Memang, umur itu hanya Tuhan yang tahu. Di umur yang masih setara dengan saya, Junaidi telah mendahului dalam “kembali” kepada-Nya. Saya berteman dengan Junaidi sudah sejak di bangku Raudatul Atfal. Di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, kita memang tetap satu kelas. Pertemanan menjadi semakin akrab, semakin dekat, tatkala sama-sama menjadi santri di Sya’airun Najah, Bindung, Sumenep; lembaga yang turut menempa pengetahuan dasar saya, utamanya dalam hal ibadah amaliah, mulai dari soal berwudu’, doa sebelum-sesudah wudu’, bertayamum, salat, gotong royong dalam kebersihan, sampai soal melatih mental saat tampil di depan publik melalui kegiatan muhadarah.
![]() |
Di Asta Sayyid Usman bin Baghin beberapa bulan yang lalu dalam acara tahunan, yang ternyata acara terakhir bagi Junaidi |
Sebelum saya berteman akrab dengan Junaidi, saya akrab terlebih dahulu dengan kakaknya yang namanya secara substansi sama dengan saya. Ia Sujibto, saya Sucipto. Hanya dibedakan oleh huruf “j” dan “c”. Kita berteman karena satu pondok di Sya’airun Najah, sama-sama santrinya (alm) Kiai Fauzi Dahlan.
Saya dan Junaidi saat sama-sama masih di pesantren, sering berebut untuk azan di Masjid Pesantren saat masuk waktu salat. Bahkan, kita berlomba-lomba untuk bangun sedini mungkin di se-pertiganya malam hanya agar bisa mengumandangkan azan Subuh. Siapa yang bangun terlebih dahulu, ia yang azan. Sepiker masjid pesantren kami di zaman itu, terkenal ternyaring. Santri-santrinya pun waktu itu, sangat banyak. Menjelang sekitar 10 menit masuk waktu Magrib, Isya’ dan Subuh, saya bersama Junaidi kerap duet dalam melantunkan tarhiem; sholawat puji-pujian maha karya Syekh Mahmoud Khalil al-Husairy yang lahir di Mesir (1917) dan meninggal di Kairo, Mesir (1980). Kala itu, masjid dan langgar menggunakan kaset rekaman, di masjid kami tidak menggunakan rekaman.
Saat masih sebagai santri, saya kerap bermain secara riang bersama Junaidi. Mulai dari soal main sepakbola, permainan tradisional bantingan di halaman pondok, sampai urusan menikmati buah bidara, siwalan, degan, duwet, rokèm dan bermain air di kellurén ke arah barat pesantren.
Dulu, saya dan Junaidi, sambil menunggu masuk waktu masuk salat magrib, sebelum waktu membaca tarhiem masuk, kita kerap stand by di maqbaroh leluhur pengasuh pesantren. Kadang membaca al-Quran, tapi yang sering, main olengan dan canmacanan. Keduanya semacam permainan tradisional.
Setelah saya lulus di Madrasah Tsanawiyah, kemudian saya pindah ke Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah. Sedangkan Junaidi, Madrasah Aliyah-nya ditempuh di Miftahul Ulum Lenteng. Walaupun kita berpisah, kita tetap berteman secara akrab. Saat saya sampai hari libur di pesantren, kita masih saling jumpa. Jika tidak Junaidi ke rumah, saya yang ke Sya’airun Najah atau ke rumahnya. Meskipun Junaidi Madrasah Aliyah-nya di tempuh di Miftahul Ulum, ia tetap menjadi santri di Sya’airun Najah.
Setelah lulus di Madrasah Aliyah, saya ke Surabaya untuk kuliah. Sedangkan Junaidi, kuliahnya ditempuh di Annuqayah. Walaupun demikian, Junaidi tetap di Pesantren Sya’airun Najah, tetap dengan kebiasaannya mengumandangkan tarhiem dan azan.
Di saat sama-sama kita kuliah, walau jarak semakin jauh, pertemuan langsung semakin jarang, tetap tidak mengurangi intensitas komunikasi kita melalui handphone yang kini telah berevolusi menjadi smartphone ini. Saat pulang ke Sumenep, kita tetap menjaga silaturahmi secara langsung.
Dalam lima tahun terakhir, walau saya kerap di Surabaya, kita pernah merumuskan langkah taktis dalam mengeksekusi ide; pertama, kita sempat membuat wadah organisasi pemuda yang diberi nama Aliansi Pemuda Indonesia. (API). Kedua, kita menggagas perkumpulan yang ditempatkan di makam. Ide pertama hanya didiskusikan dan sempat membentuk struktur ke pengurusan. Tapi karena satu dan lain hal, organisasi tersebut sulit dijalankan. Antara ide dan SDM; sumber daya manusia, belum bisa berdiri seimbang. Sedangkan ide yang kedua, alhamdulillah berjalan walau harus terus dimaksimalkan.
Dalam melaksanakan ide yang kedua, kita bersepakat untuk berbicara melalui tokoh masyarakat, kajih; kiai di langgar-langgar yang pada umumnya mengajarkan al-Quran kepada anak kecil, yang dijadikan panutan oleh masyarakat. Sedangkan kita, bertanggung jawab untuk mengorganisir yang muda. Dalam hal ini, kita memilih untuk tidak berada di “depan”, kita lebih memilih “ing madya mangun karsa”, lebih memilih di “belakang”, lebih memilih sebagai “pengikut” daripada “menjadi komandan”. “Komandan”-nya harus tetap tokoh masyarakat, kajih di langgar-langgar yang mengajari mengaji al-Quran. Kita lebih memilih bagaimana agar ide ini berjalan.
Dalam hal tersebut, kita telah bagi peran; Junaidi bertugas untuk bertemu tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan rumahnya sekaligus bagaimana agar rencana dapat segera terlaksana, saya pun demikian.
Kita berdua memiliki ide untuk memperkuat solidaritas sosial melalui perkumpulan yang diletakkan di kuburan. Ide ini bersumber dari keprihatinan kita berdua atas kondisi kuburan yang perawatannya tidak maksimal, utamanya oleh keluarganya masing-masing. Kita sependapat, bahwa kuburan masa kini, jauh lebih “kotor” karena kurang perhatian dan perawatan oleh keluarganya masing-masing ketimbang kondisi kuburan di jaman dulu.
Keresahan ini kita utarakan kepada tokoh masyarakat terkait, kemudian kita ajukan ide, agar diadakan semacam perkumpulan, entah mingguan, bulanan, atau pertiga bulan sekali, dlsb, yang ditempatkan di kuburan.
Perkumpulan di kuburan ini, Visinya, agar orang sadar dan bangkit melalui kuburan. Sadar, bahwa setiap yang hidup akan meninggal. Sadar, bahwa pendidikan terbaik supaya hidup terus hati-hati tatkala kita selalu ingat mati. Di kuburan, adalah sarana paling jitu akan kesadaran diri bahwa yang hidup bakal mati. Selain itu, supaya orang-orang mengerti para leluhurnya, sanak-keluarganya yang telah meninggal terlebih dahulu. Atas hal ini, di setiap berkumpul, fatihah khusus kepada para leluhur oleh orang yang masih hidup, digilir. Jika minggu ini leluhur keluarga si “A” misalnya, minggu kedua fatihah khususnya kepada keluarga si “B”. Terus berganti secara bergiliran. Atas hal ini pula, para orangtua diberi saran untuk memberikan petunjuk kepada anak-anaknya di mana saja letak posisi kuburan-kuburan para leluhurnya berikut nama-namanya. Hal ini dilakukan, sebab banyak generasi saat ini yang tidak tahu bahkan tidak mengerti di mana letak kuburan para leluhurnya. Supaya hal buruk ini tidak terus menjadi-jadi, maka ide ini dimunculkan melalui penjelasan dan arahan kajih. Bangkit melalui kuburan maksudnya, kita berdaya secara bersama-sama melalui kuburan.
Untuk melaksanakan visi tersebut, kita adakan perkumpulan di kuburan, diisi kegiatan yang diawali dengan membaca surah Yaasiin dan Tahlil, yang dipimpin oleh tokoh masyarakat kemudian dilanjutkan dengan musyawarah dari hal-hal yang sifatnya masalah kolektif; masalah bersama seperti bagaimana merawat makam, bagaimana agar makam terlihat bersih dan rapi, kejing kuburan yang sudah hilang diperbaiki, keranda yang sudah rusak diperbaiki, kuburan yang tidak ada kerandanya bagaimana agar memiliki keranda, meninggal dunia secara gratis, sampai soal bagaimana kita memiliki usaha bersama, semacam pembiayaan, dengan pola pengelolaan berbasis koperasi, dan ide supaya tatkala orang meninggal dunia untuk selanjutnya, akan diatur seperti sof salat, supaya akses orang dari kuburan ke kuburan, tidak ada peluang untuk melangkahi. Ide ini muncul sebab kondisi makam atas mereka yang telah meninggal sebelumnya masih belum diatur seperti sof salat, masih acak-acakan dan berpeluang untuk dilangkahi oleh orang dari satu kuburan ke kuburan selanjutnya.
Ide soal koperasi, saya menyadur sepenuhnya kepada idenya Bung Hatta -Mohammad Hatta-. Walau dalam hal koperasi ini, saya dan Junaidi, masih belum berhasil mengeksekusi. Setidaknya dari sisi memunculkan usaha bersama, semacam pembiayaan yang untungnya untuk kepentingan bersama.
Menerjemahkan ide itu tidak mudah. Apalagi, ide itu harus disampaikan sesuai dengan bahasa dan kebiasaan masyarakat. Jadi, dalam bahasa teknis, Junaidi jauh lebih berhasil ketimbang saya yang tidak maksimal berada di rumah, Sumenep. Junaidi dapat koordinasi terus dengan tokoh, dengan masyarakat secara langsung. Sedangkan saya, hanya sekali-kali, itu pun kalau sedang di kampung halaman. Kuburan-kuburan yang berada di bawah koordinasi langsung Junaidi, perkembangannya jauh lebih progres, jauh lebih pesat ketimbang kuburan-kuburan yang berada di bawah koordinasi saya. Dua lokasi kuburan yang “berhasil” Junaidi “hidup kan” ketimbang kuburan-kuburan yang berada di bawah koordinasi saya; Pertama, kuburan yang kini ditempatinya untuk selamanya. Kedua, kuburan Asta Sayyid Usman bin Baghin. Di kuburan pertama, Junaidi, selain berhasil mengadakan kumpulan di kuburan, ia juga berhasil mengorganisir masyarakat untuk membangun tempat untuk ditempati berkumpul. Kuburan ini pun diberi penerang yang cukup dari yang awalnya gelap gulita saat malam hari. Di kuburan yang kedua pun, Junaidi berhasil mengorganisir masyarakat untuk memperbaiki tempat orang untuk berkumpul, memperbaiki akses jalan menuju kuburan, memperbaiki pagar kuburan, sampai kembali “mempercantik” kondisi Asta Sayyid Usman bin Baghin. Acara tahunan di dua kuburan tersebut, yang awalnya sempat mati suri, dapat kembali dihidupkan berkah upaya maksimal Junaidi. Tradisi lama yang menyatukan masyarakat saat acara tahunan seperti menabuh tetabuhan semalam suntuk, kemudian tetabuhan tersebut berlanjut lagi setelah zuhur keesokan harinya sampai sore, kemudian di sore hari tersebut acara inti dihelat yaitu membaca Yaasiin dan Tahlil secara bersama-sama, kemudian dipungkasi dengan menabuh tetabuhan sambil melepas burung merpati, kembali dapat lestari di bawah “tangan dingin” Junaidi. Dalam acara tahunan menjelang musim hujan beberapa bulan yang lalu, di Asta Sayyid Usman bin Baghin, saya masih berkesempatan hadir. Dan tak menyangka, bahwa acara tersebut adalah acara tahunan terakhir untuk Junaidi. Kami waktu itu, maksimal bercengkerama, mulai soal ide sebagaimana telah saya urai tersebut sampai soal urusan jodoh yang bagi kami berdua masih belum sampai-sampai. Kala itu, kita berdua hanya menertawainya secara riang. Kita ngakak barsama sambil menikmati kopi dan tambul.
![]() |
Bangunan ini yang menginisiasi pembangunannya adalah Junaidi. Kuburan Junaidi berada tepat di sebelah timur lautnya bangunan ini. Foto ini diambil saat penguburan Junaidi. |
Selamat jalan, Kawan. InsyaAllah, engkau Khusnul Khotimah, dan saya siap jadi saksi atas setiap kebaikan-kebaikan yang telah kamu perbuat. Semoga Allah mengampuni dosamu dan menerima amal baikmu. Sampai jumpa di akhirat, kawan.
Surabaya, 5 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...