksimal menjadi
tauladan yang baik kepada segenap aktivis kader pergerakan khususnya, dan
mahasiswa UIN Sunan Ampel umumnya.
Memang tak bisa
ditepis, ada sebagian dana hasil “proyek” Oscaar, yang masuk ke kantong
organisasi. Tapi itu tidak banyak. Ada hanya untuk menggugurkan kesan, bahwa
proyek itu direbut, untuk menghidupi organisasi. Proyek di sini saya maknai,
proyek pengadaan barang dan jasa di lingkup panitia Oscaar secara formal,
maupun proyek penjualan atribut yang di-handle
atasnama organisasi pergerakan di tingkat angkatan.
Lahirnya Surat
Keputusan (SK) Rektor UIN Sunan Ampel, yang meniadakan Oscaar, mengantinya
dengan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKK-MB), menurut saya,
adalah trobosan baru dalam membenahi Orientasi Mahasiswa Baru (Maba) di UIN
Sunan Ampel. Cuma, lahirnya SK ini, sebagaimana ciri umum SK-SK yang lahir dari
orang yang sama, Prof. Dr. Abd. A’la, MA., cenderung otoriter. Otoriternya di
mana? Dari penulusuran yang saya lakukan, bahwa mahasiswa, tak satu pun yang
dilibatkan untuk turut andil dalam rumusan konsep PKK-MB. Mahasiswa tiba-tiba
diundang hanya untuk sosialisasi PKK-MB sebagai penganti dari kegiatan Oscaar.
Ironi. Demokratisasinya institusi ini mana? Mahasiswa adalah entitas yang tak
bisa dinegasikan dalam kehidupan kampus. Adanya kampus karena adanya mahasiswa.
Mestinya, mahasiswa, dari unsur organisasi intra kampus, harus dilibatkan dalam
rumusan konsep ini.
Transkip
rekaman yang beredar, antara mahasiswa dengan Bapak Zainuddin selaku bid. Kemahasiswaan,
yang menyebutkan bahwa segala penarikan yang dilakukan oleh panitia Oscaar di
masing-masing fakultas adalah ilegal, itu benar. Itu berlangsung sudah sejak
saya sebagai mahasiswa baru pada tahun 2008 silam. Cuma, civitas akademika
mendiamkan atas hal ini. Jika rektor saat ini benar tegas akan menyetop
penarikan yang masuk kategori ilegal ini, saya apresiasi. Saya dukung penuh. Tapi,
rektor juga harus tegas menyetop penarikan yang menurut saya ilegal, yang
dilakukan oleh institusi sendiri tepat saat menjelang acara Yudisium, Wisuda,
KKN, dan lain sebagainya. Saya tuduh sebagai tarikan ilegal karena menurut
aturan yang saya ketahui, saat masih bernama IAIN Sunan Ampel dulu, segala
sirkulasi keuangannya institusi melalui satu pintu. Yaitu Bank Tabungan Negara
(BTN). Jadi, bila ada tarikan di luar yang dibayarkan ke BTN, itu masuk
kategori ilegal. Kecuali ada produk hukum baru yang dikeluarkan. Itu yang
dijadikan kartu “truft” oleh
mahasiswa kepada institusi, untuk saling mendiamkan sesama civitas akademika
dalam hal tarikan yang dikategorikan ilegal ini.
Gerakan
sahabat-sahabat yang melawan secara keras atas lahirnya SK PKK-MB, tidak akan
membuahkan hasil jika cara melawannya menggunakan pendekatan fisik yang
cenderung emosional. Seperti penyobekan tanda kecewa atas SK PKK-MB, saat
sosialisasi SK itu dilakukan. Mahasiswa mestinya secara professional terbuka
menyurati rektor, minta forum klarifikasi, mengapa organisasi intra kampus
tidak dilibatkan dalam perumusan konsep PKK-MB?! Telaah kritis atas terbitnya
SK itu penting. Jadi, gerakan “perlawanan”-nya harus dengan gagasan.
Nah, bila forum
klarifikasi itu bisa diwujudkan, kemukakan gagasan cemerlangnya, bagaimana
mestinya orientasi kampus itu diselenggarakan. Saya yakin semua pihak
menginginkan kegiatan orientasi mahasiswa baru itu berjalan se ideal mungkin,
sesuai dengan konsep cemerlang yang telah diidealisasi secara bersama-sama
melalui forum mufakat yang telah dihelat.
Bila forum
klarifikasi tak bisa diwujudkan dengan segala upaya yang telah ditempuh, barangkali
jalan akhirnya adalah sengketakan SK PKK-MB itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), temukan nomenklatur yang menyebutkan, bahwa proses turunya SK itu
menyalai rasa keadilan. Karena mengenai konsepsi PKK-MB, telah dibuat secara
sepihak oleh institusi. Tapi, setelah saya pelajari isi dari SK PKK-MB itu,
semuanya bagus dan laik untuk dilaksanakan.
Ijtihad Kemandirian
Karena Oscaar
sudah diganti dengan PKK-MB, segala “proyek” yang selama ini menjadi “lahan
basah” aktivis kampus juga dapat dipastikan tiada. Saya turut menyesal jika
perlawanan sahabat-sahabat atas rektorat motif utamanya bukan sebab tidak
dilibatkannya mereka dari segi konsepsi PKK-MB, tapi lebih karena hilangnya area
“lahan basah” itu. Mengapa? Sekali lagi, “lahan basah” itu, selain berpotensi
untuk memporak-porandakan tali persahabatan, juga menjadi pelatihan dasar untuk
mengkorupsi dana proyek yang dijalankan atas nama organisasi. Sekali lagi,
kontribusi dana proyek untuk organisasi sangat kecil, walaupun nilai proyek
yang didapatinya sangat besar. Terbukti, saat pelatihan dihelat seperti Masa
Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) dan Pelatihan Kader Dasar (PKD), proposal
permohoan dana kepada segenap aktivis yang lebih dulu berproses, masih tetap
terus berlanjut. Padahal, bila benar proyek itu dikelola secara baik untuk
kepentingan organisasi, operasionalisasi pelatihan tak perlu lagi dtopang dari
proposal dana yang disebar.
Ijtihad kemandirian ini, dulu sudah
pernah saya rintis, dan secara utuh sudah saya tulis dengan judul, “Dari Intelektual Organik Sampai KemandirianOrganisasi,” dan “PMII di Umur yang ke-55 Masih Tak Ubahnya Partai Politik.” Cuma lagi-lagi, gagasan ini
terseok-seok di tingkat implementasi, karena keteladanan dalam hal kemandirian,
baik struktural maupun kultural, sulit didapat sampai di tingkat Pengurus Besar
(PB) sekalipun. Mental “pengemis” terus menjadi-jadi dengan penampilan yang semakin
parlente.
Mari, momentum
kali ini jadikan sebagai wahana untuk memperbaiki kondisi kita dalam
berorganisasi. Saya meluangkan waktu untuk kembali menuliskan, urun ide dalam
polemik aktivis pergerakan dengan institusi kampus, semata karena saya dibesarkan
oleh dinamika dan dialektika yang dirajut di organisasi pergerakan bernama
PMII.
Tanggung jawab
saya sebagai kader yang dibesarkan PMII, semata hanya dalam rangka, agar ajaran
dasar dan ajaran nilai di PMII dapat terus diregenerasikan dan membumi.
Ini jawaban
saya kepada segenap aktivis pergerakan, utamanya yang nge-chat melalui BlackBarry
Massanger (BBM) dan media What’sapp mengenai terbitnya SK PKK-MB.
Salam
Kedai
Kopi, 25 Agustus 2016
Alhamdulillah ....
BalasHapusKita Seangkatan ....
_________________
Pernah dengar Dosen Jadi Ketua OSCAAR ?
Seandainya memang ada hati yang menggerakkan dan melanjutkan usaha antum, maka saya pun yakin organisasi aktivis tidak akan di anggap aliran sekuler. Super sekali tulisan antum
BalasHapusAnonim: Belum pernah. Oscaar sudah dimoderasi ke -tujuannya- yang lebih baik.
BalasHapusRafiuddin: Mari bersama berupaya sejauh yang kita bisa, Mas.