Tonongkul Hills



Sore tadi saya silaturahmi ke rumah Rosy Asliandra. Rumah Rosy, tergolong pedalaman. Berada di puncak, jauh dari hiruk ramai ala kota besar. Akses menuju rumahnya, seru jika dilihat dari perspektif petualang. Apalagi yang melaluinya, memang jiwa-jiwa petualang. Naik-turun, meliuk, aspal tambal-sulam. Benar-benar memicu adrenalin, menegangkan.
Sepanjang perjalanan, tak perlu menggunakan masker penghalau debu. Sebab, udaranya sejuk, oksigen melimpah ruah. Kanan-kiri jalan semak belukar dengan aroma yang khas.
Saat perjalanan berangkat, karena masih sore, di samping kanan-kiri jalan saya mengamati cabai rawit yang sudah berwarna merah tanda telah layak petik. Cuma, cabai-cabai ini dibiarkan begitu saja oleh yang punya. Ya, karena harga cabai saat ini lagi murah. Bahkan sampai tembus di angka seribu rupiah per kilogram.

Rumah Rosy secara geografis berada di Dusun Tonongkul, Gadu Timur, Ganding, Sumenep. Halaman rumah di bagian utara, berbatasan langsung dengan Desa Besoka, Rubaru, Sumenep. Latar foto saya yang menawan ini, adalah penampakan "kunung ko'ong", Desa Besoka, Rajun, dan desa-desa lain yang masuk dalam Kecamatan Rubaru maupun Pasongsongan. Pemandangan sangat indah karena rumah Rosy benar-benar berada di pucuk bukit. Bagi saya, serasa di Batu, Tretes Pasuruan dan Pacet Mojokerto. Udaranya pun dingin, jauh lebih dingin ketimbang udara di rumah saya.

Orang-orang yang saya temui, sebagaimana ciri umum orang yang tinggal di pegunungan, warna kulitnya sedikit berbeda dan fisiknya kuat-kuat sebab pergerakannya rata-rata naik-turun bukit dengan berjalan kaki. Memang, di Madura tidak ada gunung, yang ada bukit. Tapi orang Madura kerap menyebut bukit dengan sebutan "kunung".
Silaturahmi ke Rumah Rosy memiliki nilai lebih sebab view panorama alamnya yang memukau. Istimewanya, panorama alam itu langsung bisa di-acces dari beranda dan/atau halaman rumahnya langsung.

Burung liar di Rumah Rosy juga masih melimpah ruah. Bahkan, Rosy sendiri banyak tidak tahu nama-nama burung yang ada di situ karena saking melimpahnya. Termasuk juga, burung yang hanya dikenali suaranya tapi tidak diketahui bentuk tubuhnya.
Menjelang Magrib, sambil saya foto, saya dihibur oleh raungan kera yang menurut Rosy, mereka saling berebut tempat tidur. Kera-kera itu bertempat tinggal jauh di bawah, di pohon-pohon besar, di semak belukar yang tepat berada di depan, di bawah rumah Rosy.
Melihat panorama alam dari rumah Rosy akan terasa indahnya jika dilihat dari perspektif orang yang hidup di kota. Utamanya kota besar seperti Surabaya yang pandangan umumnya rata-rata bangunan beton, jalanan mulus dan melimpahnya karbon dioksida yang kemudian bawaannya gerah. Atau paling tidak orang desa yang lama tinggal di kota. Tapi, jika dilihat dari perspektif orang yang memang tinggal di desa, apalagi tidak pernah merasakan bagaimana suasana kota besar, ya, akan biasa-biasa saja. Malah mereka bisa jadi merindukan suasana kota yang bayangannya seperti di sinetron TV; jalanan bagus, orangnya ganteng-ganteng dan cantik-cantik, ada mall, jalanan lenggang, kerja mudah, tinggal ongkang-ongkang kaki duit datang, jualan bubur, pemulung bisa naik haji dan segala suguhan lain di sinetron yang jelas palsu tapi diyakini benar itu.

Saya, meskipun orang desa, lama di kota dan akhir-akhir ini mulai sering di desa, masih takjub kok pada pemandangan dan suasana alam di rumah Rosy. Bahkan tadi, saat bercengkerama, saya sempat berseloroh, kelak, jika ada rezeki, saya juga ingin membuat rumah di situ. Lagi pula, sekira satu kilo ke timur dari rumah Rosy, masih termasuk desa saya. Jadi, Desa Gadu Timur itu, berbatasan langsung dengan Desa Ellak-Laok, desa saya. Cuma, walaupun demikian, ini baru kali kedua saya menjelajahi daerah ini.

Panorama alam menjadi mode sejak kita masyarakat Indonesia kenal dengan pariwisata.
Jika Asma Nadia menulis buku "Assalamu'alaikum Beajing", maka catatan ini saya tutup dengan, "Assalamu'alaikum Tonongkul".

0 Komentar